Menjemput Asa dengan Kursi Roda

Menjemput Asa dengan Kursi Roda

Antoni Tsaputra, disabilitas fisik berat yang berhasil menyandang gelar doktor di Australia (Foto: Riki Chandra)

Langgam.id - “Pendidikan senjata paling ampuh mengubah dunia”. Ungkapan bijak Presiden berkulit hitam pertama Afrika Selatan Nelson Mandela itu, layak disepadankan dengan perjuangan Antoni Tsaputra. Predikat doktor Universitas New South Wales (UNSW) Australia yang diraihnya seakan menegaskan, penyandang disabilitas mampu menjadi pelaku pembangunan dan bukan sekadar insan penguras simpati.

Lelaki 42 tahun itu tidak bisa berjalan sejak lahir. Namun, lebih dari separuh umurnya habis di bangku pendidikan. Ia betul-betul 'gila' memburu ilmu. Meski bertatus disabilitas fisik berat, sejak SD, Antoni tidak pernah menempuh pendidikan di sekolah anak berkebutuhan khusus atau SDLB.

“Saya belajar di sekolah umum. Alhamdulillah, sejak SD sampai SMA, selalu juara satu,” kata Antoni memulai perbincangan dengan langgam.id yang berkunjung ke kediamannya di akhir Agustus 2019, kemarin.

Antoni tinggal bersama ayah, ibu dan istrinya di Komplek Buana Indah II Blok I, Balai Baru, Kecamatan Kuranji, Kota Padang, Sumatra Barat (Sumbar). Siang itu, ia baru saja berkemas menunggu datangnya waktu salat Jumat.

Sekilas memandang, kondisi fisik lelaki yang karib disapa Anton itu, benar-benar mengkhawatirkan. Ia hanya bisa menggerakkan kepala sembari duduk di kursi roda. Sesekali menggerakkan jemari yang tak lagi bisa dipergunakan untuk menulis. Kakinya tak berdaya. Namun, raut semangat tetap menghiasi wajah sulung dari dua bersaudara itu.

Semasa kanak-kanak, Anton masih bisa mengitari rumah dengan mengesot. Seiring waktu, kekuatan otot kaki dan tangannya kian melemah. Ia menderita Physical Impairment dengan spesik Congenital Muscular Dystrophy.

“Degenerasi fungsi otot secara bertahap. Sekarang hanya bisa menggerakkan kepala dan jari yang terbatas. Dulu masih bisa nulis. Kini sama sekali tidak. Waktu kuliah doktor, saya mengandalkan aplikasi digital untuk mencatat,”katanya membentang kisah hidup.

Disabilitas sejak lahir tidak membuatnya minder, apalagi patah semangat. Memang, saat akan bersekolah di SD umum, teman orang tuanya pernah menyarankan Anton untuk belajar di SDLB. Namun, ia menolak dan tetap ingin sekolah di tempat yang sama dengan adiknya.

“Dulu belum ada sekolah inklusif. Saya tidak mau di SLB. Saya ingin sekolah di tempat umum dan tidak mau dipisahkan dengan adik,” katanya.

Anton pernah ditolak saat pertama mendaftar di sekolah umum. Namun, orang tuanya berhasil meyakinkan pihak sekolah dan akhirnya Anton diterima. “Saya syukuri nikmat Tuhan ini dan bisa membuktikan bahwa saya layak bersaing di sekolah umum,” katanya.

Setiap hari, ibunya berjalan kaki mengantar Anton yang menggunakan sepeda khusus disabilitas ke sekolah. Namun, setelah di bangku SMA, ia bersama-sama dengan adiknya ke sekolah dan tidak lagi diantar ibu. Pantang baginya libur, jika tidak dalam keadaan sakit yang begitu parah. Ia juga sering merasakan pulang hujan-hujanan.

“Kalau demam biasa, flu ringan, saya tetap sekolah. Saya tidak mau libur. Itu prinsip saya sejak SD,”tuturnya.

Selain tak pernah absen, ia termasuk siswa yang gemar membaca buku apa saja saat di bangku sekolah. Dalam sebulan, ia mampu menamatkan minimal 5-6 buku bacaan. Kegilaannya membaca buku semakin menjadi-jadi saat memasuki dunia Kampus.

Anton baru berpisah dari sang adik saat menempuh jenjang perguruan tinggi. Adiknya Andri melanjutkan pendidikan ke jurusan hukum di Universitas Bung Hatta. Sedangkan dia kuliah di Universitas Andalas (Unand) mengambil jurusan Satra Inggris.

