Saya dan keluarga berpetualang kecil-kecilan. Menggunakan mobil, berpenumpang 5 orang. Dari Padang kami melaju ke pangkal Sumatera yang sekaligus pangkal Indonesia, kilometer 0 di Pulau Weh.
Kami menempuh jalur Barat - Selatan. Dari Padang ke Bukittinggi, terus ke Bonjol, Lubuk Sikaping, Rao, Panyabungan, Padang Sidempuan, Sibolga, Barus, Subulussalam, Tapaktuan, Labuhan Haji, Moearasoekon, Blang Pidie, Meulaboh, Calang, Banda Aceh dan menyeberang ke Pulau Weh. Pulangnya kami ambil jalur timur melalui kota Medan.
Jauh berjalan banyak yang dilihat. Masjid adalah salah satu yang menarik perhatian saya. Masjid yang berjejer-jejer di sepanjang jalan wilayah Aceh.
Di Aceh ada 4.383 masjid. Tersebar di seluruh kabupaten dan Kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Itu menurut data terakhir (2022) Kementerian Agama.
Masjid di Aceh bagus-bagus. Saya yang tidak paham ilmu arsitektur mengagumi bentuk masjid-masjid di Aceh yang sangat variatif. Ada yang bentuknya mirip-mirip dengan masjid-masjid yang banyak ditemui di Sumbar. Ada pula yang unik seperti Masjid Tempurung Kelapa (Masjid Raudhatul Rahman) di Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie.
Hampir semua masjid di Aceh dirancang terbuka. Sirkulasi udaranya dibuat bagus. Mesin pendingin udara (AC) tidak diperlukan betul. Kipas angin saja cukup untuk menyejukkan ruangan.
Pagar dan pintu masjid, pada umumnya, terbuka 24 jam. Di malam buta, masjid tetap terang benderang. Pelintas yang kemalaman dipersilakan singgah untuk meluruskan badan: melepas penat sambil mengumpulkan tenaga.
Dari ribuan masjid itu, yang paling ikonik tentu Masjid Raya Baiturrahman (MRB), terletak di jantung kota Banda Aceh. MRB pertama kali dibangun tahun 1612, semasa Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M).
Masjid dengan gaya arsitektur Mughal ini pernah dibakar Belanda. Pembakaran itu risiko dari bangsa Aceh yang keras hati: tidak mau dijajah Belanda, rakyat melawan. Pertempuran sengit terjadi. Tepat tanggal 10 April 1873, masjid yang jadi simbol agama, budaya, semangat, kekuatan, perjuangan dan nasionalisme rakyat Aceh itu dibakar. Ada juga yang menyebut MRB terbakar karena serangan bersenjata yang dilancarkan Belanda.
Pada tahun 1879, MRB dibangun lagi. Selesai pada 27 Desember 1881. MRB mengalami beberapa kali perubahan, diantaranya tahun 1935 dan 1991 yang selesai tahun 1993. Paska tsunami 2004, MBR lebih dipercantik dengan menambah fasilitas pendukung seperti parkir bawah tanah.
MRB yang sering disebut sebagai Taj Mahal Indonesia itu menyediakan diri sebagai ruang interaksi sosial, di pelataran masjid yang luas. Halaman depan, kiri dan kanan MRB dipasangi keramik berkualitas bagus. Di atasnya dipasangi 12 payung elektrik raksasa berbahan membrane serupa yang terpasang di Masjid kesayangan Rasulullah Nabawi Madinah.
Tidak hanya di MRB, hampir di semua masjid yang kami singgahi juga adalah pusat interaksi sosial. Warga bisa duduk-duduk santai atau tidur-tiduran menunggu datangnya waktu shalat di pelataran masjid yang bersih. Pelataran juga tempat bagi orang tua menunggu anak-anak mereka yang sedang mengaji. Atau, sebagai meeting point dengan teman atau kerabat. Ada juga ustadz dan ustadzah yang menggunakan pelataran masjid dalam halaqah-halaqah kecil mengajarkan Alqur'an kepada anak-anak didik mereka.
Baca Juga: Rakernas APEKSI dan Pembenahan Batang Arau
Pengunjung tidak dibenarkan menggunakan sendal atau sepatu di pelataran masjid. Alas kaki mesti dititipkan di tempat penitipan atau di pinggir pelataran. Sekadar melintasi pelataran boleh. Syaratnya, sendal atau sepatu mesti ditenteng.
Rancangan masjid sebagai pusat interaksi sosial ini yang jarang saya temukan di Sumatera Barat, termasuk juga Masjid Raya Sumatera Barat (MRSB). Rancangan MRSB kurang bersahabat dengan rakyatnya. Kurang, atau bahkan tidak ada ruang terbuka di MRSB untuk rakyat saling berinteraksi.
Halaman depan MRSB arah Jalan Khatib Sulaiman dan Jalan KH Ahmad Dahlan terlalu banyak taman yang tidak perlu. Mestinya taman di dua sisi jalan itu dijadikan pelataran luas yang dipasangi keramik.
Saya membayangkan, di bulan Ramadhan, warga (warga tempatan ataupun pendatang) berkelompok-kelompok di pelataran MRSB menunggu azan Maghrib berkumandang. Saat waktu berbuka masuk, orang-orang berebutan membagi-bagikan takjil yang mereka punya kepada sesama mereka.
Tidak hanya di bulan Ramadhan, di hari alang juga begitu: MRSB mesti sebagai pusat interaksi sosial terbesar di Sumatera Barat.
Medan, 13 Agustus 2022
—