Beberapa hari belakangan saya banyak membaca postingan teman di grup WA atau kiriman ke jaringan pribadi (japri) menyangkut pernyataan dari La Nyalla Mahmud Mattalitti, Ketua DPD RI yang mengomentari keadaan aktual yang terjadi di Indonesia; mengenai tiga periode atau perpanjangan masa jabatan presiden, soal demonstrasi mahasiswa agar jangan ditangani secara represif, serta yang terakhir mengenai oligarki dan bahayanya bagi kehidupan bangsa yang di sampaikan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah Jawa Timur.
Sejujurnya bagi saya ini sungguh menarik, sesuatu yang rasanya sudah lama hilang dari tradisi/budaya kekuasaan kita sebagai bangsa Timur yang sangat “perasa” dan euh parkeuh. Lebih menarik lagi, karena beliau adalah Ketua DPD RI, seumpama Ketua Senat di Amerika.
Beberapa pandangan La Nyala itu seperti mengeluarkan kita dari tradisi “menyamakan suara" dalam grup paduan suara lembaga-lembaga negara saat menyanyikan lagu wajib. Sudah agak lama juga rasanya bangsa ini hidup dalam tradisi “accord”, di mana dianggap tak pantas jika pimpinan lembaga negara berbeda pandangan di depan publik.
“Tradisi” ini terjadi sejak dari tingkat nasional sampai ke level kecamatan. Bila hal itu ada di level provinsi atau kabupaten, bisa diartikan Forkompimda (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah) pecah dan tidak kompak. Ini bisa memberikan stigma buruk pada masing masing pimpinan dalam penilaian pejabat di atasnya. Bisa dianggap tak mampu berkoordinasi.
Di sisi lain, masyarakat sendiri kadang juga berpandangan bahwa suara berbeda yang didengungkan seorang pejabat atas suatu kondisi atau kebijakan lembaga lain atau pejabat lain, bisa dinilai telah terjadi perpecahan, konflik, atau ketidakharmonisan di kalangan pemerintah. Kultur demokrasi kita, rasanya memang seperti itulah, sehingga banyak pikiran jernih yang akhirnya tak tersampaikan dan tersimpan saja dalam brankas kebenaran, demi menjaga citra kekompakan.
Lalu, tiba-tiba La Nyala Mattalitti mendobrak tradisi itu. Ia muncul dengan suara yang berbeda, dengan perspektif yang terasa lain dan tidak biasa, sehingga kebekuan seperti mulai mencair.
Fenomena Kekinian Demokrasi Kita
Kritik, perbedaan pendapat, dan ketidaksepemahaman, dalam kultur demokrasi kita séjauh ini, cendrung diartikan sebagai sesuatu yang “sumbang” dan janggal. Karena itu, pendapat yang berbeda cenderung diartikan berseberangan, pihak sana – atau lebih buruk – lagi adalah “lawan politik”. Karena itu selayaknya dihadapi dengan menyiapkan "kuda-kuda" untuk melakukan serangan balik yang lebih keras, bila perlu menciderai sekalian lawan agar jera.
Dan bila serangan balik itu dirasakan "tak enak" dilakukan secara langsung berhadap-hadapan secara diametral, maka diperlukan tangan orang lain yang tampak atau tak tampak (invisible hand). Maka yang muncul kemudian adalah buzzer, baik yang tulus karena merasa sama-sama orang kita, ataupun yang berbayar.
Atmosfir kehidupan bernegara semacam ini, jangka panjang tentu menimbulkan dampak buruk dan bisa menghambat kemajuan bangsa dan demokrasi kita. Karena yang akan terjadi selanjutnya adalah:
Pertama, tidak terbangunnya tradisi berdemokrasi yang sehat, karena esensi demokrasi itu adalah melindungi dan menghargai setiap pendapat semua warga negara. Gairah yang muncul untuk bersilang pendapat dalam hal ini seyogyanya diartikan sebagai partisipasi publik untuk menguji suatu tesis hingga melahirkan suatu sintesa baru yang semakin bernas dan berkualitas. Pepatah Minang mengatakan, “bersilang kayu dalam tungku, di situ api maka hidup (nyala) dan di situ pula nasi jadi masak (matang)”.
Para pendiri negeri ini sangat paham bahwa kekuasaan itu adalah milik rakyat, sovereignity of the people istilah John Lock. Dan itu sebabnya dijamin oleh hukum dasar negara kita. Akan tetapi dalam praktik belakangan ini, ada rasa ketidaktulusan menerima hal hal yang berbeda. Perilaku seperti itu jelas menisbikan bahwa kekuasaan adalah amanah (mandatory) yang diberikan sementara oleh rakyat kepada orang atau sekelompok orang tertentu, yang pada saatnya harus di pulangkan.
