Langgam.id - Catatan sejarah merekam sejumlah peristiwa masa lalu yang terjadi pada 1 Januari di Sumatra Barat (Sumbar). Setidaknya, ada enam peristiwa pada tahun yang berbeda, sebagaimana dirangkum Langgam.id dari berbagai referensi. Kejadian-kejadian tersebut, terjadi pada 1824, 1923, 1927, 1936, 1949 dan 1950:
1 Januari 1824
Letkol Raaff Gantikan Du Puy Jadi Residen Padang
.
Padang - Letnan Kolonel Antonie Theodore Raaff menggantikan James du Puy sebagai residen Padang mulai tahun baru 1824. Muhamad Radjab dalam "Perang Paderi di Sumatera Barat, 1803-1838" (1964) menulis, jabatan residen ia rangkap dengan jabatan komandan militer.
.
Baca Juga: Dikirim ke Padang, Letkol Raaff Menyerang Padri dan Dirikan Benteng Van Der Capellen.
.
Sebelumnya, pada 4 Maret 1822, serdadu di bawah pimpinan Raaff berhasil menduduki Pagaruyung dan sejumlah daerah di Tanah Datar. Raaff hanya beberapa bulan menjadi residen. Pada 17 April 1824 ia meninggal dunia setelah mengalami sakit selama 12 hari.
.
Baca Juga: Ketika Komandan Militer Hindia Belanda Meninggal Mendadak di Padang
1 Januari 1923
Pewarta Islam Terbit di Bukittinggi
Pada awal abad ke-20, muncul kegairahan menerbitkan berbagai majalah hingga koran di Indonesia, termasuk Sumatra Barat. Di Ranah Minang, Sastri Sunarti dalam Jurnal Al-Turāṡ Vol. XXI, No. 2, Juli 2015 menyebut, pelopor media berbasis Islam pada masa itu, dimotori oleh kelompok intelektual Muslim yang dikenal dengan sebutan kelompok "Kaum Muda".
Antara 1859 sampai dengan 1940, Sunarti mencatat ada 167 terbitan di seluruh Ranah Minang. "Lebih dari separuhnya terbit di kota Padang. Sisanya terbit di kota-kota lain seperti, Kayu Tanam, Pariaman, Padang Panjang, Fort de Kock (sekarang Bukittinggi), Payakumbuh, Fort van der Capellen (sekarang Batusangkar) dan Sawahlunto."
Beberapa di antaranya, adalah Al-Moenir, Al Itqan, Al-I’lam, Al Achbar, Al-Bajan, Al Insaaf, Al-Choetbah, Al-Mizan, Al-Djauharah, Al-Asjraq, Iqbahoel Haq, Al-Moenawwarah, Annoer Boeat Amal, Islam Djumaah Ahmadijah Qadian, Muslim India, Moeniroel Mannar, Noeroel Jaqin, Pewarta Islam, Penerangan Islam, dan Soera Moeslimin.
Pada awalnya, media-media tersebut terbit dalam tulisan Arab Melayu. Menurut Masoed Abidin, dalam "Ensiklopedi Minangkabau" (2005), pada tanggal 1 Januari 1923 diterbitkan pula "Pewarta Islam". Ia menulis, inilah majalah pertama berhuruf latin di Minangkabau.
Sastri Sunarti dalam Buku "Kajian Lintas Media" (2005) mencatat, majalah ini diterbitkan di Soengai Boeloeh, Fort de Kock (Bukittinggi) pada 1923. Redaksinya, Djamain El Moeradi dan HA Latif Sjakoer. Ia juga mencatat, majalah ini hanya terbit selama dua tahuh, hingga 1925.
1 Januari 1927
PKI Memberontak pada Hindia Belanda
Silungkang - Pada akhir November 1926, terjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap Pemerintah Hindia Belanda di Banten dan Batavia. Audrey Kahin, dalam Buku "Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998" (2005) menyebut, dua pemberontakan itu berhasil ditumpas Belanda.
Namun, salah seorang pemimpin PKI di Sumatra Barat kembali dari Jawa menyebut revolusi tersebut harus dilaksanakan di Sumbar pada 1 Januari 1927. Dalam rencana, pemberontakan akan dipusatkan di Sawahlunto dengan meledakkan kantor polisi dan ruang dansa tempat pejabat Belanda merayakan tahun baru.
Ternyata, rencana ini bocor pada Pemerintah Hindia Belanda. Massa yang bergerak menuju Sawahlunto pada 1 Januari 1927, tulis Audrey, dicegat di tengah jalan. Sebagian tertangkap, sebagian meninggal ditembaki. Mayat bergelimpangan.
Pada 3 Januari, di Silungkang, saat tentara Belanda mundur, pasukan pemberontak memmbunuh mandor Belanda dan sejumlah pegawai, lebih kurang 24 orang. Belanda membalas. Di sini, sekitar 100 orang pasukan pemberontak dibunuh Belanda.
Menurut Audrey, sampai pertengahan 1927, sebanyak 3 ribu orang ditahan Belanda. Tiga pimpinan pemberontak dihukum mati, yakni Kaharuddin Manggulung, M. Jusuf Sampono Kayo dan Ibrahim Melawas. Yang lain dipenjara di Sawahlunto, Glodok, Cipinang, Ambarawa dan ada yang dibuang ke Digoel.
1 Januari 1936
Reorganisasi Pemerintahan Hindia Belanda di Sumbar
Padang - Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan reorganisasi pemerintahan terakhir di Keresidenan Sumatra Barat (Residentie Sumatra's Westkust).
"Mulai 1 Januari 1936, afdeling Padang sendiri dihapus, dijadikan onderafdeeling saja. Daerahnya pun dibagi. Sebagian ke dalam afdeeling Zuid Benedenlanden (Pesisir Selatan) yang baru saja dibentuk. Sebagian lagi pada afdeeling Tanahdatar yang memang sudah ada," tulis Rusli Amran dalam Buku "Padang Riwayatmu Dulu" (1988).
Reorganisasi tersebut, menurut Gusti Asnan dalam Buku "Pemerintahan Sumatera Barat dari VOC Hingga Reformasi" (2006) adalah yang terakhir dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
"Setelah itu, karena perkembangan politik yang mulai hangat terutama setelah Eropa mulai bersiap-siap untuk Perang Dunia ke-2, maka pemerintah daerah atau pemerintah pusat (Hindia Belanda) hampir tidak pernah memikirkan untuk melakukan reorganisasi pemerintahan daerah," tulisnya.
Sebelum itu, sejak 1825 Pemerintah Hindia Belanda setidaknya melakukan 11 kali perombakan organisasi pemerintahan daerah di Sumatra Barat.
Reorganisasi yang mulai diterapkan 1 Januari 1936, merupakan Besluit Gubernur Jenderal tanggal 10 September 1935 No.26. Aturan ini termuat dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1935 Nomor 450.
Hasi reorganisasi itu, sebagai berikut:
1. Afdeeling Zuid Benedenlanden (ibu kota Padang), di bawah pimpinan seorang asisten residen, terdiri dari 4 Onderafdelingen:
a. Padang
b. Kerinci-Indrapura
c. Painan
d. Mentawai Eilanden
2. Afdeeling Tanah Datar, berkedudukan di Padang Panjang, terdiri dari 3 Onderafdelingen:
a. Batipuh dan x Koto
b. Fort Van der Capellen (Batusangkar)
c. Pariaman
3. Afdeeling Agam, berkedudukan di Fort de Kock (Bukittinggi), terdiri dari 4 Onderafdelingen:
a. Oud-Agam
b. Maninjau
c. Lubuk Sikaping
d. Ophir
4. Afdeeling Limapuluh Kota, berkedudukan di Payakumbuh, terdiri dari 3 Onderafdelingen:
a. Payakumbuh
b. Suliki
c. Bangkinang
5. Afdeeling Solok, berkedudukan di Sawahlunto, terdiri dari 5 Onderafdelingen:
a. Sawahlunto
b. Solok
c. Alahan Panjang
d. Muara Labuh
e. Sijunjung
1 Januari 1949
Rombongan PDRI Sampai di Sungai Dareh
Rombongan Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang sudah meninggalkan Bukittinggi pada 21 Desember 1948, sampai di Sungai Dareh pada 1 Januari 1949.
