Langgam.id - Dosen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas (Unand) Hary Efendi yang akrab disapa "Ajo" secara resmi meraih gelar doktor. Hary lulus dalam sidang promosi doktor di FIB Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Jumat (12/8/2022).
Hary mengangkat disertasi berjudul "Supranatural dalam Kehidupan Politik Minangkabau: Studi tentang Relasi Kuasa Urang Pandai dengan Calon Kepala Daerah pada Pemilihan Kepala Daerah di Sumatera Barat (1977-2015)".
Dalam ringkasan disertasinya yang dikirim kepada langam.id, Ajo menyatakan, fenomena "urang pandai" (orang pintar) menguat. Hal ini seiring dengan dengan semakin tinggi dan ketatnya persaingan antar calon kepala daerah yang ditimbulkan oleh perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah dari pemilihan tidak langsung melalui DPRD menjadi pemilihan langsung oleh rakyat sejak tahun 2005.
Ajo menulis, istilah urang pandai merujuk pada istilah wong pinter dalam masyarakat Jawa, yaitu orang yang memiliki kemampuan spritual dalam melihat berbagai gejala sosial dan politik dalam masyarakat.
"Mengacu pada kasus disertasi ini, maka orang pandai diklasifikasikan atas dua bentuk yaitu 1) guru tarekat yang kemudian disebut dengan sufi penyembuh (sufi healer), 2) orang ber-aku-an atau juga disebut orang keturunan (perantara)."
Orang tarekat, menurutnya, adalah mereka yang membantu masyarakat dengan menggunakan ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Nabi, serta menggunakan pengetahuan esoteris yang mereka miliki untuk memahami bahwa nilai-nilai keTuhanan adalah hal yang utama.
Sementara, orang ber-akuan merupakan orang yang mempunyai kemampuan supranatural karena pengaruh makhluk gaib yang berasal dari orang–orang sakti di masa lalu.
Hasil penelitian Hary Efendi mengungkap, dua tipe urang pandai tersebut berperan sebagai mentor spiritual, dan penasehat politik bagi sejumlah calon kepala daerah dalam pemilihan tidak langsung (1977-2003) maupun langsung (2005-2015).
Menurutnya, fenomena dan relasi urang pandai tidak hanya terjadi dalam ranah sosial dan dunia pengobatan, akan tetapi juga terjadi dalam arena politik, pemerintahan, dan tidak terkecuali dalam pemilihan kepala daerah.
"Relasi kuasa urang pandai sebagai mentor spiritual, penasehat politik, dan tim sukses dalam pemilihan kepala daerah tidak langsung maupun langsung dipengaruhi oleh perubahan sistem politik dan mekanisme pemilihan kepala daerah, tradisi dan budaya dalam masyarakat Minangkabau, pengaruh ajaran tarekat, serta pandangan positif masyarakat terhadap urang pandai," tulis Ajo.
Relasi kuasa urang pandai yang semakin menguat dalam pilkada langsung, menurut Ajo, merupakan sebuah peristiwa yang anomali dalam arus perubahan tatanan politik nasional dan lokal yang semakin terbuka dan modern. "Hal ini akan terus menghiasi wajah masa depan politik pemilihan kepala daerah di Indonesia, khususnya di Sumatera Barat," tulisnya.
Relasi kuasa guru tarekat dan orang ber-akuan sebagai mentor spiritual dan penasehat politik, menurutnya, termanifestasi melalui berbagai praktik spiritual antara lain; wirid, tawajjuh, suluk, tahlilan, dan dzikir; ziarah dan berdoa di makam ulama; praktik panarawangan (penerawangan); menggunakan matra (doa), jimat dan ramuan lainnya.
Selain itu, menurut Hary Efendi, selama pemilihan langsung (2005-2015), guru tarekat dan ber-akuan juga berperan sebagai tim sukses calon kepala daerah. Calon kepala daerah merasa lebih nyaman baik secara psikologis maupun fisiologis karena merasa mendapatkan perlindungan, pertahanan diri, serta dukungan massa.