Kedua, banyak pikiran dan gagasan sehat yang semestinya diberi tempat terhormat dalam pembangun peradaban, jadi hilang sia-sia karena tidak ingin dianggap musuh kekuasaan. Hasil survei yang menunjukkan bahwa 62,9 persen rakyat takut menyampaikan pendapatnya adalah lampu kuning bagi kesehatan demokrasi. Padahal, bukankah musuh bersama (common enemy) bangsa ini hanya kebodohan dan kemiskinan, bukan pendapat yang berbeda.
Ketiga, tidak akan terbangun kultur bahwa lawan berdebat (berbeda pendapat) adalah sahabat untuk kemajuan berfikir, karena dialektika akan melahirkan sintesa yang akan menjadi tesa baru yang semakin baik. Lihatlah hebatnya suasana diskusi para pendiri bangsa ini di seputar masa Proklamasi Kemerdekaan yang dipertontonkan para Founding Fathers kita, seperti dapat kita lihat, misalnya, dalam buku Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945 (3 jilid) yang di tulis Prof. Mr. Muhammad Yamin.
Karena itu, mungkin sudah saatnya dilakukan perenungan kembali terhadap hakekat berkuasa yang orang Minang menyebutnya “sasek diujuang jalan, baliak ka pangka jalan” (tersesat di ujung jalan kembali ke pangkal jalan). Maksudnya, menggali kembali apa itu kekuasaan, dari mana datangnya dan untuk siapa digunakan serta pesan siapa harus dituruti (government base upon the concent of the governed).
Kekuasaan haruslah berpijak pada kesadaran dan nurani yang tulus, bahwa penguasa adalah pemegang amanah dari orang yang memberi amanah. Dia bukanlah apa-apa tanpa amanah itu. Beda dengan sistem monarki, di mana raja tidak pernah salah (the king can do no wrong).
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan tentu diharapkan untuk mendengar suara pemberi kakuasaan agar pemberi kekuasaan merasa lega dan puas (satisfaction) dengan mandat yang diberikan. Bukan mencari dalih dengan mengatakan bahwa semua sudah sesuai dengan hukum (due to process of law) dan semua sudah pasti baik baik saja.
Kekuasaan tak hanya menjalankan pasal-pasal undang-undang. Kekuasaan juga harus menggali nilai dan substansi secara jernih dan tulus tentang apa hakekat pentingnya sesuatu perlu diatur (regeling) atau ditetapkan (bescheking). Muara dari semua aturan dan ketetapan adalah kepuasan bagi pemberi kekuasaan.
Keempat, hilangnya kepekaan terhadap aspirasi dan inspirasi, karena masukan akan selalu dianggap sebagai usaha mengganggu jalannya kekuasaan. Ada sifat-sifat pribadi manusia, bahwa rasa tidak senang kepada kekuasaan selalu dipupuk dan dirawat, sehingga kekuasaan sebetul apapun, apalagi keliru atau tak sejalan dengan pikirannya, selalu dianggap salah. Hari-harinya hanya digunakan untuk mencari kesalahan penguasa.
Seorang ahli manajemen (Prahalad) pernah mengatakan, bila ingin mencari kesalahan, 100 buku bisa dibuat setahun. Tapi sulit membuat satu buku yang membangun ide, gagasan, dan pikiran sehat.
Keadaan ini dapat menimbulkan terbentuknya atmosfir politik kubu kubuan. Masyarakat jadi terbelah dan demokrasi hanya jadi ajang saling serang dan tak menghasilkan pikiran bernas. Pihak yang diserang tak lagi memperhatikan apa materi yang disampaikan, tapi mencari alasan untuk menyerang balek , mencari pembenaran atas apa yang dilakukan, meskipun hanya sekedar berkilah dan seperti "menegakkan benang basah". Meskipun kadang ada juga kritik sehat tapi karena muncul dari "lawan” maka pikiran sehat yang ada di dalamnya tak lagi diambil pusing. Yang tampak adalah kita diserang dan mari kita balik menyerang.
lbu saya selalu mengingatkan kami semasa kecil: “Jangan kalian bertengkar, nanti rezeki dan berkah akan menjauh”. Saya juga khawatir hal ini bisa terjadi di negeri ini.
Kelima, kehidupan demokrasi semacam ini bisa mengakibatkan terbelahnya masyarakat. Sebagai bangsa kondisi ini bisa mengakibatkan retaknya rasa persatuan; longgarnya perasaan senasib, kebersamaan, kekeluargaan, dan rasa keadilan, yang kesemuanya itu adalah nilai dari ground norm yang diagungkan bangsa kita.
Di kampung saya Ranah Minang, keadaan seperti itu dikiaskan dengan ungkapan “sapayuang bajauah hati, sa rumah balain raso, sa biduak indak sagamang dan salapiak lain rasian”. Artinya, satu payung tapi hati berjauhan, serumah berlain rasa, sebiduk tidak segamang, dan satu tikar tidur tapi mimpi berbeda. Bila ini terjadi dalam keluarga, ini sudah lampu kuning keretakan rumah tangga.
Dalam hidup berbangsa, keadilan dan kebenaran memang harus dimulai dari niat baik, ketulusan dan kesadaran setiap individu, untuk mencari yang terbaik. Bukan sekadar mempertahankan argumen, meskipun tau bahwa itu keliru.
Perjalanan demokrasi kita sepertinya belum mencatat banyak kemajuan. Bahkan masih mendayung di antara dua karang (istilah Bung Hatta), walau karangnya kini sudah berbeda. Demokrasi kita mungkin masih sebatas prosedural dan tekstual, belum menyentuh esensi demokrasi itu sendiri, di mana suara rakyat adalah suara tuhan (fox populi fox dei). Suara Tuhan adalah suara kebenaran, suara kebaikan dan keadilan, bukan suara sumpah serapah dan kebencian.
Yang menjalankan kekuasaan pun perlu mafhum bahwa dia berkuasa bukan karena warisan orang tuanya turun temurun, melainkan melalui mandat berjangka dan tentu harus mengabdi dan menjawab keinginan pemberi mandat. Penerima mandat kekuasaan perlu sadar sesadar sadarnya bahwa dia bukanlah apa-apa dan juga bukan siapa-siapa tanpa mandat rakyat.
Suara Berbeda Sang Senator
Dalam scrimate politik dengan isu tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden; demo mahasiswa yang menyampaikan sejumlah tuntutan; dan isu kekuatan bayangan oligarki, ada suara berbeda dari pimpinan Senator negeri ini yang bernama La Nyala Mahmud Mattalitti. Suara itu saya dengar jernih dan bening, datang dari seseorang yang berada dalam kekuasaan atau sedang berkuasa. Bila datang dari yang belum berkuasa, seringkali karena belum kebagian, dan bila datang dari orang yang tidak berkuasa lagi, dikatakan post power syndrom atau lebih sinis dianggap belum juga puas.
Saya tak kenal dengan La Nyala, saya tak pernah berbincang dengan beliau, tapi menurut saya, pandangan La Nyala pantas diapresiasi ketika menanggapi tiga isu tadi. Bagi kekuasaan, tentu diharapkan suara itu didengar dan dipertimbangkan dengan jernih, bukan dilihat sebagai orang yang tak suka dengan pemerintah yang berkuasa. Apalagi membuatkan isu baru terhadap La Nyala dengan hal hal yang berbau fitnah.
Dengarlah apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan (Ali Bin Abu Thalib). Tak perlu pula ada yang menuduh bahwa pendapat La Nyala itu dianganggap “ada udang di balik batu”. Kalau pun ada, apa salahnya, bukankah yang diperlukan adalah benar atau tidak yang diucapkan?
La Nyala telah menyalakan pijar baru dalam membangun kultur demokrasi yang tidak selalu pro dengan “penyamaan suara”, tapi kultur yang dengan jujur mengatakan bahwa “benar adalah benar” dan “salah adalah salah” dengan cara-cara beradab atau berakhlak.
La Nyala tampaknya bukan anggota paduan suara, tapi ia kelihatannya lebih suka dengan bentuk orkestra. Biarlah berbeda bunyi instrumennya, yang penting dimainkan dalam nada yang harmonis berupa semaraknya gairah demokrasi Indonesia untuk kemajuan bangsa.
Segi Iain yang menarik bagi saya, beliau berkata tanpa menyalahkan orang lain dan tanpa ekspresi marah apalagi menghujat. Sebab menyampaikan pendapat dengan menghujat pihak lain kadang yang terbaca hanya hujatannya, bukan substansi atau materinya.
Mudah mudahan apa yang dilakukan La Nyala adalah bagian dari doa yang sering dipanjatkan ummat Islam: Allahumma haqa haqa, warzuqna thibaa, waarinal bathila bathila, warzugna thinaba.
Selamat memasuki suasana demokrasi baru yang jernih, bersahabat, berkebersamaan, bermartabat, dan ikhlas mengatakan benar di saat benar dan berani mengatakan salah ketika ada kekeliruan.
Semoga langkah ini juga di ikuti oleh pimpinan lembaga-lembaga negara yang lain, termasuk pimpinan partai politik di parlemen, meskipun berlabel sebagai partai pendukung. Katakan jugalah apa adanya dengan jujur, bukan dengan pembenaran. Perlu kita ingat, kelak semua yang kita lakukan akan diminta pertanggungjwabannya: Famayyakmal misqala zarratin Khairayyarah, wamayyakmal miskala zarratin Syarrayyarah.
Selamat menunaikan ibadah Ramadhan bagi yang berpuasa.
Alahan Panjang, 21 April 2022
Gamawan Fauzi, S.H., M.M. adalah mantan Gubernur Sumatera Barat (2005-2009), dan Menteri Dalam Negeri RI (2009-2014).