Wakif Dalam Pusaran Wakaf

Wakif Dalam Pusaran Wakaf

Eka Putra Wirman.

Sebagai agama pamungkas, Islam membawa ajaran dan konsep yang genuine untuk menyelesaikan berbagai permasalahan umat manusia. Persoalan sosial dan ekonomi yang merupakan urat nadi kehidupan manusia di muka bumi tidak luput dari sentuhan Islam.

Sistem sosial yang dianut oleh Islam bersifat egaliter, demokratis, seimbang, humanis, hangat, dan penuh kasih sayang. Sistem sosial Islam menolak segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, monopoli, dan stratifikasi sosial.

Kehidupan sosial harus berjalan secara merdeka dan independen tanpa adanya tekanan dari pihak manapun selain beban tanggungjawab yang mendasar.

Begitu pula dengan sistem ekonomi Islam yang berdiri di atas keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat. Menerapkan prinsip keadilan, kejujuran, kesamaan, dan tanggungjawab.

Mengkolerasikan antara dinamika duniawi dengan keabadian akhirat. Syitem ekonomi Islam berada di tengah cita-cita kapitalisme dan sosialis medalamporsi yang proporsional.

Islam memiliki beberapa instrumen untuk menjawab persoalan sosial dan ekonomi umat (social and economic safety belt) yaitu zakaf, wakaf, infak, sedekah, hibah dan hadiah. Instrumen ini dikenal dengan istilah filantropi Islam yang merupakan gerakan kedermawanan sebagai wujud sikap kepedulian sesama manusia. Dalam kajian Islam filantropi disebut dengan amalanal-ihsan alias berbagi kebaikan kepada orang lain.

Meskipun bersifat sukarela secara generik, filantropi Islam memiliki dua kategori yaitu wajib dan sunnah. Zakat adalah kepedulian sosial yang bersifat wajib dilakukan oleh setiap muslim yang berharta mencapai nisab dan haul. Zakat fitrah wajib dilakukan oleh setiap muslim yang hidup sampai akhir malam Ramadhan tanpa memandang status sosial.

Filantropi berkategori sunnah adalah wakaf, infak, sedekah dan hadiah. Tidak ada kewajiban melaksanakan amalanal-ihsan ini. Meskipun demikian, terdapat banyak ayat dan hadis mendorong untuk melaksanakan amalanal-ihsan dan menjadikannya sebagai barometer keimanan, kemuliaan dan penyebab harta dilipatgandakan.

Akhir-akhir ini wakaf menjadi amalanal-ihsan yang digandrungi umat Islam karena prinsip keabadian harta yang diwakafkan sementara pahalanya terus mengalir selama barang yang diwakafkan itu dimanfaatkan. Berbeda dengan zakat, harta benda wakaf tidak untuk konsumtif, karenanya tidak boleh berkurang.

Sebaliknya zakat bersifat konsumtif untuk memenuhi kebutuhan dasar dan harian para mustahiq (penerima zakat) di luar petugas zakat. Begitu juga dengan infak, sedekah dan hadiah bersifat konsumtif alias boleh dihabiskan seketika oleh penerima.

Harta benda wakaf tidak boleh berkurang kecuali dimakan usia dan kerusakan secara alamiah. Pahala yang diterima oleh pemberi wakaf (wakif) bukan didapat saat berwakaf, tetapi di waktu orang lain mendapatkan manfaat dari harta benda wakaf tersebut. Oleh karena itu, diperlukan satu mekanisme yang apik dalam memanfaatkan harta benda wakaf.

Fikih Islam telah mengatur pengelolaan wakaf dengan mengenalkan istilah nazhir wakaf yang berfungsi sebagai pengelola harta benda wakaf. Produk dan hasil dari harta benda wakaf disalurkan kepada penerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaihi). Dari sini dipahami bahwa wakaf harus produktif dan berdayaguna. Sebagai pengelola wakaf, institusi nazhir harus memiliki kualifikasi dan kompetensi (sertifikasinazhir) dan memiliki legalitas hukum karena pekerjaannya berkaitan dengan aktifitas hukum.

Muncul pertanyaan, bolehkah harta benda wakaf dikelola langsung oleh pewakaf (wakif)? Abdullah ibn Umar meriwayatkan tentang ayahnya Umar ibn al-Khattab ketika memohon petunjuk kepada Rasulullah SAW tentang pemanfaatan tanah miliknya di Khaibar.

Rasulullah bersabda “jika engkau bersedia, maka tahanlah tanah itu, kemudian berinfaklah dengan hasilnya”. Lalu Umar menahan tanahnya dan bersedekah dari hasil tanah tersebut kepada fakir miskin, saudara, budak, ibnusabil, fi sabilillah, dan tamu. Tanah tersebut tidak dijual, tidak diwariskan dan juga tidak dihibahkan (HR Bukhari).

Berdasar hadis ini, maka wakif boleh mengelola wakafnya sendiri baik diperuntukkan bagi keluarga-keturunannya (waqf ahli) maupun untuk masyarakat umum (waqf khairi). Sebab wakif adalah pihak yang paling mengerti dengan kehendaknya berwakaf dan mengharapkan balasan dari Allah atas manfaat wakafnya. Hanya saja untuk kepentingan tertib tata kelola wakaf, maka diperlukan institusi baru bernama nazhir wakaf yang bekerja sesuai niat dan kehendak wakif.

