Langgam.id - Perang Kamang adalah perlawanan masyarakat Sumatra Barat (Sumbar) terhadap Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1908 yang berpusat di daerah Kamang, Kabupaten Agam.
Dikatakan Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kamang Magek, Abdi Murtani Dt. Maruhun Basa, tanah emas adalah istilah kaum kolonial dan imperialis terhadap tanah jajahan yang dikuras kekayaannya. Hal tersebut dilakukan dengan cara tidak jujur, kejam, dan tidak berprikemanusiaan.
Ia menceritakan, setelah berhasil menguasai Sumbar tahun 1837, Gubernur Michael melaksanakan sistem tanam paksa kopi, agar pedagang kopi bisa dikuasainya. Namun pada tanggal 1 Maret 1908, Belanda mengganti sistem tanam paksa dengan belasting (pajak).
Sejak saat itu, masyarakat Minangkabau khususnya di daerah Kamang, menentang pembayaran pajak tersebut. Sehingga masyarakat secara diam-diam melengkapi diri dengan senjata tajam dan keterampilan bela diri.
“Senjata yang dikumpulkan seperti, ruduh, kalewang, pedang, pisau, tombak, dan lain sebagainya,” jelasnya, seperti dilansir dari AMCNews.
Kemudian pada tanggal 2 Juni 1908, diadakanlah rapat di Masjid Taluak. Pertemudan tersebut dihadiri utusan Agam Tuo, Lubuk Basung, Manggopoh, Padang Panjang, Batu Sangkar yang kemudian membulatkan tekad untuk menentang Belanda.
Pada kesempatan itu juga, terbentuk beberapa kelompok yang dipimpin oleh Abdul Manan, M. Saleh Dt. Rajo Pangulu, M Yusuf Dt. Parpatiah Nan Sabatang, dan Jabang.
Baca juga: Pesan Gubernur Sumbar dalam Peringatan 113 Tahun Perang Kamang
Tugasnya untuk menghidupkan dan menggerakkan semangat juang serta mempersiapkan senjata untuk pasukannya masing-masing.
Pada tanggal 14 Juni 1908, ketika pasukan Belanda bergerak ke Kamang, melalui tiga rute, yaitu Gadut, Tanjung Alam dan Biaro, dan berkumpul di Kampung Tangah, Kamang Mudiak.
Disepanjang perjalanan itu, terjadi perlawanan dari rakyat yang begitu hebat, dimana pasukan Belanda yang datang dari Tanjung Alam, dihadang oleh pasukan yang dipimpin oleh M Yusuf, Dt Parpatiah Nan Sabatang.
Sedangkan pasukan Belanda yang datang dari Gadut, dihadang oleh pasukan Jabang. Sampai di Kampung Tangah, pasukan Belanda langsung mengepung rumah Abdul Manan.
Namun, dari arah timur pasukan yang dipimpin oleh M. Saleh Dt. Rajo Pangulu menyerang Belanda. Sedangkan dari arah barat penyerangan dipimpin oleh Abdul Manan.
“Dalam pertempuran ini, Abdul Manan, dan M Saleh, Dt. Rajo Pangulu, beserta istri beliau Siti Asyiah gugur," terangnya.
Ia menjelaskan, perlawanan rakyat di Kamang pada tahun 1908, bukanlah peristiwa yang terjadi dengan tiba-tiba. Namun sebagai bentuk ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan Belanda.(*/Ela)