SALAH satu karakteristik khas ibadah dalam Islam, menurut Cak Nur atau Nurcholish Madjid (2007) adalah adanya korelasi positif dengan amal saleh berdimensi kemanusiaan. Artinya, meski ibadah merupakan ritual personal wujud pengabdian kepada Tuhan secara vertikal, tetapi sekaligus memiliki nilai-nilai kebaikan horizontal kepada sesama. Islam mengajarkan kedua dimensi itu saling terkait, menyatu, dan tak terpisahkan, laksana dua sisi sekeping mata uang. Ibadah kepada Tuhan mesti diikuti karya nyata kemanusiaan, dan karya-karya kemanusiaan harus diniatkan ibadah kepada Tuhan. Karena itu dalam Islam tidak ada jenis dan ekspresi ibadah yang mencederai prinsip kemanusiaan. Doktrin Islam rahmatan lil’alamin, sejatinya menjadi paradigma dalam beragama.
Korelasi positif ibadah dengan amal saleh berakar dari kepedulian sosial (social interest) sebagai salah satu tema utama dalam Islam. Lewat bukunya Major Themes of The Qur’an (1983) atau Tema Pokok Al-Qur’an, filosof muslim Fazlur Rahman mengklasifikasi delapan tema utama Al-Qur’an, yakni God, Man as Individual, Man in Society, Nature, Prophethood and Revelation, Eschatology, Satan and Evil, dan Emergence of The Muslim Community. Dalam tema “Man in Society”, Rahman menekankan Islam sebagai agama dengan kepedulian sosial yang tinggi. Konsep-konsep menyangkut ketaqwaan, hanya berguna jika memiliki pengaruh pada konteks sosial. Bahkan setiap ritual dalam Islam menurutnya berimplikasi sosial, dan tanpa itu hanya akan bernilai sia-sia. Ibadah utama salat sekalipun, tanpa kepedulian sosial berubah nilainya menjadi sebuah kemunafikan. “In the absence of concern for the welfare of the poor, even prayers become hypocritical”, kata Rahman (h. 26).
Dari Empati ke Solidaritas
Mufassir Indonesia Hasbi Ash-Shiddiqiey dalam Pedoman Puasa (1986) menyebut tiga hikmah puasa, salah satunya konteks sosial. Menurutnya, ritual puasa menanamkan rasa sayang dan rahmah kepada fakir miskin, anak yatim, dan orang melarat. Dengan kata lain, imsak atau kondisi menahan dalam puasa, mengkonstruk kesadaran empati terhadap kaum lemah, lantaran merasakan sendiri kondisi lapar dan dahaga. Pengalaman empiris tentunya memberi kesan lebih mendalam dari sekedar pengetahuan teoretis-konseptual. Secara psikologis, rasa simpati dan empati harus ditumbuhkan (Boeree, 2007), dan dalam konteks ini praktek puasa yakni imsak atau menahan, amat tepat dalam membangun empati terhadap problem kemanusiaan.
Lebih jauh momentum puasa tidak berhenti sekedar menumbuhkan empati semata, tetapi individu dimotivasi mewujudkan kepedulian tersebut dalam tindakan nyata. Pahala atau reward berlipat ganda dibanding bulan-bulan lain, diberikan di bulan Ramadhan sebagai stimulus untuk karya-karya kebajikan, termasuk amal sosial. Islam misalnya mengajarkan, reward yang sama sebesar pahala orang berpuasa, akan diterima oleh mereka yang memberi makanan bagi yang berbuka puasa. Metode personal experience menumbuhkan empati, plus pemberian stimulus yang besar, akan memunculkan motivasi tinggi untuk segera mewujudkan kepedulian untuk berbagi.