Ia sempat kebingungan, bagaimana caranya harus ke kampus yang cukup jauh dari kediamannya. Sedangkan ayahya masih bekerja dan ibunya tidak bisa mengantar. Namun, Tuhan selalu punya cara meringankan setiap kesulitan hambanya. Bantuan itu datang dari Iyal, kawan satu jurusan dengan Antoni.

Orang tua Anton lalu membelikannya satu unit mobil seken dan Iyal-lah yang setia mengantar Anton ke kampus. “Bang Yal bantu saya ke kampus setiap hari. Kami sama-sama tamat tahun 2010. Sekarang beliau juga sudah jadi dosen. Sampai kini, hubungan kami baik. Saya sudah mengganggap beliau kakak kandung,” kenangnya.

Pantang Menyerah

Bagi Anton, pendidikan salah satu jalan terbaik untuk merubah nasib. Sebab, kemajuan zaman akan terus menuntut ketersediaan sumber daya manusia (SDM). Dengan begitu, masa depan seseorang bergantung sejauh mana ia mengakses pendidikan untuk.

Skil life tidak terbatas pendidikan formal. Banyak pendidikan non formal yang bisa diikuti untuk mempersiapkan diri menyambut masa depan yang lebih baik,” katanya.

Antoni memang selalu terlihat optimis. Namun, bukan berarti lelaki kelahiran Bukittinggi ini, tidak pernah merasa kecewa. Mentalnya sempat turun ketika mengutarakan keinginannya untuk berkeliling dunia kepada seorang kawan semasa duduk di bangku SMA.

“Mana mungkin si lumpuh bisa keliling dunia. Sedangkan untuk sekolah saja, kamu harus menggunakan kursi roda dan diantarkan ibu. Sempat dwon juga waktu itu,” katanya.

Setelah cukup lama merenungi kata-kata dari sahabatnya itu, Antoni pun kembali membulatkan tekat untuk terus melanjutkan pendidikan. Salah satu yang dimatangkannya adalah belajar bahasa inggris. Akhirnya, tamat SMA, ia melanjutkan pendidikan Strata 1 (S1) di jurusan Satra Inggris Universitas Andalas (Unand).

Menariknya, sejak menempuh pendidikan di Kampus, ia selalu mendapatkan beasiswa. Anton berhasil menjadi sarjana Satra Inggris Unand berkat beasiswa Bung Hatta Scholarship. Setelah itu, mendapatkan beasiswa Australia Award untuk melanjutkan studi magister ke luar negeri.

Ia kulian S2 di Griffith University di Brisbane, Australia bidang Jurnalistik dan Komunikasi Massa. Kemudian, ia meraih beasiswa penuh dari LPDP Indonesia untuk meneruskan pendidikan ke jenjang doktoral yang akhirnya selesai tahun 2019. Kini, ia resmi menyandang status doktor lulusan Universitas New South Wales (UNSW) Australia.

“Dari sarjana sampai doktor, biaya pendidikan saya mengandalkan beasiswa. Orang tua tidak mengeluarkan uang untuk biaya kuliah. Saya akhirnya sadar. Mungkin kalau tidak diremehkan dulu, saya tidak sebersemangat hari ini. Saya akhirnya bisa keliling dunia, meski hanya dari Indonesia ke Australia,” candanya.

Anton mengaku risih dengan beberapa kejadian yang bahkan, masih banyak dijumpai hari ini. Segelintir orang tua putus asa dengan kehadiran anak-anak penyandang disabilitas. Anggapannya, disabilitas tidak punya masa depan dan jalan satu-satunya hanya menerima kondisi tersebut. Padahal, setiap manusia punya potensi dan tidak terkecuali kaum disabilitas.

“Orang tua wajib mendorong. Saya kuat sampai hari ini karena semangat dan doa mama dan papa,” tutur ASN di Dinas Sosial Kota Padang itu.

Disamping itu, Anton juga prihatin terhadap kelangsungan pendidikan kaum disabilitas di Indonesia, termasuk di Sumbar. Jangankan untuk akses pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi (PT), untuk pendidikan dasar saja masih jauh dari yang diharapkan.

“Infrastruktur untuk disabilitas masih kurang, apalagi di daerah (Sumbar). Selain itu, cara pandang masyarakat maupun orang tua terhadap penyandang disabilitas juga harus diperbaiki, agar kami yang disabilitas punya kesempatan bermimpi dan meraihnya sama dengan yang memiliki fisik sempurna,” katanya.

Ia juga mendorong agar generasi millenial yang memiliki fisik sempurna untuk tidak bermalas-malasan dalam hal menuntut ilmu. Pergunakan kesempatan dan karunia yang diberikan Tuhan. Apalagi, akses untuk mendapatkan pengetahuan hari ini, tidak lagi tersekat waktu dan tempat. Akses literasi kian luas di belantara informasi digital.

“Tidak ada yang mustahil asal tidak berpangku tangan. Kobarkan semangat dan jangan membuang waktu. Perluas wawasan dengan belajar dan rajinlah membaca,” pesannya.

Rela Berhenti Kerja

Semangat Antoni Tsaputra meraih cita-cita dan melanjutkan pendidikan hingga meraig gelar doktor, tidak lahir begitu saja. Ada dorongan kuat dan doa orangtua yang selalu mengiringi langkah perjuangannya.

“Tidak satu pun orang tua di dunia ini menghendaki anaknya cacat. Tapi itu takdir dan keputusan Allah SWT yang tidak bisa ditawar,” kata ibunya, Tasmaniar.

Ia tidak pernah menyangka putra sulungnya akan mengalami keadaan seperti hari ini. Saat berumur satu tahun, Anton belum juga bisa berdiri dan ia pun membawa anaknya berobat ke dokter spesialis. Hatinya sedikit senang. Sebab kata dokter, faktor tersebut hanya karena masalah pertumbuhan Anton yang sedikit lambat.

Namun, setelah hampir dua tahun, Anton tak kunjung bisa berdiri, apalagi berjalan. Ia pun kembali memeriksakan keadaan anaknya, namun kali ini ke dokter spesialis tulang.

“Hasil pemeriksaan katanya, ada beberapa otot kakinya yang tidak memiliki kekuatan. Inilah penyebab Anton belum juga bisa berdiri. Mendengar itu, saya tentu merasa sangat cemas,” kenang perempuan 64 tahun itu dengan mata berkaca-kaca.

Waktu pun berlalu. Anton telah dibawa ke berbagai dokter spesialis, namun hasilnya tetap nol besar. Beragam obat tradisional pun telah diupayakan. Lagi-lagi hasilnya tidak bisa membuat Anton bisa berdiri. Di ujung kepasrahan, ia tetap membawa anaknya untuk menjalani terapi tulang dan akhirnya, itu pun tidak membuat anaknya bisa berdiri.

“Kami sadar, Anton tidak akan bisa berdiri. Di saat itulah kami mulai ikhlas menerima semuanya,” kata perempuan asal Lubuk Sikaping, Pasaman Timur itu.

Keadaan putra sulungnya itu pun merubah haluan hidup Tasmaniar yang sebetulnya tergolong wanita karir. Saat menikah dengan Effendi (ayah Anton), ia aktif sebaagai karyawan di Perusahaan Asuransi ternama di Indonesia. Sedangkan suaminya tercatat sebagai seorang ASN di Kementerian Keuangan yang bertugas di wilayah Sumbar. Mau tidak mau, ia harus melepaskan pekerjaannya. Sebab, tidak ada orang yang akan merawat Anton dalam kondisi seperti itu.

“Akhirnya, saya putuskan berhenti bekerja dan fokus merawat anak. Sebab, suami juga bekerja. Tentu saya yang harus mengalah,” katanya.

Tasmaniar mengatakan, perlu kesabaran dan keikhalasan luar biasa untuk merawat Anton. Sebab, anaknya harus ditemani selama 24 jam. Mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, anaknya itu wajib ditemani. “Semua saya jalani ikhlas dan bersyukur. Saya tau, bagaimana pun, anak adalah amanah yang harus dijaga,” katanya.

Jangan Pernah Bosan dan Membedakan Anak

Meski tidak bisa berdiri, lanjut Tasmaniar, daya tangkap Anton persis sama dengan balita seusianya. Tidak berbeda sama sekali dengan adiknya Andri Tsaputra. Melihat gelagat seperti itu, ia pun ingin kedua-dua anaknya menempuh pendidikan yang sama.

Apalagi, sebelum masuk Sekolah Dasar (SD), Anton selalu nyinyir ingin sekolah dan tidak dipisahkan tempat sekolahnya dengan Andri. “Jaraknya satu tahun. Nah, karena dia mau sekolah sama-sama dengan Andri, makanya terlambat satu tahun. Adiknya masuk umur 6, sedangkan dia umur 7 tahun,” papar istri Effendi (68) itu.

Tasmaniar selalu memberikan sugesti bahwa ilmu-lah satu-satunya jalan untuk meraih semua harapan dan semuanya bisa digapai dari bangku pendidikan. Setiap hari, tanpa mengeluh, ia merawat Anton. Mulai dari memandikan, memasangkan baju, makan hingga berjalan kaki mengantarkannya ke sekolah.

“Pertimbangan papa (ayah Anton) beli rumah di sini, itu juga (pendidikan). Semua sekolah dekat dan saya bisa mengantarnya jalan kaki,” katanya.

Satu hal paling penting adalah, Tasmaniar dan suaminya tidak pernah membeda-bedakan Anton dengan sang adik. Misalnya, saat adiknya Andri Tsaputra bermain bola di dalam rumah, Anton pun ikut bermain, meski dengan cara mengesot.

“Sama sekali tidak. Ini juga mungkin yang membuat kepercayaan diri Anton tidak pernah luntur,” katanya.

Bukti lain bahwa ia dan suami tidak membeda-bedakan adalah saat Anton dan Andri di sekolahkan di tempat yang sama. Keduanya sama-sama bersekolah di SD, SMP dan SMA yang sama. Ia berprinsip, pendidikan bukan hanya milik orang-orang yang memiliki fisik sempurna. Anak-anak disabilitas seperti Anton, juga berhak menerima dan menempuh pendidikan layak.

“Itu yang saya tekankan. Orang bisa, Anton juga harus bisa. Orang bisa berjalan, Anton ada mama, adik dan papa yang siap mengantar kemana pun mau bersekolah,” katanya.

Tasmaniar bahkan mengaku terkejut dengan prestasi yang ditorehkan anaknya. Bahkan, Anton selalu juara kelas, sedangkan adiknya hanya masuk 10 besar saat duduk di bangku SD. Prestasi Anton terus berlanjut dan mempertahankan juara kelas hingga tamat SMA. Hal itu juga yang membuatnya terus menyemangati Anton untuk sekolah.

Selain di sekolah formal, ia juga menyerahkan Anton untuk belajar mengaji. Dengan begitu, selepas belajar di SD, sorenya, Tasmaniar juga mengantarkan Anton mengaji. Hebatnya lagi, Anton pun kerap berhasil menjuarai berbagai perlombaan MTQ kala itu.

“Hari-hari saya full untuk dia. Sekolah, mengaji dan malamnya menemani dia membuat PR atau membaca atau bermain,” katanya.

Di sisi lain, dalam mendidik anak-anaknya, Tasmaniar tidak menerapkan disiplin keras atau diktator. Ia hanya menyinyiri buah hatinya setiap waktu dengan nada lembut tanpa membentak. Misalnya mengingatkan untuk membuat PR, belajar, mengaji dan salat lima waktu.

“Saya tidak pernah mendisiplinkan anak-anak untuk belajar. Saya hanya tidak pernah bosan menyuruh, mengingatkan untuk hal-hal yang memang sudah menjadi kewajibannya sebagai anak dan pelajar. Jadi, dengan nyinyir begitu, mereka pada akhirnya disiplin sendiri tanpa dipaksa,” katanya.

Hari ini, Tasmaniar dan Effendi telah memanen hasil perjuanganya membesarkan Anton dengan keterbatasan fisik berat. Anton telah meraih gelar yang diluar dugaan semua orang. Adiknya pun kini telah menjadi seorang Jaksa dan bertugas di Jakarta.

Menurutnya, semua yang digapai anak-anaknya hari ini, tidak terlepas dari doa dan semangat yang selalu ditanamkan dalam pikiran dan hati kedua buah hatinya.

Ia berharap, orang tua lain yang memiliki anak seperti Anton, hendaknya terus dirawat dengan kasih sayang. Berikan sugesti hidup dan semangat setiap hari. Selain itu, jangan pernah bandingkan dan bedakan anak-anak disabilitas dengan lingkungan sekeliling. Apakah itu saudaranya, kawannya dan sebagainya.

“Semangat dari orang tua-lah yang akan membuat anak kita percaya diri. Jangan abaikan itu. Syukuri amanah yang dititipkan Tuhan kepada kita. Sehingga kita ikhlas mengurus dan membesarkannya,” pesan Tasmaniar.

“Saya tidak pernah peduli ejeken orang. Kata mereka, anaknya disabilitas kok semangat juga menyuruhnya belajar. Biarin aja, yang penting anak saya bisa sama-sama berpendidikan dengan anak orang lain,” sambungnya.

Sementara itu, ayahnya Effendi, tidak banyak berkomentar. Sebab, ia memang fokus bekerja. Namun, setelah pensiun tahun 2008 silam, dia-lah yang mengantar Anton bepergian kemana saja. Baginya, apapun keperluan untuk pendidikan Anton selalu diberikan, bagaimana pun caranya.

