Langgam.id - “Aku dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 12 Agustus 1902. Bukittinggi adalah kota kecil yang terletak di tengah-tengah daratan tinggi Agam. Letaknya indah di ujung kaki Gunung Marapi dan Singgalang,” tulis Bung Hatta dalam buku “Mohammad Hatta Memoir” (1979).
Hari kelahiran Bung Hatta, satu dari dua proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, wakil presiden pertama dan pejuang kemerdekaan Republik itu, tepat terjadi 117 tahun yang lalu dari hari ini, Senin (12/8/2019).
Mohammad Hatta semula diberi nama Mohammad Athar. Namanya kemudian diganti menjadi Mohammad Hatta. Ayahnya Muhammad Djamil meninggal dunia saat Bung Hatta berumur delapan bulan, sehingga si Bung tak mengenal ayahandanya. Hatta kemudian dekat dengan Syekh Arsyad, kakak ayahnya. Bapak dari sang ayah, Syekh Abdul Rahman, seorang ulama besar dari Batuhampar, Limapuluh Kota. Ibunda Bung Hatta bernama Siti Saleha berasal dari keluarga pedagang di Bukittinggi.
Baca Juga: Syekh Abdurrahman: Kakek Bung Hatta, Ulama Besar dari Batuhampar
Di masa penjajahan Belanda, tulis Bung Hatta, Bukittinggi dinamai Fort de Kock. “Inilah nama resminya. Tetapi rakyat Agam selalu menyebutnya Bukittinggi. Nama Fort de Kock, mengingatkan kita ke masa Perang Padri di Sumatra Barat, yang berlangsung kira-kira tahun 1823-1842.”
Pada tahun 1825, sebut si Bung, tentara Belanda menyerbu Bukittinggi untuk memerangi kaum Padri. Pada tempat yang strategis di atas bukit, dibuatnya sebuah benteng yang berbentuk bintang. Benteng itu diberi nama "Sterreschans", yang berarti 'bintang pelindung'.
“Daerah Bukittinggi yang langsung dikuasainya di sekitar itu, disebut Fort de Kock. Diambil dari nama Jenderal De Kock yang menjadi panglima seluruh angkatan perang kolonial Belanda di waktu itu.”
Di masa kanak-kanak, tulis Bung Hatta, penduduk Bukittinggi hanya kira-kira 2.500 orang. “Di antaranya, lebih kurang 300 orang Bangsa Belanda. Jumlah orang Tionghoa dan kaum peranakan ada kira-kira 600-650 orang,” tulisnya.
Di Bukittinggi ada sebuah pasar, menurut Bung Hatta, yang sudah ada sejak sebelum Belanda datang. Pada masa silam, pasar itu tempat pertemuan rakyat sekitar Bukittinggi yang berkembang lambat laun menjadi pasar. Tiap Rabu dan Sabtu, pada hari pasar yang disebut hari pekan, tak kurang 40 ribu orang memadati pasar tersebut.
Karena ada pasar, sekolah, terletak di sentral dan jadi salah satu pusat pemerintahan daerah Hindia Belanda, membuat Bukittinggi tak pernah sepi. “Rumah keluarga kami tempat aku dilahirkan terletak di Aur Tajungkang, di pinggir kota pada jalan raya yang menuju Payakumbuh,” tulis Bung Hatta.
Rumah kelahiran yang disebutkan Bung Hatta tersebut, kini dijadikan sebagai museum rumah kelahiran tokoh besar itu. “Rumah kami bertingkat dua, terbuat dari papan dan atap seng. Dari situ kami dapat menikmati pemandangan yang indah atas dua sejoli, Marapi dan Singgalang,” sebut Hatta.
Di seberang rumah kelahiran tersebut, kata Bung Hatta, terbentang sawah yang luas. “Di tengah-tengah kumpulan sawah itu, kira-kira lebih sedikit dari setengah kilometer jaraknya dari rumah kami, terletak kampong ‘Tengah Sawah’.
Dalam kampung itu, lanjut Bung Hatta, terdapat rumah dan surau ulama besar Syekh Muhammad Djamil Djambek. “Beliaulah yang membimbing langkahku yang pertama ke jalan pengetahuan Islam. Mengaji Qur’an sampai tamat dipimpin oleh murid-muridnya yang sudah khatam Qur’an beberapa kali dan diangkat beliau jadi “Guru Tua”. Sesudah itu untuk menanam pengertian tentang agama Islam, beliau sendiri yang mengajarkannya.”
Pada tahun 1908 saat berusia sekitar enam tahun, tulis Bung Hatta, terjadi Perang Kamang. Kamang berjarak belasan kilometer dari Bukittinggi. “Yang menjadi sebab pemberontakan itu ialah peraturan yang diadakan oleh Pemerintah Hindia Belanda yag mewajibkan rakyat Minangkabau membayar pajak langsung.”
Penerapan pajak tersebut, menurut Bung Hatta, merupakan pelanggaran terhadap perjanjian Plakat Panjang yang menjanjikan tidak akan menerapkan pajak. “Orang Belanda yang diterima dulu sebagai kawan, sebagai bersikap sebagai penjajah dan penindas,” tulis Bung Hatta menggambarkan pendapat masyarakat kala itu.
Perang tersebut, menurut Bung Hatta, memakan sekitar 100 korban jiwa masyarakat. Di pihak tentara kolonial ada selusin yang tewas dan lebih kurang 20 orang luka-luka. Dampak lainnya, selama beberapa minggu, siapapun yang akan masuk dan keluar Kota Bukittinggi digeledah dan ditodong dengan senjata.
“Waktu kutanyakan pada pamanku, apa sebab ada penjagaan serdadu dekat rumah dan sebab orang-orang yang lewat diperlakukan seperti itu, ia ceritakanlah peristiwa pajak, plakat panjang dan Perang Kamang itu. Tidak banyak yang bisa kutangkap dari apa yang diceritakannya itu. Yang teringat bagiku hanya katanya, ‘Belanda tidak dapat dipercaya, ia melanggar janji’. Dalam jiwaku tertanam perasaan, ‘Belanda jahat’. Inilah kesan yang ditimbulkan oleh peristiwa jembatan itu,” tulis si Bung.
Apa lagi, kemudian, Bung Hatta tahu sahabat kakeknya yang bernama Rais ditangkap tanpa yang alasan yang kuat karena dituduh terlibat Perang Kamang. Alasan yang menurut Bung Hatta tidak masuk akal, karena Rais berada di Payakumbuh dan tak berhubungan dengan orang Kamang.
Pada tahap berikutnya, Bung Hatta memahami bahwa itu adalah bagian dari kesewenang-wenangan pemerintah penjajahan ketika itu. “Waktu kereta api yang membawanya lewat di muka rumah kami di seberang jalan raya, … dari jendela kereta api ia member salam dengan melambai-lambaikan tangan. Lambaian tangan itu kami balas dengan hati yang pilu, karena tangannya kelihatan dibelenggu.”
Pengalaman di masa kecil itu sangat berbekas kepada Bung Hatta dan kemudian menentukan sikapnya dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Selain mengaji di surau dan belajar dari pengalaman kehidupan , Bung Hatta bersekolah resmi di HBS di Bukittinggi dan menamatkannya di Padang tahun 1916. Ia kemudian menyambung ke MULO. Sebelum kemudian pindah ke Batavia untuk masuk sekolah ekonomi Prins Hendrik School (PHS). Dari sini ia kemudian melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi EKonomi Handels Hogeschool di Negeri Belanda. (HM)