"Terbentuknya relasi kuasa urang pandai dengan calon kepala daerah karena dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu; sistem politik dan regulasi pemilihan kepala daerah; nilai adat dan budaya; pengaruh tarekat di Sumatera Barat; dan pandangan masyarakat terhadap urang pandai itu sendiri."
Ajo menyatakan, memang sulit membuktikan secara utuh, apakah kemenangan calon kepala daerah tersebut sepenuhnya ditentukan oleh urang pandai, dan atau faktor-faktor lainnya.
"Pada dasarnya calon kepala daerah tidak sepenuhnya percaya urang pandai dapat menentukan kemenangan. Para calon kepala daerah di Sumatera Barat sangatlah rasional dalam berpolitik. Namun demikian, temuan membuktikan bahwa relasi kuasa urang pandai sebagai mentor spiritual, penasehat politik dan tim sukses calon kepala daerah dalam pemilihan tidak langsung maupun langsung sungguh benar terjadi."
Peran urang pandai sebagai mentor spiritual, penasehat politik dan tim sukses sangat dibutuhkan oleh calon kepala daerah untuk memperoleh ketenangan, meningkatkan rasa percaya diri dan perlindungan diri, serta untuk menghitung dan memastikan kemenangan.
Hal tersebut terkonfirmasi melalui aktivitas dan praktik spiritual yang dilakukan antara urang pandai dengan calon kepala daerah. Mulai dari wirid, tawajjuh, suluk, tahlilan, dzikir, ziarah dan berdoa dimakam, hingga praktik-praktik penerawangan dan penggunaan jimat, serta berbagai ramuan lainnya.
"Urang pandai bukanlah yang amat menentukan sikap dan tindakan politik calon kepala daerah, akan tetapi menjadi sebuah preferensi yang dapat menyempurnakan ikhtiar seorang calon kepala daerah."
Hadirnya urang pandai dalam politik pemilihan kepala daerah, menurut Hary, merupakan sebuah anomali dalam wajah perpolitikan modern dan kontemporer di Indonesia.
"Pada satu pihak rekrutmen dan suksesi kepemimpinan politik di lembaga pemerintahan berorientasi basis rasionalitas, terukur, partisipatif, dan terbuka melalui perubahan regulasi dan mekanisme tata kelola politik dan pemerintahan, namun pada pihak yang lain unsur nilai-nilai sosial, budaya, adat dan agama yang adakalanya bersifat irrasional, mistik, tertutup menjadi bagian yang akan tetap mewarnai setiap perubahan yang terjadi."
Hal ini, menurut Hary, sepertinya akan terus berlangsung sampai kapanpun dalam berbagai arena kontestasi politik di Indonesia. "Tidak hanya dalam pemilihan kepala daerah langsung, akan tetapi juga arena suksesi kepemimpinan politik lainnya seperti pemilihan presiden, anggota legislatif, hingga kepala desa," tulisnya.
Pendekatan yang digunakan dalam disertasi, menurut Ajo, adalah pendekatan multidimensional (multidimensional approach), yaitu sebuah pendekatan dalam ilmu sejarah yang bernilai guna untuk menganalisis peristiwa sejarah secara kritis dengan memakai konsep dan teori-teori ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu politik dan antropologi.
Setelah menjawab pertanyaan promotor, co-promotor, guru besar dan oponen ahli, Ajo dinyatakan lulus oleh pimpinan sidang Prof. Aquarini Priyatna yang juga dekan FIB Unpad. Tiga guru besar menjadi mentor Hary dalam menyusun disertasi, yakni Prof. Dr. Reiza D Dienaputra (promotor utama) serta dua co-promotor, Prof. Dr. Kunto Sufianto dan Prof. Dr. Gusti Asnan.
Dengan demikian, Ajo yang lahir di Pariaman ini bergelar lengkap Dr. Hary Efendi Iskandar, SS. MA. Ajo merupakan alumni S1 Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unand dan S2 di Universitas Gadjah Mada pada 2011.
Saat kuliah, selain aktif di HMI, Ajo juga aktif di Senat Mahasiswa Universitas Andalas (Sema Unand). Usai reformasi, ia sempat menjabat sekretaris umum, saat ketua Sema Unand dijabat almarhum Husni Kamil Manik, ketua KPU RI (2012-2016). (HM)
—