Untuk kepentingan yang sama pemerintah membentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang mengatur administrasi perwakafan dan pembinaan terhadap nazhir. BWI bertugas menetapkan nazhir yang dipercaya wakif mengelola wakafnya. Posisi wakif mirip dengan Dewan Pengawas atau Dewan Pertimbangan atau mungkin juga Komisaris dalam suatu organisasi. Posisi BWI mirip dengan KUA sebagai pencatat pernikahan dan melakukan pembinaan pengantin.

Sementara posisi nazhir mirip dengan perusahaan outsorcing yang profesional. Jika kinerja nazhir tidak mendukung kehendak wakif dalam mengelola dan mengembangkan wakafnya, maka itu harus menjadi catatan penting BWI untuk dilakukan pembinaan sampai kepada penggantian nazhir.

Baca Juga; Lahirkan Pengelola Wakaf Profesional, FEBI UIN Imam Bonjol Jalin Kerjasama dengan LSP BWI

Wakif pada prinsipnya tidak pernah kehilangan peran terhadap harta benda yang diwakafkan. Wakif bertali nasab dengan harta benda wakafnya, tidak pernah terpisah dan dipisahkan selamanya. Apalagi wakaf dengan jangka waktu(muaqqat) tertentu berbatas waktu dan akan kembali harta benda wakaf dengan sendirinya kepada wakif. Negara mengakomodir eksistensi wakif dalam aturan perundang-undangan. Posisi wakif sangat vital dan tidak bisa digantikan dan jika wakif meninggal dunia, harus segera ditunjuk ahli waris yang berposisi sebagai wakif definitif.

Dalam regulasi wakaf, negara mensyaratkan adanya tiga komponen pelaku wakaf yaitu pertama, wakif sebagai pihak berkaitan langsung dengan wakafnya sepanjang masa, kedua, BWI sebagai regulator dan legalisator, dan ketiga, nazhir sebagai pengelola wakaf sesuai kehendak wakif. Inilah yang menjadi keunikan pengelolaan harta benda wakaf dibandingkan dengan amalanal-ihsan lainnya. Terhadap sejumlah amalanal-ihsan seperti zakat, infak dan sedekah tidak diatur sedemikian rupa, sehingga badan amil zakat atau pengurus suatu institusi filantropi dapat mengelola sendiri tanpa ada mekanisme pergantian pengelola.

Eksistensi wakif terlihat pada UU No 41 Tahun 2004 dan PP No 42 Tahun 2006 dan PP 28 Tahun 2016. Dalam Peraturan BWI No 3 Tahun 2008 Bab IV Pasal 4 disebutkan beberapa syarat pergantian nazhir antara lain; surat permohonan dari wakif kepada KUA untuk penggantian nazhir oleh BWI, ditambah dengan surat keberatan wakif terhadap kinerja nazhir. Sejalan dengan itu, Menteri ATR/BPN juga mengeluarkan Peraturan Menteri ATR/BPN No 2 Tahun 2017 tentang tata cara pendaftaran perubahan nazhir pada Bab II Bagian Kedelapan Pasal 13 bahwa salah satu syarat pengajuan penggantian akta tanah adalah surat persetujuan dari wakif.

Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara, sangat penting sebagai guideline bagi semua pihak yang terlibat pengelolaan wakaf. Hari ini wakaf tidak saja dipandang sebagai instrumen ibadah dan pembersihan harta tetapi juga menjadi persoalan investasi dan bisnis keuangan produktif sesuai syariah. Terlebih BWI sedang menggalakkan kegiatan wakaf uang yang menuntut profesionalitas, akuntabilitas dan akseptabilitas.Wakaf uang berkaitan dengan investasi modal pada Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang ditunjuk pemerintah sebagai Penerima Wakaf Uang (PWU). Sehingga kompetensi bidang pengelolaan keuangan menjadi mutlak dimiliki oleh pengelola wakaf (nazhir).

Dengan semakin lengkapnya literasi, aturan dan petunjuk pelaksanaan wakaf diharapkan filantropi Islam dapat berkembang dengan pesat. Tercatat potensi wakaf uang berkisar 190 triliun pertahun. Tanah wakaf seluas 430 ha belum digarap secara produktif. Sejumlah kajian memastikan bahwa potensi wakaf jika dikelola secara maksimal dan tepat akan dapat menyelesaikan persoalan ekonomi bangsa yang masih bermasalah. Apalagi jika dikapitalisasi dengan filantropi lain seperti zakat, infak dan sedekah dengan potensi 30 triliun pertahun akan menjadi kekuatan ekonomi yang dahsyat dan mencengangkan semua pihak. Wallahua’lam.***

 

Eka Putra Wirman merupakan cendikiawan muslim di Sumatra Barat.

Baca Juga

Selama Ramadan, umat Islam diwajibkan menjalankan ibadah puasa. Puasa merupakan kegiatan menahan lapar, haus, hawa nafsu dan hal-hal lain.
Sikat Gigi dan Berkumur-kumur saat Puasa, Bagaimana Hukumnya?
Lahirkan Pengelola Wakaf Profesional, FEBI UIN Imam Bonjol Jalin Kerjasama dengan LSP BWI
Lahirkan Pengelola Wakaf Profesional, FEBI UIN Imam Bonjol Jalin Kerjasama dengan LSP BWI
Meluruskan Makna Syirik
Meluruskan Makna Syirik
utangnya
Tunda Bayar Utang Padahal Mampu, Ini Hukumnya dalam Islam
Menghindari Kekerasan
Menghindari Kekerasan
Nuzul Iskandar : Boleh Memukul Orang Tua
Menimbang Slogan “Beribadah Sesuai Sunnah”