Setelah memutuskan pendirian PDRI pada 19 Desember di Bukittinggi, saat kota itu diserang pesawat Belanda, PDRI menyusun dan mengumumkan kabinet di Halaban, Limapuluh Kota pada 22 Desember 1948.
Usai itu, rombongan ini menghindari kejaran Belanda dengan bergerilya ke Bangkinang, terus menuju ke arah selatan, hingga kemudian kembali ke wilayah Sumatra Barat yang kini berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Dharmasraya.
"Kebetulan saat memasuki Sungai Dareh bertepatan dengan tahun baru 1949, maka stasiun radio PDRI sempat pula mengudara sambil mengirimkan ucapan 'Selamat Tahun Baru' kepada seluruh Stasiun Radio AURI di Jawa dan Sumatra. Mereka pun sempat pula merayakan tahun baru seadanya," tulis Mestika Zed dalam Buku Somewhere in The Junge, PDRI, Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan" (1997).
Menurutnya, pada 3 Januari atau malam terakhir kabinet PDRI menggelar rapat di Sungai Dareh. Rapat tersebut menimbang tempat yang akan dituju dengan mempertimbangkan keamanan. "Akhirnya diputuskanlah untuk melanjutkan perjalanan ke Bidar Alam via Abai Sangir," tulis Mestika.
M. Thaib Angku Mudo (101), warga Sungai Dareh kelahiran 1918 dalam wawancara dengan sejumlah jurnalis pada 7 Oktober 2019 mengatakan, selama di Dharmasraya Sjafruddin tinggal di Pesanggarahan dekat Pelayangan Ketiga di Pinggir Batang Hari.
Pada salah satu sore saat di sana, Sjafruddin sempat bertemu masyarakat dan berpidato. M. Thaib hadir saat itu. Ia datang bersama para pemuda Dharmasraya. Saat itu, ia merupakan pimpinan Barisan Fiisabilillah, salah satu laskar yang ikut berjuang bersama rakyat dan TNI.
Saat berpidato di pinggir Batang Hari, Sjafruddin menyampaikan, Pemerintahan PDRI bergerilya untuk melanjutkan perjuangan. Tak sama dengan hewan buruan yang sedang diburu.
"Kita bukan kijang yang diburu orang, bukan pula musang yang dicari orang," kata Sjafruddin, sebagaimana ditirukan M. Thaib. Pada 4 Januari 1949, masyarakat Dharmasraya melepas keberangkatan Sjafruddin menuju Solok Selatan.
1 Januari 1950
Jabatan Gubernur Militer Dihapuskan
Bukittinggi - Jabatan gubernur militer Sumatra Tengah dihapuskan mulai tahun baru 1950. Mestika Zed, Edy Utama dan Hasril Chaniago dalam "Sumatera Barat di Panggung Sejarah, 1945-1995 menulis, seiring penghapusan pemerintahan militer yang diterapkan sejak masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) tersebut, Sumatra Tengah kembali jadi pemerintahan sipil, dengan gubernur sebagai kepala daerah/pemerintah provinsi. Mr. M. Nasroen melanjutkan kepemimpinannya sebagai gubernur Sumatra Tengah setelah diangkat sejak sebelum PDRI. Sedangkan Bukittinggi menjadi ibu kota Sumatra Tengah. (HM)
Catatan: Tulisan ini diperbarui dan dilengkapi pada 1 Januari 2021