Dalam minggu ini kita disajikan sahut-sahutan tulisan Gamawan Fauzi dan Buya Mahyeldi di langgam.id tentang prestasi dan kebanggaan Sumbar. Yang pertama pernah menjadi gubernur, yang kedua masih menjabat gubernur. Orang nomor satu di provinsi yang kita banggakan ini. Mereka berdua saling melengkapi kebanggaan atas prestasi Sumbar pada Pariangan desa terindah, Masjid Raya Sumbar sebagai masjid berarsitektur unik dan tentu saja tentang rendang sebagai masakan terenak versi sebuah media internasional. Saya rasa bukan hanya mereka berdua yang boleh bangga dengan semua ini.
Kita semua, orang Minang baik di ranah atau di rantau, harus bersukacita atas prestasi-prestasi ini. Tapi setelah bangga, kita harus apa lagi? Merawatnya yang pasti. Dan tentu saja harus terus mencari dan menciptakan kebanggaan-kebanggaan baru. Kebanggaan yang manfaatnya bisa dirasakan oleh seluruh orang minang terutama yang berdiam diri di ranah.
Sebenarnya kita juga boleh berbangga dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) provinsi Sumbar. Saat ini berada di urutan 9 nasional, senilai 72.65. Sedikit di atas rata-rata nasional yang sebesar 72.29. Untuk Sumatera, kita hanya kalah dengan Riau yang indeksnya bernilai 72.94.
Memang kita masih jauh untuk menyamai DKI Jakarta di peringkat satu sebesar 81.11 atau DI Yogyakarta di peringkat dua dengan nilai 80.22. IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk). Ada tiga dimensi dasar penyusunan nilai IPM, yakni umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan dan standar hidup layak. Sumbar memang bukan yang terbaik di negeri ini, tapi setidaknya kita masih berada di atas rata-rata nasional.
Bagi yang pesimis bisa saja mengkritik kalau pemerintah provinsi telah gagal. Bagaimana tidak, provinsi yang digadang-gadang telah banyak menghasilkan orang pintar kok hanya berada di rata-rata nasional. Bahkan ketika dibandingkan dengan Riau, ini bisa jadi peringatan keras. Karena sampai tahun 1980an, Sumbar masih jadi rujukan pendidikan dan kesehatan Riau. Sekarang situasi memang terbalik. Tapi saya memilih untuk optimis di bidang pengembangan manusia ini.
Kita sebenarnya masih berjalan cepat, cuma Riau memang agak kencang larinya. Kita masih ada harapan untuk bisa mengembalikan diri sebagai tempat industri otak nasional. Ketika kaum cerdik cendikia bangsa ini di awal berdirinya banyak berasal dari etnis minang. Etnis mayoritas orang Sumatera Barat. Terobosan pemimpin Sumbar di bidang pembangunan sumberdaya manusia menjadi sangat penting. Kita tunggu saja.
Saya hanya pesimis pada sektor ekonomi. Sumbar tak lagi cepat jalannya. Bahkan mungkin sedang merangkak sementara provinsi lain mulai berjalan cepat menatap ke depan. Beberapa ambil ancang-ancang hendak berlari kencang, bahkan sudah ada yang berlari cepat.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik, selama 2020 di Indonesia terdapat Rp 413 triliun Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri. Sedangkan Investasi Penanaman Modal Asing sebesar 28 Milyar Dollar, setara 429 Triliun Rupiah. Walaupun di tengah pandemic, investasi masih bisa dijaga oleh pemerintah. Lalu bagaimana dengan Provinsi Sumatra Barat? Berapa dari investasi besar ini yang kita dapatkan? Sumbar mendapatkan 3,1 Triliun untuk PMDN. Bandingkan dengan Jambi sebesar 3.5 Triliun. Atau Bengkulu dengan 5.3 Triliun. Apalagi dengan Riau yang bisa menggaet investasi dalam negeri sebesar 34 triliun rupiah. DI Sumatera kita nomor dua terbawah, tepat di atas Bangka Belitung. Tapi perlu diingat, Bangka Belitung penduduknya tidak sampai separoh penduduk Sumbar.
Mari kita lihat untuk Penanaman Modal Asing. Sumbar sedikit lebih baik daripada Aceh, Jambi dan Bangka Belitung. Investasi PMA di Sumbar sebear 125 Juta Dollar. Lebih besar daripada Aceh yang 51 Juta Dollar atau Bangka Belitung yang sebesar 48 Juta Dollar. Dibanding Riau tentu kita kalah jauh, di tahun 2020 terdapat 1078 Juta Dollar investasi asing. Dari data-data di atas. Tak mengherankan jika eksodus tenaga kerja kita terus terjadi ke daerah tetangga.
