Aktivitas berkesenian tidak pernah lesu di ranah Minang. Lewat kemajuan teknologi internet dan digital, produktivitas aktivias seni maunpun antusiasme publik Minang terhadap kesenian dan praktisi seni Minang—musik, tari bahkan film—yang berasal di ranah Minang memperlihatkan gelagat yang positif.
Ratu Sikumbang, Ipank, Rayola, Fauzana dan Buset (penyanyi), Ery Mefri (pemimpin dan koreografer Nan Jombang Dance Company), Teguh Prasetyo, lebih dikenal dengan Praz Teguh, dan Rin Hermana (komedian) adalah sejumlah nama yang mewakili talenta-talenta kesenian Minang kontemporer yang bukan hanya berprestasi tapi juga berhasil mencuri perhatian publik secara luar biasa.
Geliat ini sesungguhnya mewartakan apa yang dinamakan sebagai ranahisasi kesenian; terbitnya aktivitas dan produktivitas kegiatan berkesenian dari ranah Minang sendiri alih-alih dari rantau. Sungguhpun pelbagai aktivitas seni tidak pernah menunjukkan kevakuman di ranah Minang, namun sulit dipungkiri bahwa gaungnya amat terbatas di ‘kandang’ sendiri, dari awak untuak awak, belum secara merata berdampak di tingkat nasional.
Kalaupun dikenal di Tanah Air, masyarakat lebih mengenal kiprah kesenian artis-artis di tingkat nasional yang kebetulan berdarah Minang. Sayangnya aroma seni Minangnya tidak kelewat semerbak karena banyak yang tidak bisa berbahasa Minang, mengenal budaya Minang dan memilih berkiprah di dunia hiburan di Ibu Kota, semisal musik pop dan sinetron.
Titik balik dunia berkesenian di ranah Minang ini bukanlah realitas yang terjadi secara tiba-tiba. Setidaknya, ia berkelindan dengan dengan dua faktor utama. Pertama, menguatnya kreativitas para pelaku kesenian di ranah Minang.
Untuk produktivitas artis dan pencipta lagu Minang, misalnya, jangan ditanya. Baik yang senior maupun pendatang baru seolah-olah kompak untuk tidak berhenti menyemarakkan dunia kesenian di Sumatera Barat. Hanya saja produktivitas ini tidak selalu beriring jalan dengan kreativitas.
Kesenian Minang atau aktivitas seni orang-orang Minang di ranah belakangan mulai serius menggarap kreativitas. Ini tidak terlepas dari dari kontribusi anak-anak muda yang ingin menghasilkan sesuatu yang baru dan beda.
Kemunculan Praz Teguh sebagai komedian pendatang di tingkat nasional dan Ipank, Fauzana, atau Arief sebagai artis Minang yang memiliki penggemar bukan saja di ranah Minang tapi juga di rantau, bukan saja orang Minang tapi juga mereka yang berbilang suku di Tanah Air, meneguhkan keyakinan bahwa anak muda adalah ‘makhluk’ yang kreatif dan inspiratif.
Bila Praz Teguh mengilhami banyak orang bahwa orang daerah bisa sukses di Jakarta sepanjang memiliki kepercayaan diri dan kebanggaan dengan identitas lokal, Ipank Fauzana, atau Arief dan lain-lain mengajarkan kita bahwa kesuksesan bermusik Minang juga terbuhul dengan kemampuan menggarap mozaik kekayaan Minang dalam seni musik—adat, musyawarah, dan perkawinan dalam adat—tidak melulu mendendangkan asmara muda-mudi.
Kreativitas juga bermakna kemampuan mengontekstualisaikan dan memutakhirkan mozaik dan khazanah budaya.Meskipun sudah tak muda lagi, tak sedikit praktisi seni senior tetap eksis lantaran berjiwa muda. Ery Mefri—pendiri, pemimpin dan koreografer Nan Jombang Dance Company—adalah seorang koreografer yang melahirkan karya- karya kontemporer, acuan atau pijakan tetap tidak terlepas dari adat dan budaya Minangkabau.
Bagi Ery Mefri, yang telah menghasilkan 50 karya dan menjelajahi empat benua memenuhi undangan banyak pihak, kreativitas berkesenian adalah menciptakan keseimbangan yang indah antara seni tradisi dan seni kontemporer.
Kedua, kecakapan memanfaatkan teknologi internet dan digital. Anak-anak muda Minang yang menghiasi dunia kesenian hari ini di ranah Minang sangat piawai memanfaatkan teknologi internet, semisal media sosial dan Youtube.
Popularitas Praz Teguh tak bisa dilepaskan oleh postingan video Youtubenya lewat slogan ‘Minangkan Indonesia’, di antaranya Pacah Paruik. Lagu Ipank feat Rayola berjudul “Rantau Den Pajauah” menjadi salah satu lagu daerah yang paling banyak ditonton di Youtube di Tanah Air, mencapai angka puluhan juta. Angka ini diprediksi terus meningkat mengingat peminatnya bukan saja orang Minang tapi juga suku lain di Tanah Air.
Ketenaran Ratu Sikumbang dan produktivitas Ajo Buset yang sudah menelorkan puluhan album juga dipengaruhi oleh konsistensi mereka menggunakan media sosial dan internet dalam menjaga eksistensi mereka. Begitu juga duet Fauzana dan Frans dengan tembangnya Panek Diawak Kayo Diurang yang sudah ditonton lebih 100 juta kali.
Dalam banyak hal, kemelekan artis-artis Minang memanfaatkan perkembangan teknologi internet, digital dan informasi tersebut mengantarkan mereka untuk berjiwa kompetitif, bukan sekadar jago kandang.
Prestasi Praz Teguh dan Rin Hermana dalam kompetisi pencarian bakat komedi lewat Stand-Up Comedy di Ibu Kota, penampilan Nan Jombang Dance Company di manca negara, hingga penghargaan dunia perfilman nasional terhadap film-film besutan sineas muda ranah Minang menunjukkan kepercayaan diri dan keyakinan seniman ranah Minang bahwa kompetisi dan kolaborasi menjadi niscaya demi eksistensi, reputasi dan popularitas.
Semarak kesenian yang berbasiskan ranah ini mewujud sebagai antitesis bahwa untuk sukses menjadi artis, selebriti atau bintang harus hijrah ke atau dimulai di Jakarta. Ranah merupakan tempat tumbuh kembangnya talenta-talenta paten berkesenian yang menyuguhkan pesona ganda: ranah atau rantau.
Buset, Ipank, Rayola, Fauzana, Praz Teguh, Ery Mefri dan lain-lain adalah seniman atau artis Minang, berdomisili dan memulai debutnya di ranah dengan kredibiltas dan popularitas yang diakui di ranah dan di rantau.
Sementara Ratu Sikumbang, kendatipun hidup di rantau, perlu ‘pulang kampuang’ ke ranah Minang untuk ‘hidup’ menyapa penggemarnya. Dalam konteks dunia kesenian Minang mutakhir ini, relasi antara ranah dan rantau bersifat saling mengisi. Pameo bahwa orang harus merantau dulu untuk hidup agaknya tidak serta merta relevan dicermati dari perkembangan dunia kesenian di Sumatera Barat dewasa ini.
Dalam konteks yang lebih luas, geliat kesenian di kampung halaman ini mendorong perlunya keinsafan besar pentingnya sinergisitas; bahwa tak ada perbedaan atau pembedaan yang juga tidak hierarkis antara rantau dengan darat, adat dengan Islam, anak dengan kemenakan. bahkan modernitas dengan tradisi. Wallâhu a`lam.
*Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas