Kereta api dari Padang menuju Sawahlunto dibangun setelah ditemukannya cadangan batu bara di kawasan Sawahlunto (Sekarang kota Sawahlunto) oleh seorang Geolog Belanda bernama Willem Hendrik de Grave. Target awal pembangunan jalur ketera tersebut adalah sebagai sarana transportasi untuk mengangkut hasil tambang dari Sawahlunto menuju pelabuhan Emmahaven yang sekarang dikenal dengan pelabuhan Teluk Bayur. Pembangunan jalur kereta dilakukan setelah beberapa rencana transportasi lain yang gagal diterapkan. Emmahaven juga dibangun guna mengakomodasi hasil tambang batu bara dari Sawahlunto. Proyek dengan nilai investasi yang sangat besar itu dikenal dengan proyek tiga serangkai, yaitu pembangunan sarana pertambangan di Sawahlunto, pembangunan jalur kereta yang membelah kawasan Bukit Barisan dan pembangunan pelabuhan yang akan menjadi tempat kapal-kapal memuat batu bara untuk dibawa ke Eropa dan wilayah lain di luar Sumatera.
Pembangunan proyek ini digadang sebagai salah satu proyek dengan teknologi termutakhir pada masa itu, yaitu pada tahun 1987, bagaimana tidak, kontur Bukit Barisan yang berbukit-bukit dengan tebing curam adalah sebuah tantangan dalam pembangunan jalur kereta api tersebut. Untuk bisa melewati medan yang sedemikian curam kereta api yang digunakan harus menggunakan roda gigi untuk bisa menanjak Bukit Barisan. Jalur antara Kayu Tanam menuju Padang Panjang dan sebaliknya adalah jalur yang paling menantang dan dikawasan ini jugalah lokomotif dengan roda gigi digunakan. Beberapa kecelakaan yang konon disebut dengan kecelakaan kereta api paling mematikan juga tercatat pernah terjadi di jalur ini, salah satunya dikenal dengan tragedi Padang Panjang, kereta api menyungsap dari ketinggian menuju dasar lembah di Lembah Anai. Untuk mengenang kejadian tersebut dibangunlah monument kecelakaan kereta api Padang Panjang.
Selama masa penambangan batu bara di Sawahlunto yang dikelola oleh pemerintah Belanda sampai pada masa pemerintahan Republik Indonesia yang dikelola oleh PT. Bukit Asam, kereta api menjadi alat transportasi dalam mengangkut hasil tambang ke pelabuhan di Padang. Penggunaan kereta api sebagai sarana transportasi dikarenakan kereta api mampu mengangkut batu bara dengan jumlah yang besar sehingga menuntungkan bagi perusahaan. Transportasi ini bisa dikatakan sebagai salah satu transportasi yang sukses di Minangkabau kareran selain mengangkut batu bara kereta api juga digunakan untuk angkutan penumpang. Padang Panjang menjadi salah satu wilayah yang penting dalam aktivitas perkeretaapian di jalur Padang-Sawahlunto. Stasiun Padang Panjang menjadi tempat pergantian lokomotif untuk menuruni Lembah Anai, juga menjadi pertemuan antara jalur dari Solok dan Bukittinggi yang kemudian menuju Padang.
Peran Padang Panjang dalam perkeretaapian tentunya akan menjadi ingatan dan cerita tersendiri bagi masyarakatnya. Setelah lebih dari 20 tahun kereta api tidak aktif lagi di jalur Padang Panjang-Sawahlunto dan juga Padang Panjang-Kayu Tanam, ingatan masyarakat tentunya akan menjadi salah satu saksi perjalanan panjang perkeretaapian yang aktif dari pedalaman Minangkabau itu. Dalam satu kesempatan penulis mencoba merekan memori kolektif masyarakat itu dengan menemui beberapa orang yang sempat menyaksikan aktivitas perkeretaapian di Padang Panjang-Kayu Tanam. Kereta api tidak hanya menjadi alat trasnportasi namun juga menjadi salah satu ingatan masa lalu yang mengesankan bagi masyarakat.
Salah satu orang yang penulis temui adalah seorang lelaki paruh baya bernama Syafril. Syafril adalah seorang putra asli Padang Panjang. Syafril menceritakan pengalamannya yang berhubungan langsung dengan kereta api di Padang Panjang dan Kayu Tanam. Bertempat di sebuah kedai di depan stasiun Kayu Tanam yang juga merupakan kediaman Syafril kami bercerita banyak tentang kereta api lintas Padang Panjang-Kayu Tanam. Dengan serius Ia bercerita pengalaman masa remajanya yang mengasankan. “Maso-maso sakola dulu kami acok naiak ka kereta tu. Acok kanai berang dek petugas, diimpok bagai pakai baro dulu tapi kami naiak juo nyo. Naiak di tapi gerbong baro tu. Dari Padang Panjang sampai ka Kayu Tanam. Alah gak malambek kereta di Kayu Tanam tu maloncek turun tu. Kadang kalau talupo lah sampai se ka Padang” ucapnya kepada penulis. Tidak menghiraukan bahaya dari tindakan yang Ia lakukan dengan teman-teman sebayanya, Ia begitu nekat menumpang secara ilegal dengan angkutan batu bara tersebut. Cerita masa remaja itu masih diingat betul oleh Syafril. Sekarang dengan anak dan Istri serta keluarganya ia tinggal di Kayu Tanam tepatnya di depan gerbang masuk stasiun Kayu Tanam.
