Langgam.id - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengumumkan, pemerintah akan memberi anugerah pahlawan nasional untuk empat tokoh bangsa, pada peringatan hari pahlawan, 10 November 2021 ini.
Empat tokoh tersebut, menurut Mahfud, adalah Tombolatutu dari Sulawesi Tengah, Sultan Aji Muhammad Idris dari Kalimantan Timur, Raden Ayra Wangsakara dari Banten dan Bapak Film Nasional Usmar Ismail.
Mahfud MD yang juga anggota Dewan Kehormatan Gelar mengatakan, anugerah tersebut akan diserahkan kepada keluarga para almarhum di Istana Bogor. "Kalau tidak berubah persis pada hari Pahlawan 10 November 2021," ujarnya, sebagaimana dikutip dari tempo.
Usmar Ismail lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat pada 20 Maret 1921, atau sekitar seabad yang lalu. Ia adalah tokoh ketiga kelahiran Bukittinggi yang diangkat sebagai pahlawan nasional setelah Bung Hatta dan Prof. Hazairin. Untuk kelahiran Sumatra Barat (Sumbar), Usmar Ismail adalah tokoh ke-16 yang jadi pahlawan nasional.
Baca Juga: Hari Ini pada 1921, Bapak Film Nasional Usmar Ismail Lahir di Bukittinggi
Sebelumnya, 15 tokoh kelahiran Sumbar lainnya yang telah jadi pahlawan nasional adalah Bung Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, H. Agus Salim, Abdul Muis, Tuanku Imam Bonjol, Muhammad Yamin, Rasuna Said, Ilyas Ya'kub, Hazairin, Bagindo Aziz Chan, Adnan Kapau Gani, Mohammad Natsir, Buya Hamka, dan Ruhana Kuddus.
Baca Juga: 15 Pahlawan Nasional dari Sumatra Barat
Film sebenarnya hanya salah satu kiprah Usmar Ismail. Ia adalah tokoh yang hampir lengkap. Usmar juga adalah seorang sastrawan, tokoh teater, wartawan, pejuang kemerdekaan berpangkat mayor dan pernah juga duduk di lembaga legislatif.
Wartawan Senior Indonesia Rosihan Anwar dalam "Sejarah Kecil 'Petite Histoire' Indonesia, Volume 2" (2009) menulis, Usmar Ismail punya kemampuan menulis aneka ragam secara mengagumkan. Usmar merupakan anak bungsu dari enam putra dan putri Ismail Datuk Manggung dan Fatimah zahra. Kakak tertuanya adalah Dr. Abu Hanifah yang juga seorang sastrawan. Bakat menulis Usmar dan Abu Hanifah turun dari ayahanda mereka.
Lahir di Bukittinggi, Usmar masuk sekolah rendah dan kemudian HIS di Batusangkar. Ia kemudian melanjutkan ke MULO di Padang. Di MULO ini Rosihan mulai bersahabat dengan Usmar. Keduanya, sama-sama melanjutkan sekolah ke Algemeen Midelbare School (AMS) di Yogyakarta. Saat belajar di sekolah ini, Usmar menyutradarai teater pertama kali.
Ia kemudian banyak menghasilkan karya besama Teater Maya. Pemainnya, selain Rosihan, juga HB Jassin yang kelak terkenal dengan julukan 'Paus Satra Indonesia'. Usmar juga di Pusat Kebudayaan yang didirikan Jepang pada 1943 di Jakarta. Usmar juga menulis sajak. Sajak-sajak Usmar Ismail dikumpulkan dalam "Puntung Berasap" dan naskah sandiwaranya dalam "Sedih dan Gembira".
Saat revolusi antara 1945-1949, Usmar lebih banyak beraktivitas di Yogyakarta. Saat itu, ia melebarkan sayap dengan menjadi jurnalis dan mendirikan media. Ia memimpin Harian Patriot dan Majalah Arena. Aktivitas ini pula yang mengantarkan Usman sempat jadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1946-1947.
Mardanas Safwan dalam "H. Usmar Ismail: Hasil Karya dan Pengabdiannya" (1983) menulis, pada saat itu Kolonel Zulkifli Lubis merekrutnya masuk intelijen TNI. Usmar kemudian diberi pangkat Mayor, dan berada langsung di bawah Zulkifli. Aktivitas ini yang kemudian membuat ia ditangkap polisi NICA-Belanda yang menjebloskannya ke Penjara Cipinang.
Film pertama yang disutradainya "Darah dan Doa", diproduksi pada 1950, merupakan film nasional pertama. Hari pengambilan gambar pertama film ini pada 30 Maret 1950 dijadikan para insan film sebagai Hari Film Nasional. Usmar kelak kemudian diangkat jadi Bapak Perfilman Nasional.
Bukan karena yang pertama saja. Tapi, juga karena dedikasi Usmar pada film. Ia memproduksi 33 film selama karirnya, mengkader banyak aktor, aktris, penulis skenario dan sutradara.
Beberapa karya Usmar mendapat penghargaan. Salah satunya, film Pedjoang (1960) meraih penghargaan Festival Film International Moscow tahun 1961.
Selama berkarya tersebut, Usmar dinilai membawa pembaruan pada film Indonesia. Antara lain, membuat dialog film lebih wajar dan mengeluarkannya dari gaya sandiwara panggung.
Usmar juga meletakkan dasar filosofi yang kuat bagi karakter perfilman nasional. Baginya, film tidak harus selalu bersifat komersil, tetapi merupakan hasil karya seni yang bebas dan harus bisa mencerminkan kepribadian nasional.
Bersama Djamaludin Malik dan Asrul Sani, Usmar mendirikan Lesbumi, lembaga seniman budayawan yang berafiliasi dengan Partai NU. Karena aktivitas di Lesbumi pula, Usmar sempat menjadi anggota DPR mewakili NU pada 1966-1969.
Ia wafat di Jakarta pada 2 Januari 1971. Seumur hidupnya yang tak sampai 50 tahun, Usmar Ismail telah mencatatkan kiprah besar untuk bangsanya. (*/SS)