“Saya support kemana pun dia mau belajar. Apa kebutuhannya saya penuhi,” singkat pensiunan ASN itu.

Salah satu cara Effendi mendukung pendidikan anaknya adalah dengan selalu memberikan semua keperluan anak. Seperti membelikan buku, majalah hingga komik berbahasa Inggris untuk Anton yang gemar membaca. Hal itu setiap hari dilakukannya. Sampai hari ini, masih tersimpan satu lemari komik berbahasa Inggris untuk Antoni.

“Setiap hari itu, saya beli buku. Apa saja. Itu hobinya Anton. Kalau adiknya hobi bola. Intinya, saya berusaha melengkapi semua hal yang dapat menunjangnya untuk belajar,” tuturnya.

Lelaki yang Menginpirasi

Desember 2011, Antoni mempersunting Yuki Melani, gadis asal Pontianak, Kalimantan Barat yang buyutnya masih berdarah Minangkabau. Keikhlasan Yuki meluluhkan hatinya hingga akhirnya diputuskan untuk menjadi teman hidup. Selama empat tahun di Australia, 224 jam Yuki menemani Anton. Bahkan, ia rela tidur di bawah meja belajar Anton yang sedang berjibaku menamatkan PhD-nya.

“Yuki adalah hal terbaik dalam hidupnya. Saya nyaman dengannya. Dia menerima saya apa adanya dan selalu menyemangati. Makanya saya putuskan menikahinya. Kami menikah di Jakarta, di rumah adik saya,” kata Antoni.

Perjumpaan Anton dan Yuki berawal dari komunikasi jarak jauh menggunakan yahoo mesenger. Dari percakapan awal, Anton telah menerangkan kondisinya fisiknya seperti apa kepada Yuki. Namun, ia tidak pernah menyebutkan dirinya sedang kuliah S2 di Australia.

“Setelah 4 bulan menjalin komunikasi, kami akhirnya bertemu. Saya sudah tau seperti apa kondisi abang (Anton),” kata Yuki dengan mata berkaca-kaca.

Setelah berkomunikasi langsung denga Antoni, Yuki mengaku terhipnotis dengan perjuangan dan semangat hidup yang dialaminya. “Beliau sangat menginspirasi banyak orang. Dia (Anton) punya semangat yang tidak pernah saya temukan dari laki-laki mana pun,” katanya menyanjung sang suami.

Yuki mengaku tidak kesulitan merawat Antoni. Sebab, saat berada di Pontianak dulu, dia juga sudah lama merawat neneknya yang tunanetra. “Saya lama mengurus nenek. Jadi tidak canggung menghadapi kondisi abang (Anton),” kata anak tunggal itu.

Memilih Anton dengan disabilitas berat untuk menjadi suami, bukan tidak mendapat pertentangan dari keluarga besarnya. Sikap kontra itu datang dari sepupu, dan kerabatnya di kampung. Namun, orang tua kandungnya tetap mendukung apa pun yang dipilih Yuki.

“Ngapain bela-belain ke Padang hanya untuk lelaki itu, begitu kira-kira katanya dulu. Saya jawab, saya mencari kasih sayang yang betul-betul tulus dari seorang laki-laki dan itu saya temukan dari abang (Anton). Saya berharap, ke depannya, abang kian sukses dan selalu menginspirasi banyak orang,” tutupnya. (RC)

Baca Juga

Berita Sawahlunto - berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Tambang Ombilin bakal dijadikan perjalanan wisata minat khusus.
Masuk Kurikulum Muatan Lokal, Modul P5 WTBOS Diuji Coba di SMAN 1 Sumbar
Kota Padang Bersatu untuk Pendidikan Maju
Kota Padang Bersatu untuk Pendidikan Maju
BSI Dukung Peningkatan Pendidikan di Sumatra Barat Lewat Beasiswa
BSI Dukung Peningkatan Pendidikan di Sumatra Barat Lewat Beasiswa
Pj Wako Padang Paparkan Pentingnya Pendidikan Berkelanjutan untuk Optimalkan Bonus Demografi
Pj Wako Padang Paparkan Pentingnya Pendidikan Berkelanjutan untuk Optimalkan Bonus Demografi
UNP Wujudkan Kampus Inklusif dan Ramah Difabel dalam PKKMB 2024
UNP Wujudkan Kampus Inklusif dan Ramah Difabel dalam PKKMB 2024
Asysyfa Maisarah, Anak Buruh Tani Asal Limapuluh Kota Merajut Mimpi di UGM
Asysyfa Maisarah, Anak Buruh Tani Asal Limapuluh Kota Merajut Mimpi di UGM