Langgam.id - Syekh Ismail Al Khalidi Al Minangkabawi merupakan salah seorang ulama besar Minangkabau pada abad ke-18 dan 19. Ia lahir sekitar satu abad setelah Syekh Burhanuddin Ulakan. Bila Syekh Burhanuddin membawa tarekat Syatariyah, Syekh Ismail mengembangkan tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau.
Darmawijaya dalam "Nikmatnya Tasawuf: Mengupas Kisah Sukses Ulama Tasawuf dalam Islamisasi Nusantara" (2008) menyebutkan, Syekh Ismail hidup antara tahun 1713-1848 Masehi.
Sementara, M. Solihin dalam "Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara" (2005) menulis, beliau hidup antara tahun 1125-1260 Hijriah atau pada 1713-1844 Masehi. Ia disebutkan lahir di Nagari Simabur, Batusangkar, yang saat ini masuk wilayah Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar.
Darmawijaya menulis, Syaikh Ismail adalah ulama pertama yang menyebarkan tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau. "Beliau adalah seorang ahli fikih, ahli tasawuf dan ahli ilmu kalam (teologi)," tulisnya.
Di waktu kecil, Syekh Ismail belajar membaca Alquran di surau dibimbing guru dan orang tuanya. Menurutnya, Syekh Ismail belajar membaca kitab Arab Melayu dan kitab berbahasa Arab. "Pelajarannya meliputi ilmu fikih, tasawuf, ilmu kalam, tafsir, hadis dan ilmu bahasa."
Syekh Ismail kemudian melanjutkan pendidikan ke tanah suci Mekkah dan Madinah. Ia menetap di tanah suci selama hampir 35 tahun. Guru-gurunya antara lain Syekh Ataillah bin Ahmad al-Azhari (ahli fiqih Mazhab Syafii), Syekh Abdullah al - Syarqawi (mantan syekh al-Azhar dan ahli fiqih Mazhab Syafii), Syekh Abdullah Affandi (tokoh tarekat Naqsyabandiyah), Syekh Khalid al-Usmani al-Kurdi dan Syekh Muhammad bin Ali al-Syanwani, seorang ahli ilmu kalam.
Menurut Dosen IAIN Bukittinggi Apria Putra Tuanku Muda Khalis, beliau juga merupakan murid ulama terkenal Maulana Syekh Khalid Naqsyabandi dzil Janahain, tokoh besar Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Jabal Abi Qubaisy. "Memperoleh ijazah Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah dari pengganti Maulana Khalid, yaitu Sayyid Abdullah Afandi," tulisnya, di situs tarbiyahislamiyah.id.
Ahmad Syafii Mufid dalam Buku "Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa" (2006) menulis, Syekh Ismail adalah pelopor Tarekat Khalidiyah Naqsabandiyah di Minangkabau khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Menurutnya, tarekat ini mengubah metode dalam tasawuf. "Perubahan ajaran Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah adalah tentang kesaksian tunggal (Wahdatus Syuhud) dan menentang ajaran Wahdatul Wujud yang bersumber pada ajaran Al Hallaj dan Ibnu Arabi," tulisnya.
Menurut Syafii Mufid, ajaran tasawuf yang berkembang pada awal penyiaran Islam sampai dengan abad ke-18 adalah tasawuf yang bercorak filosofis dan menekankan pada ajaran wahdatul wujud sebagai puncak tasawuf.
Ia menulis, corak tasawuf seperti itu tidak saja pada tarekat Syatariyah yang dikembangkan Abdur Rauf Singkel (guru Syekh Burhanuddin Ulakan), tetapi juga pada tarekat lainnya. Seperti, Qadiriyah (oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani), Khalwatiyah dan Naqsabadiyah (oleh Syekh Yusuf Makassar), Samaniyah (oleh Abdul Samad Al Falimbani dan Muhammad Nafis Al Banjari).
"Pemurnian ajaran tasawuf dengan cara menghilangkan pandangan wahdatul wujud dan menekankan pentingnya syariat baru terjadi pada abad ke-19 melalui tokoh-tokoh sufi yang juga berasal dari Indonesia sendiri setelah mereka kembali dari mencari ilmu di pusat Islam yakni Saudi Arabia," tulisnya.
Syafii Mufid menulis, tiga ulama tarekat terpenting dalam permurnian ajaran tasawuf pada abad ke-19 di Indonesia. Para ulama itu adalah Syekh Ismail Al Khalidi Al Minangkabawi, Syekh Muhammad Saleh Az Zawawi dan Syekh Ahmad Khatib As Sambasi.
Tarekat yang dikembangkan oleh ketiga ulama sufi itu adalah Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah, Tarekat Naqsabandiyah Muzhariyah dan Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah.
"Ketiga aliran tarekat inilah yang dewasa ini memiliki penganut paling besar dibanding dengan Tarekat Rifaiyah, Samaniyah, Syatariyah, Tijaniyah, Alwiyah, Saziliyah dan lain-lain," tulisnya.
Menurut Apria, Syekh Ismail merupakan satu di antara ulama di Minangkabau yang produktif menulis risalah untuk memenuhi permintaan masyarakat di Dunia Melayu. "Beliau ialah salah satu tokoh utama yang meletakkan dasar-dasar terjemahan Arab Melayu, dengan dhawabit terjemah surau, di Minangkabau," tulisnya.
Tuanku Muda Khalis menulis, Syekh Ismail juga mempunyai pengetahuan mendalam menulis dalam Bahasa Arab. Sejumlah karya Syekh Ismail yang pernah tercatat, yaitu:
1) Syarah al-Muqaddimah al-Kubra
2) Mawahib Rabbil Falaq Syarah Qasidah Bintil Milaq
3) Al-Manhal al-Adzib
4) Kifayatul Ghulam
5) Risalah Muqaranah Niat
6) Tarjamah al-Rahmatul Habithah (tarjamah Arab Melayu)
7) Tarjamah Qasidah Syekh Abu Bakar al-Bashri (tarjamah Arab Melayu)
8) Nazham Tawassul li-Ahlit Thariqah al-Naqsyabandiyah al-Khalidiyah
"Beliau ialah sosok yang alim dalam fiqih dan thariqat, dan diakui, di antaranya oleh Syekh Ahmad Khatib Minangkabau sendiri," tulisnya.
Syekh Ismail, menurutnya, menjadi simpul utama sanad keilmuan ulama di Minangkabau pada abad ke-19. "Murid-muridnya menjadi ulama-ulama besar di berbagai daerah," tulisnya.
Murid-murid Syekh Ismail yang kemudian yang menjadi ulama besar di Minangkabau, antara lain, Maulana Syekh Abdurrahman Batuhampar (kakek Bung Hatta), Syekh Muhammad Shaleh Silungkang, Syekh Mushtafa al-Khalidi Sungai Pagu, Syekh Muhammad Yatim Padang, Syekh Abdul Halim Labuah Simabur dan Syekh Muhammad Thahir Barulak.
Menurut Apria, setelah menetap di Mekkah Syekh Ismail tidak pulang ke Minangkabau. "Penghubung dirinya dengan tanah kelahirannya ialah murid-muridnya yang cukup banyak dan menjadi soko guru ulama setelahnya. Syekh Isma’il wafat, dan dimakamkan di Ma’la, Mekah," tulisnya. (HM)