Lapangan Kerja Formal Hanya Terbuka dengan Investasi
Lapangan kerja baru sangat berhubungan dengan investasi. Hubungan ini linier. Artinya setiap ada investasi yang masuk akan membuka lapangan kerja baru. Baik itu investasi dalam atau luar negeri. Sebagai contoh, menurut BKPM/Kementerian Investasi, pada tahun 2018 terdapat 27 Milyar Dollar investasi asing dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 400 ribu orang. Memang tidak ada angka baku berapa tenaga kerja yang dibutuhkan untuk setiap 1 juta dollar investasi, karena ini tergantung kepada bentuk industri atau jasanya. Kita asumsikan, 1 persen pertumbuhan menyerap 400rb tenaga kerja. 1 persen pertumbuhan memerlukan investasi Rp 166,7 trilyun.
Irwan Prayitno dalam sebuah tulisannya pernah menyebutkan orang Sumbar cenderung tidak mau bekerja di sektor formal. Mereka lebih memilih untuk bekerja di sektor informal. Karena kita relatif tidak bisa bekerja dalam rentang waktu tetap. Intinya kita tidak mau diatur. Saya mau berdebat tiga hari tiga malam dengan Pak Irwan Prayitno untuk ini. Karena saya melihat langsung bagaimana travel-travel dan bus umum ke Riau setiap harinya membawa anak-anak muda kita yang akan mencari kerja. Saya juga merasakan langsung kerabat dan kenalan yang bertanya tentang pekerjaan buat anak dan kemenakannya. Kebetulan sampai hari ini saya masih bekerja di sektor formal. Yang tiap akhir bulan terima gaji.
Irwan Prayitno bisa bertanya langsung ke Dirut Semen Padang, betapa banyaknya lamaran yang diterima Semen Padang setiap bulannya. Apalagi ketika memang ada pengumuman perekrutan karyawan yang dilakukan. Siapa bilang orang kita tidak berminat bekerja di sektor formal. Semen Padang sebagai satu dari sedikit perusahaan besar di provinsi ini, selalu dibanjiri pelamar.
Kadang pikiran liar saya berkesimpulan, kalau tulisan Irwan Prayitno ini sebagai upaya menutupi kegagalan Sumbar menciptakan lapangan kerja formal bagi warganya. Kegagalan mendapatkan investasi, baik dalam negeri atau luar. Padahal tak sedikit kunjungan beliau ke luar negeri dulu untuk mencari investor. Kegagalan dua periode kepemipinannya yang harus ditutupi.
Sumbar sudah harus bergerak maju. Pemimpin daerahnya tak lagi sekedar palapeh tanyo tentang gebrakan-gebrakannya. Sudah mulai ada Langkah-langkah terukur dalam mengembangkan ekonomi masyarakat. Lihat Jawa Timur sebagai contoh. Ketika PT Freeport Indonesia membuat smelter di Gresik, mereka sudah bicara berapa kebutuhan insyinyur, teknisi lulusan politeknik atau SMK baik selama konstruksi atau ketika smelter sudah jadi. Termasuk kelak ketika industri turunan berkembang. Lihat juga Jawa Tengah. Ketika Singapura akan menanamkan modal di Kawasan Industri Kendal, mereka sudah bicara mengenai kebutuhan tenaga kerja bahkan langsung membangun politeknik manufaktur di sana. Hal yang tidak pernah kita dengar dari Sumatera Barat. Bagaimana pemimpin daerah bicara kebutuhan tenaga kerja berkat investasi di daerahnya. Bagaimana pemimpin daerah bersinergi dengan perguruan-perguruan tinggi di daerahnya bicara kebutuhan tenaga terdidik dan terlatih.
Merujuk data BPS Sumbar tahun 2021, penduduk usia angkatan kerja (15-65 tahun) sebanyak 4,76 juta jiwa. Dari angka penduduk usia kerja tersebut, yang menjadi angkatan kerja 2,7 juta, dan yang bekerja ada 2,58 juta, dan 179 ribu lainnya penyandang status pengangguran.