Argumen ritual puasa berorientasi kemanusiaan lainnya adalah terkait ketentuan pembayaran fidyah atau tebusan pengganti kewajiban berpuasa. Bagi individu yang tidak mampu melaksanakan puasa disebabkan sejumlah faktor, diwajibkan memberi fakir miskin makanan senilai porsi makan sempurna perhari, untuk setiap hari yang ditebus. Faktor tersebut adalah lanjut usia, hamil/ menyusui, sakit berkemungkinan kecil sembuh, serta pekerja berat. Bentuk pembayaran fidyah ini bisa berupa makanan sajian, bahan, maupun nominal uang dengan nilai yang sama.
Begitu pula dengan puasa kafarat untuk menebus dosa tertentu, yakni hubungan suami istri di siang Ramadhan, zhihar, serta pelanggaran sumpah dan nazar. Denda untuk jenis pelanggaran ini pada dasarnya adalah berpuasa sejumlah hari tertentu, namun jika tidak sanggup maka pada akhirnya bisa ditebus dengan pemberian makan kepada sejumlah fakir miskin. Ketentuan ini sekali lagi menjadi argumen aspek kemanusiaan dari ritual puasa, bahwa kewajiban puasa “digantikan” dengan kepedulian kepada sesama. Bahkan puasa Ramadhan pun ditutup dengan zakat fitrah, berbagi bahan makanan kepada kaum dhu’afa. Sekali lagi ini menunjukkan korelasi tak terpisahkan antara aspek ritual dan laku sosial.
Social Interest dan Kualitas Puasa
Kepedulian sosial (social interest) sejatinya mendapat porsi besar dalam beragama. Missi kemanusiaan ini dalam berbagai ekspresinya banyak ditekankan dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi Muhammad SAW. Nash-nash tentang tema pengentasan kemiskinan, pemeliharaan anak yatim, berbagi dan saling membantu dalam bentuk zakat, infak, dan sedekah, tidak kalah kuantitasnya dibanding tema lain. Begitu pula perilaku Rasulullah SAW, para sahabat, dan generasi awal Islam terkait kepedulian sosial sangat banyak dicontohkan, bahkan tidak saja terhadap sesama Muslim, tetapi juga lintas iman. Konsep “umat” dalam Islam mengandung nilai solidaritas yang kokoh, tidak saja saling empati, tetapi lebih dari itu juga saling berbagi. Rasulullah SAW menganalogikan orang-orang mukmin dalam konteks solidaritas kemanusiaan seperti satu tubuh, yang jika salah satu organnya sakit maka seluruh badan akan merasa sakit.
Pemahaman tentang hubungan erat tak terpisahkan antara ritual dengan kepedulian sosial, seyogyanya membangun kesadaran baru dalam mengekspresikan agama. Dalam konteks Ramadhan, tradisi beragama selama ini masih lebih terfokus dan dititikberatkan pada laku ritual. Ramainya rumah ibadah, tadarus Qur’an, dan berbagai aktivitas keagamaan yang lebih berdimensi ritual, tentu saja sudah benar dan patut diapresiasi. Tetapi, mestinya tradisi beragama yang sudah turun-temurun itu perlu melangkah ke arah peningkatan kualitas dengan mengiringinya berbagai bentuk kepedulian sosial. Porsi aksi-aksi kemanusiaan masih jauh lebih kecil, baik secara kuantitas apalagi kualitas.
Ke depan kita berharap agar agenda-agenda kemanusiaan turut menjadi prioritas selama Ramadhan, tanpa mengurangi yang lain. Transformasi ilmu dan internalisasi nilai-nilai keagamaan yang jauh meningkat secara kuantitas selama Ramadhan, sudah saatnya diaplikasikan di lingkungan masing-masing, khususnya pesan-pesan kepedulian sesama. Spirit beragama yang bergaung di masjid-masjid sudah harus beranjak ke realitas sosial, agar agama betul-betul fungsional sebagai rahmat bagi alam, khususnya kemanusiaan. Wallahu a’lam. (*)
Faisal Zaini Dahlan adalah Dosen Studi Agama-Agama UIN IB Padang