Tulisan saya soal Kapitalisme Religius (KR) ditanggapi oleh Rafki Rasyid (RR), seorang kandidat doktor ekonomi yang berdomisili di Batam. Menanggapi tulisan dengan tulisan dan berdialektika beradu argumen adalah contoh yang baik. Saya mengapresiasi RR yang telah mengalokasikan waktu dan pikirannya.
Akan tetapi, RR terlihat kurang memahami tulisan-tulisan saya terdahulu tentang KR. Sehingga RR memaksakan apa yang dia pikirkan menjadi seolah-olah itulah yang saya maksudkan, “putting his words into my mouth.” Tentu, ini terkesan kurang baik.
Baca Juga: Kapitalisme Irreligius (KI) Sebagai Antitesis Kapitalisme Religius (KR)?
Saya dipersepsikan menyerang ACT, dan RR terlihat hendak membela ACT. Padahal, rangkaian artikel saya tentang KR tersebut bukanlah tentang ACT per se. Kasus ACT hanya berfungsi sebagai pintu masuk untuk membahas tema KR secara taksonomis. Yaitu, KR sebagai sebuah pola (pattern), sehingga perlu penjelasan yang memadai. Ini yang sepertinya luput dari pemahaman RR.
RR menawarkan frasa Kapitalisme Irreligius (KI) sebagai anti-tesis dari KR. Tetapi RR tidak menjelaskan apa itu KI. Tidak jelas pula bagaimana anti-tesis itu dirumuskan. Sementara saya, secara sederhana, mendefinisikan KR sebagai praktik kapitalis dengan nuansa kesalehan dan menawarkan sebuah anatomi untuk KR.
Sepertinya RR menggunakan istilah KI untuk merujuk pada model filantropi Barat, seperti Rockefeller Foundation yang saya sitir sebelumnya. Di sini, RR jelas salah kaprah.
Dalam anatomi KR yang saya tawarkan, filantropi Barat adalah salah satu varian dari kapitalisasi donasi yang merupakan salah satu bentuk dari KR. Varian berikutnya dari kapitalisasi donasi adalah pengepul sumbangan model ACT.
Terlihat pola yang berbeda dari dua varian tersebut. Filantropi Barat memanfaatkan hasil akumulasi dari para kapitalis sukses untuk kemudian diredistribusikan untuk tujuan-tujuan kemanusiaan. ACT mengakumulasi donasi dari masyarakat dengan menggunakan teknik marketing yang masif, mengemplang sebagian, dan meredistribusikan sebagian untuk misi-misi kemanusiaan.
Baca Juga: Ada Apa dengan Kapitalisme Religius (KR)?
Jadi filantropi Barat dan kapitalisasi donasi model ACT adalah sama-sama varian dari KR. Sepertinya RR luput menangkap secara utuh anatomi KR yang telah saya jabarkan di Republika, tetapi sudah terburu-buru menyorongkan sebuah anti-tesis.
Anatomi KR tidak menyangkut persoalan baik-buruk. Ia menawarkan sebuah pola. Soal baik-buruk, bisa ditemui di semua varian KR. Setiap model KR akan memiliki sisi positif dan negatif, sesuatu yang sangat alamiah.
oOo
Jika pun ingin menelisik anti-tesis dari KR, kita justru perlu melirik anti-tesis dari kapitalisme itu sendiri, yaitu sosialisme. Jika sekarang kita membahas frasa kapitalisme religius, di abad yang lalu, sudah ada konsep Sosialisme Religius (SR) sebagai upaya menciptakan keadilan sosial dalam masyarakat yang egaliter berlandaskan ajaran agama. “Redistribusi” menjadi kata kunci, sebagai anti-tesis dari “akumulasi.”
Hal ini bisa ditelusuri dari pemikiran tokoh-tokoh pergerakan: HOS Tjokroaminoto, Mohammad Hatta dan Sjafruddin Prawiranegara. Sangat bisa dipahami ada kedekatan antara nilai-nilai kesetaraan dan keadilan sosial dengan ajaran agama, maka lahirlah SR.
Sayangnya, SR baru sampai pada dataran wacana. Tetapi perlu diingat bahwa sila ke lima Pancasila, dasar negara kita, adalah soal keadilan sosial.
Tragedi nasional tahun 1965-1966, ketika PKI diberangus, telah mengubur diskursus sosialisme dengan segala varian-nya. Jangan lupa, hulu dari sosialisme adalah Marx.
Dalam hal ini, perlu membuat pembedaan tegas antara PKI/komunisme dan ajaran-ajaran Marx.
Komunisme mengambil inspirasi dari ajaran Marx. Tetapi, ajaran Marx telah menginspirasi banyak orang, pihak, dan berbagai turunan pemikiran.
Kelompok feminis, gerakan lingkungan, kalangan sosial demokrat, gerakan buruh, sampai dengan partai buruh, dan berbagai kelompok progresif, semua mengambil inspirasi, salah satunya, dari Marx.
Salah satu sumbangan utama Marx adalah mengkonsepkan “kelas” (class) yang menumbuhkan “kesadaran kelas” (class consciousness) sehingga membangkitkan “agency” dari mereka yang tertindas.
Marx telah menginspirasi tokoh-tokoh anti-kolonial dan pejuang kemerdekaan di dunia ke tiga di pertengahan abad ke dua puluh: Mulai dari Soekarno, Nehru, Lumumba, Allende, Nkrumah, Guevara, Mosaddegh, sampai Mandela .
Di samping Soekarno, hampir semua founding fathers kita adalah pembaca Marx yang baik: Hatta, Sjahrir, Agus Salim, dan lain-lain. Apalagi Tan Malaka.
Akibatnya, sejak Orde Baru, Indonesia tidak lagi mengenal dialektika yang sangat dinamis antara kiri-tengah dan kanan-tengah. Hingga saat ini.
Generasi yang lahir setelah tahun 1965 seperti kesulitan untuk memahami ini. Mereka tidak menemukan dialektika tersebut di pendidikan formal. Tidak pula di diskursus politik, apalagi diskursus kebijakan.
Lebih parah lagi, sejak beberapa tahun terakhir, yang mengemuka justru adalah polarisasi cebong dan kadrun. Itulah kita.
oOo
Mereka yang sempat mengenal Barat akan sedikit beruntung. Mereka tentu bisa menyaksikan betapa dinamisnya dialektika antara kiri-tengah dan kanan-tengah. Sistem welfare state adalah salah satu hasil gemilang dari dialektika tersebut. “Kiri” telah menjadikan “kanan” lebih baik.
Lalu apakah Indonesia perlu menganut welfare state? Itu lain cerita. Sejarah dan peradaban tidak bisa di copy-paste. Perjalanan setiap bangsa bersifat unik. Yang pasti, kita harus menarik pelajaran dan hikmah dari pengalaman bangsa-bangsa lain. (*)
----
Dr Zulfan Tadjoeddin
Associate Professor in Development Studies, Western Sydney University, Australia
—
Dapatkan update berita Sumatra Barat terbaru dan terkini hari ini dari Langgam.id. Mari bergabung di Grup Telegram Langgam.id News Update, caranya klik https://t.me/langgamid, kemudian join. Anda harus instal aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.