Memang terlihat tinggi angka dari data yang bekerja, namun ketika ditelisik lebih jauh, ternyata 66,28 persen orang yang bekerja tersebut ada di sektor informal, 1,71 juta orang. Dan juga dari 2,58 juta yang bekerja tersebut ternyata 333 ribu orang (12,93 persen) bekerja namun setengah menganggur. Dan 673 ribu (26.09 persen) bekerja paruh waktu.
Jadi dari 1.000 orang penduduk Sumbar, ada 466 orang (46.6 persen) yang usianya masuk angkatan kerja (di atas 15 tahun). 466 orang lalu dikurang dengan 190 orang usia di atas 15 tahun yang masih sekolah dan kuliah. Jadi yang bekerja hanya ada kurang dari 300 orang. Itu pun sebagian besar bekerja di sektor informal, setengah menganggur (bekerja musiman dan serabutan), dan sisanya bekerja paruh waktu (anak jahit, jaga toko) dengan sistem kerja tanpa perlindungan seperti BPJS Tenaga Kerja, Jaminan Hari Tua dan Jaminan Kesehatan.
Jika struktur angkatan kerja dan tenaga kerja masih seperti, maka dipastikan perlu waktu berpuluh-puluh tahun agar Sumatera Barat bisa keluar kondisi daerah yang selalu menyusu ke pemerintah pusat. Makin sedikit orang bekerja di sektor formal maka makin rendah pendapatan asli daerah. Makin besar sektor informal menyerap kerja adalah bukti kasat mata bagaimana pemerintah daerah lemah dalam mengelola potensi daerah menjadi kekuatan ekonomi, menarik orang menanam uangnya di Sumbar.
Belum lagi memperhitungkan 50 ribu angkatan kerja baru tiap tahun dari lulusan perguruan tinggi dan sekolah menengah kejuruan. Maka pada 2030 kita akan dapat tambahan 800 ribu angkatan kerja yang butuh pekerjaan. Jika ingin memberi kerja yang layak dan terjamin haknya pada 100 ribu orang, Sumbar memerlukan investasi minimal Rp 75 triliun per tahun. Itu ibarat Sumbar harus kerja keras mengejar investasi senilai Jalan TOL Padang-Pekanbaru tiap tahun. Atau perlu tak kurang dari 9 perusahaan sekelas Semen Padang harus investasi di Sumbar, (nilai buku Semen Padang tahun 2010, diperkirakan tak kurang Rp 9 triliun).
Saat ini sekolah bidan dan perawat tumbuh bak jamur di provinsi kita. Hampir tiap kabupaten/kota punya sekolah ini di berbagai level. Tapi apakah kita pernah tahu berapa penyerapan alumni mereka untuk bekerja di sektor Kesehatan. Kadang jalan keluarnya hanya menambah tenaga kontrak di level puskesmas atau rumah sakit umum daerah. Apakah ada rencana ke depan kita, menjadikan Sumbar sebagai pusat pengobatan di kawasan Sumatra? Saya belum mendengar itu. Yang ada justru warga kita makin banyak berobat ke Penang atau Malaka. Membayangkan uang mereka dihabiskan di luar negeri untuk belanja makan dan sewa apartemen. Belum lagi bicara biaya pengobatan. Padahal kurang indah apa negeri kita untuk tempat berobat. Kita dikelilingi pemandangan yang indah, yang mungkin bisa menjadi obat itu sendiri. Dan bukan tak mungkin, tak lama dari sekarang akan banyak warga kita berobat ke provinsi-provinsi tetangga.
Tapi saya masih berharap ada terobosan dari pemimpin-pemimpin yang ada di Sumbar. Apalagi banyak dari mereka yang masih berusia muda. Beberapa juga punya usaha yang mapan sebelum masuk dunia politik. Tentu mereka punya kesadaran pentingnya investasi dan pekerjaan formal. Mudah-mudahan ada terobosan yang mereka wujdukan. Tanpa terobosan yang berarti sudah kita lihat hasilnya dalam 10-15 tahun terakhir. Business as usual sudah terbukti tidak membawa Sumbar kemana-mana. Kerja seperti nan taralah sudah kita lihat besama hasilnya. Seperti kata Einstein, kegilaan adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang, dan mengharapkan hasil yang berbeda. Kita tunggu hal yang berbeda dari pemimpin-pemimpin kita saat ini. Harapan sudah kita pikulkan ke bahu mereka semua. biar terbangkit juga batang tarandam ini.
---
Yoss Fitrayadi
Praktisi Digital Marketing, Aktif di Jilatang Insitute