Berita Padang - berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: LBH Padang dampingi kasus dugaan tindak pidana malapraktik yang dilakukan Puskesmas Ulak Karang, Kota Padang.
Langgam.id - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang saat ini mendampingi kasus dugaan tindak pidana malapraktik yang dilakukan oleh pihak Puskesmas Ulak Karang, Kota Padang.
Dugaan malapraktik itu terjadi ketika Murniati, warga Ulak Karang, mengobati mata anaknya ke Puskesmas Ulak Karang pada 29 Maret 2021 lalu.
Saat konferensi pers yang digelar di kantor LBH Padang pada Rabu (16/2/2022) itu, Murniati menjelaskan kronologi dugaan malapraktik yang dialaminya anaknya.
Murniati mengatakan, bahwa pagi itu pada 29 Maret 2021, anaknya berinisial AK (12) mengeluhkan gatal-gatal pada mata kirinya.
Khawatir dengan kondisi mata anaknya, Muniarti lantas membawa sang anak ke Puskesmas Ulak Karang untuk diperiksa.
Setiba di Puskesmas, dokter yang menangani AK melakukan pemeriksaan dan memberi resep untuk mata AK.
Muniarti lantas membawa resep itu ke apoteker yang berada di puskesmas untuk mendapatkan obat. Namun, setelah tiga hari, mata anak semata wayangnya itu kian memburuk.
"Saat diteteskan obat itu, anak saya mengeluh perih dan sakit pada matanya," kata Muniarti.
Setelah tiga hari dari puskesmas, tak ada tanda-tanda kesembuhan pada mata AK. Cemas karena kondisi mata anaknya kian buruk, Muniarti datang ke apotek untuk mencari obat lain.
Ketika itu, ia datang ke apotek dan membawa obat yang diberi oleh puskesmas. Di situlah akhirnya Muniarti tahu bahwa obat itu bukan untuk mata, melainkan adalah obat tetes telinga dengan merek Reco.
Diduga, kelalaian terjadi saat pemberian resep obat itu. Penelusuran LBH Padang, produk obat dengan merek Reco terdiri dari dua jenis, yaitu obat tetes telinga dan obat tetes mata.
Foto yang ditunjukkan Muniarti kepada LBH Padang adalah obat tetes telinga merek Reco.
Muniarti tak tahu bahwa obat dari puskesmas itu diperuntukkan untuk telinga. Kedua jenis obat itu memang memiliki merek yang sama.
"Ini obat Reco untuk telinga, sebaiknya ibu minta pertanggungjawaban dari pihak puskesmas," kata Muniarti, menirukan arahan dari apoteker ketika itu.
Sekembalinya dari apotek, Muniarti datang kembali mendatangi Puskesmas Ulak Karang dan menjelaskan keluhan anaknya pasca diberi resep yang nyatanya obat telinga, oleh petugas puskesmas beberapa hari sebelumnya.
Muniarti menceritakan, saat mendatangi puskesmas, dokter yang bertugas “merampas” obat tetes telinga itu dan menggantinya dengan obat tetes mata.
"Dokter itu menyampaikan obat yang diberikan saat itu akan mereda rasa sakit dan menyembuhkan mata," kata dia.
Namun, tetap saja tidak ada tanda-tanda mata anaknya membaik. Saat itu, mata AK memerah karena infeksi. Pada bagian kornea mata AK terdapat bercak putih.
Murniati menyebutkan, pada 6 April 2021, ia kembali mendatangi puskesmas. Alih-alih dapat penanganan, ia diarahkan untuk merujuk anaknya ke rumah sakit dari tanggal 6 April sampai 16 Mei 2021.
"Waktu itu orang puskesmas suruh rujuk ke RS Hermina," kata dia.
Muniarti mengatakan, sejak saat itu pihak puskesmas terkesan menutup-nutupi apa yang sebenarnya terjadi pada mata AK.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh Muniarti dari rumah sakit, mata AK didiagnosis keratitis ephithelial, yang mengancam penglihatan yang ditandai dengan peradangan epitel kornea karena infeksi.
Setelah dirujuk ke RS Hermina, Muniarti mengatakan, kondisi mata AK tak kunjung membaik. Akhirnya, AK dirujuk ke RSKM Padang Eye Center dari 20 Mei sampai 2 September 2021.
Selama rujukan itu, biaya pengobatan ditanggung oleh pihak puskesmas. Namun, Muniarti mengatakan informasi perkembangan dan diagnosa mata anaknya tidak dijelaskan secara transparan.
Tak kunjung ada tanda-tanda akan membaik, Muniarti meminta untuk dirujuk ke RSUP M Djamil. “Tapi pihak puskesmas tidak memfasilitasi lagi,” kata dia.
Namun, saat dirawat di RSUP M Djamil, tetap saja mata AK tak kunjung membaik. Muniarti akhirnya membawa anaknya ke dokter spesialis mata di Sawahan, Kota Padang.
“Dari situ baru diketahui kalau mata anak saya tidak dapat disembuhkan lagi, dan hanya bisa diredakan rasa sakitnya,” ungkap perempuan 43 tahun ini.
Sebelumnya terangnya, pada 27 Desember, ayah AK, menempuh proses hukum dengan melaporkan persoalan yang dialami anaknya ke Polres Padang.
Tiga hari setelah melapor, polisi memanggil Muniarti untuk dimintai keterangan dalam rangka penyelidikan.
Ia juga mengadukan soal ini ke Ombudsman RI perwakilan Sumbar. Rekonsiliasi sempat dilakukan dengan mempertemukan pihak puskesmas dan keluarga korban.
Penanggungjawab kasus LBH Padang, Alfi Syukri menyebutkan, saat rekonsiliasi di Ombudsman itu, pihak puskesmas mengaku salah karena salah memberi obat pada pasiennya.
“Namun pertanggungjawaban secara penuh tidak disanggupi oleh puskesmas,” kata Alfi.
Setelah rekonsiliasi itu, puskesmas malah menawarkan uang Rp100 juta. Uang itu, kata Muniarti, adalah dana santunan.
“Ditawari uang Rp100 juta sebagai dana usaha, saya tidak mau, ini soal masa depan anak,” kata Muniarti.
Saat dimintai keterangan soal ini, pihak puskesmas tidak banyak berkomentar.
“Saat ini sedang dalam proses, sudah dibawa ke Ombudsman juga,” kata Kepala Puskesmas Ulak Karang, dr Celsia Darsun.
Sebelumnya, Celsia membenarkan kasus yang dialami anak Muniarti. Ia mengaku, bahwa pihaknya sudah mengupayakan jalan keluar.
Selain itu, pihaknya juga telah berupaya memfasilitasi upaya pengobatan bagi korban.
“Kita juga sudah menawarkan pengobatan mata anaknya sampai selesai, tapi keluarga menolak. Alasannya karena tidak ingin berurusan dengan puskesmas,” bebernya.
Celsia membantah bahwa di puskesmasnya telah terjadi dugaan malapraktik.
“Saya tidak bisa menyebutnya malapraktik. Ini kelalaian, karena siapa saja bisa lalai. Kalau malapraktik kan ada hal yang seharusnya tidak kita lakukan, tapi dilakukan,” kata dia.
Sementara itu, LBH Padang tengah mendorong kepolisian untuk segera menyelesaikan kasus ini.
Baca juga: Puskesmas Salah Beri Obat, Mata Anak di Padang Terancam Buta Permanen
“Saat ini Polresta Padang sedang memproses laporan kami, dan kami ingin polisi mempercepat proses hukum kasus ini,” kata Direktur LBH Padang, Indira Suryani.
—