Langgam.id—Jumlah penduduk miskin di Sumatra Barat masih cukup tinggi mencapai 348.220 orang per Maret tahun ini atau sekitar 6,42 persen dari total jumlah penduduk setempat.
Meski masih tinggi, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sumbar Sukardi mengatakan terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 5.001 orang per Maret 2019, dari periode sensus sebelumnya September 2018 sebesar 353.221 orang.
“Ada penurunan sebanyak 5.001 orang, atau 6,42 persen penduduk Sumbar masuk kategori miskin,” katanya, Senin (16/7/2019).
Menurutnya, angka itu masih di bawah rerata angka nasional yang jumlah penduduk miskin mencapai 9,41 persen dari total populasi.
Bahkan, untuk wilayah Sumatra, Sumbar termasuk rendah dan hanya kalah dari Provinsi Bangka Belitung dengan penduduk miskin 4,62 persen, dan Provinsi Kepulauan Riau dengan penduduk miskin 5,90 persen.
Dia menuturkan ada penurunan jumlah penduduk miskin Sumbar setiap tahunnya. Mulai 2017 misalnya, per Maret mencapai 6,87 persen turun menjadi 6,75 persen per September.
Begitu juga di tahun berikutnya, per Maret 2018 turun menjadi 6,65 persen dan turun lagi menjadi 6,55 persen per September 2018.
Sukardi mengungkapkan dari 348.220 jiwa penduduk miskin Sumbar itu tersebar sebanyak 226.000 di wilayah perdesaan dan sebanyak 122.000 orang tinggal daerah perkotaan.
Adapun, penyebab kemiskinan di Sumbar masih didominasi pengeluaran untuk makanan sebesar 75,91 persen dan pengeluaran bukan makanan sebesar 24,09 persen.
Sementara itu, angka garis rumah tangga miskin di Sumbar naik sebesar 16,46 persen dari Rp2.491.297 pada September tahun lalu menjadi Rp2.901.036 pada Maret tahun ini.
Dengan mengacu angka tersebut, maka garis rumah tangga miskin di Sumbar masih berada di atas upah minimum provinsi (UMR) yang hanya sebesar Rp2.289.228.
Artinya, jika dalam satu keluarga hanya ada satu orang yang bekerja dengan upah UMR, maka keluarga tersebut masuk kategori miskin karena tidak mampu melewati batas garis kemiskinan rumah tangga sebesar Rp2.901.036.
Sukardi menjelaskan dalam mengukur garis kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Atau memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan ekonomi dalam bentuk pemenuhan kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan, yang diukur dari sisi pengeluaran.
Dengan pendekatan itu, persentase penduduk miskin dihitung terhadap total jumlah penduduk di satu daerah yang menjadi objek penghitungan.
Metode yang dipakai untuk menghitung garis kemiskinan adalah dengan dua komponen yaitu garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non makanan.
Garis kemiskinan makanan yaitu nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita per hari.
Sedangkan garis kemiskinan bukan makanan adalah nilai minimum pengeluaran untuk kebutuhan perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan pokok lainnya.