Dalam catatan VOC Malaka tahun 1783, terdapat 171 kapal dagang melayari Sungai Siak menuju Selat Malaka. Artinya hampir setiap dua hari sekali ada kapal berangkat dari kawasan hulu membawa hasil-hasil perkebunan dari pedalaman Sumatra. Mungkin masih ada emas, tapi jumlahnya sudah menurun. Ketika itu barang-barang dikirim dari pedalaman dengan menggunakan jalur darat, kuda beban atau pedati, menuju daerah-daerah Pelabuhan di kawasan hulu Siak, Kampar, Indragiri atau Batanghari. Daerah Pelabuhan ini biasa disebut Pangkalan. Sehingga tak heran di kawasan ini banyak nagari Bernama Pangkalan. Tempat para toke memuat barang ke kapal untuk selanjutnya berlayar ke selat Malaka dan Pelabuhan akhir di Eropa atau India. Thomas Dias, seorang petinggi kantor dagang VOC, juga sempat melakukan ekspedisi ke pedalaman Sumatera, kawasan Minangkabau, dengan maksud mencari komoditas ini langsung ke sumbernya. Walaupun misi untuk membuat kantor dagang VOC di pedalaman Minangkabau tak pernah terlaksana.
Pun catatan lain menyebutkan bahwa Kerajaan Siak Indrapura di Pekanbaru, sebagai kerajaan aliansi strategis Pagaruyung sangat berkembang di sisi ekonomi berkat cukai dan pajak Pelabuhan ini. Tercatat kerajaan Siak sering membantu kerajaan-kerajaan melayu di sekitarnya. Jadi, dahulu outlet barang kita sudah terbiasa menuju pantai timur. Tentu saja tanpa mengecilkan peran pelabuhan-pelabuhan di pantai Barat seperti Air Bangis, Tiku, Pariaman dan sebagainya. Barulah di jaman pasca VOC, Pelabuhan Teluk Bayur menjadi Pelabuhan penting di Sumatra. Selepas ditemukannya batubara di Sawahlunto.
Nampaknya sejarah berulang. Kejayaan pantai barat sepertinya terus berkurang dengan berkembangnya kawasan pantai timur. Jalur Tol Sumatera yang membentang dari Bakauheni menuju Banda Aceh menggunakan tapak lintas timur. Perencanaan yang menggunakan analogi sistem sirip ikan, tulang utamanya adalah jalur lintas timur. Sementara sirip-siripnya adalah jalur persimpangan tol menuju kawasan pantai barat. DI sini ada tol Pekanbaru-Padang, Bengkulu-Linggau-Palembang dan seterusnya. Ini tentu berbeda Ketika jalan lintas Sumatra dibangun di jaman orde lama dan awal orde baru yang menjadikan tulang utamanya adalah lintas tengah. Di beberapa tempat baru dibuat jalur siripnya, salah satu siripnya ini adalah Kiliran Jao di Sumbar untuk daerah Riau. Kelak tahun 90an awal, lintas tengah berbagi dominasinya dengan lintas timur.
Inisiasi Bupati Dharmasraya untuk membuat jalur akses tol ke Rengat, Riau patut kita apresiasi. Segala upaya dilakukan, baik itu vertikal ke pusat, atau horizontal ke kabupaten-kabupaten tetangga Kuantan Singingi dan Indragiri Hilir. Semua demi tujuan agar daerah di lintas tengah masih masuk sistem transportasi besar darat Sumatra. Kita doakan saja, akses tol ini segera dibangun dan tentu saja terhindar dari kendala di lapangan layaknya tol Padang-Pekanbaru yang setelah empat tahun masih tak berangsur dari 5km.
Kawasan lintas tengah memiliki potensi sumberdaya alam yang besar. Mereka punya komoditas yang cukup banyak. Sebut saja sawit, karet, telur ayam dan hasil tambang lainnya. Semua tentu membutuhkan jalur transportasi yang bagus dan efisien untuk memasarkan komoditas ini dan produk turunannya. Jangan sampai posisi yang berada (sedikit) di luar jalur utama Sumatra, menjadikan biaya logistik meningkat yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.
Kawasan lintas tengah tak perlu berkecil hati kalau kelak bukan lagi jadi jalur perlintasan utama. Paradigma kita harus berubah, dari sekedar menjadi tempat singgah orang lalu dengan membeli produk kita menjadi ke sebuah Kawasan produksi yang bernilai tambah. Sudah bukan masanya lagi orang lintas tengah hanya mengharapkan uang masuk dari pelintas yang membeli durian, rambutan, duku dan langsat yang kita jajakan di pondok pinggir jalan. Saatnya ini kita ubah dengan langsung mengirimkan komoditas kita ke tempat konsumen berada. Toh nantinya ketika jaringan jalan ini selesai, biaya transportasi akan menurun. Ditambah faktor efisiensi waktu. Lansek Sijunjung atau telur dari Payakumbuh bisa sampai ke Jakarta kurang dalam 24 jam. Bahkan pemilik rumah-rumah makan sepanjang lintas bisa menjual menu andalan mereka melalui digital market place kepada konsumen di kota-kota lain. Membaiknya konektivitas sejatinya menumbuhkan harapan kita.
Saat ini beberapa daerah di lintas tengah Sumbar mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang baik. Dharmasraya, Payakumbuh dan Limapuluh Kota termasuk 10 daerah yang memiliki pertumbuhan kelas menengah tertinggi di Indonesia. Semua berkat paradigma baru dalam menghasilkan produk unggulan. Dharmasraya dengan komoditas perkebunan, Payakumbuh dan Limapuluh Kota dengan komoditas peternakan. Hal lain yang harus kita pikirkan adalah mendirikan industri-industri turunan sawit dan karet di kawasan lintas tengah. Bukan sekedar pabrik CPO atau pabrik karet setengah jadi. Penulis bermimpi di lintas tengah berdiri manufaktur-manufaktur besar olahan sawit seperti sabun mandi, shampoo, coklat dan seterusnya. Bahkan kita sudah bisa berpikir untuk mendirikan pabrik ban dan produk-produk turunan karet yang lain. Lokasi yang jauh bukan lagi alasan untuk tidak terbangunnya industri-industri ini.
Sebenarnya tak ada alasan bagi kita untuk takut menjadi terpencil atau bahkan tertinggal dengan terbangunnya tol Sumatra di pantai timur Sumatra. Sejarah telah menjelaskan kepada kita, justru kawasan Minangkabau salah satu yang paling banyak mendapat manfaat ketika selat Malaka menjadi outlet utama Sumatra. Justru kita harus mampu menjadi bagian dalam sistem besar transportasi ini. Orang-orang tua kita sudah menjelaskan dari dulu, jalan dialiah urang lalu, cupak dipapek urang panggaleh. Tak usah kuatir benar, urang lalu dan urang panggaleh itu adalah kita sendiri.
Yoss Fitrayadi
Praktisi Digital Marketing, aktif di Jilatang Institute