Diceritakannya juga bahwa dulu banyak orang yang tidak mempertimbangkan keselamatan saat menumpang kereta secara ilegal. Berdiri atau duduk disamping gerbong barang tanpa takut terlempar ke kedalaman jurang di Lembah Anai. Mendengar cerita Syafril penulis membayangkan bagaimana dulunya anak-anak Padang Panjang memiliki hubungan atau interaksi dengan kereta api. Selain itu Syafril juga bercerita bahwa ia juga sering meletakkan paku di rel kereta kemudian dilindas oleh kereta yang membuat paku itu menjadi melebar, kemudian itu dijadikan pisau oleh anak-anak. Secara sosial, perkeretaapian yang eksis beberapa puluh tahun itu tentunya sangat memungkinkan memiliki banyak hubungan dengan masyarakat di daerah tersebut. Cerita yang disampaikan Syafril itu terjadi sekitar tahun 1980an akhir sampai 1990an.
Selain cerita Syafril penulis juga bercerita dengan masyarakat yang tinggal disekitar pasar Padang Panjang. Cerita yang disampaikan Masyarakat sekitar rel kereta agak berbeda dengan yang disampaikan Syafril. Ketimbang menceritakan ingatan masa lalu yang berkesan, Bidan Yesi salah seorang yang tinggal di dekat rel kereta malah bercerita tentang kepemilikan tanah sekitar pasar Padang Panjang di dekat gerbang Kampung Manggis sekarang. Ia bercerita bahwa masyarakat sekarang harus terus membayar sewa atas bangunan yang ada juga sewa tanah kepada PT. KAI (Ia menyebutnya PT. KA). Katanya, tanah disekitar pasar adalah milik PT. KA sampai ke arah ASKI (ISI Padang Panjang sekarang). Penulis mencoba mengarahkan pembicaraan pada wacana aktivasi kereta api namun ia justru pesimis dengan itu. Katanya untuk wilayah Padang Panjang aktivasi sarana perkeraapian itu sudah sangat sulit dan tidak mungkin akan beroperasi kembali. Mendengar itu penulis teringat dengan kondisi stasiun Padang Panjang sekarang yang terlihat tidak terurus, kaca-kaca bangunan banyak yang pecah, terlihat sangat memprihatinkan. Stasiun yang dulunya adalah sebagai salah satu sarana penting dalam perketaapian sekarang kondisinya sangat memprihatinkan. Lantas untuk apa memungut sewa? Sewa itu juga tidak digunakan untuk perawatan sarana? Hal serupa juga disampaikan bidan Neli, apa yang mereka bayarkan seolah tidak digunakan untuk perawatan stasiun, stasiun itu begitu tidak enak dipandang, rel yang sudah ditumbuhi tumbuhan liar.
Lain hal lagi penulis dengar dari cerita seorang penambang batu kapur di Bukit Tui Padang Panjang. Afrizal menceritakan bahwa dulu pada masa kereta api masih aktif, untuk membakar batu kapur para penambang membeli batu bara di stasiun Padang Panjang kemudian diangkut menggunakan pedati ke lokasi pembakaran di sekitar daerah Tanah Hitam. Ia menceritakan produksi kapur yang sangat banyak pada masa-masa itu. Dari ingatan itu tergambar jelas bahwa perkeretaapian lintas Padang-Sawahlunto turut memberikan dampak pada pelaku usaha di daerah yang dilaluinya. Kemudian setelah kereta api tidak beroperasi lagi para penambang harus membeli batu bara dari Sawahlunto kemudian diangkut dengan truk ke lokasi pembakaran di Bukik Tui.
Sekarang lintasan kereta api dari Padang-Sawahlunto telah menjadi warisan dunia yang ditetapkan UNESCO. Berstatus sebagai warisan dunia dengan nomenklatur Warisan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto (WTBOS). Kejayaan perkeretaapian dengan beragam cerita yang turut menghiasi perjalanannya telah menjadi sebuah cerita masa lalu yang patut untuk diinventarisasi. Memori-memori kolektif yang bisa dicatat pada masa kini setidaknya akan menjadi literatur penunjang bagaimana hubungan WTBOS ini dengan masyarakatnya. Keterhubungan, persentuhan antara masyarakat dengan aktivitas perkerataapian akan menunjang aktivasi dari setiap objek yang telah tercatat menjadi warisan dunia tersebut.
Aktivasi ruang-ruang yang ada tentunya diperlukan dalam upaya memaksimalkan setiap potensi dari WTBOS. Cerita-cerita dari masyarakat Padang Panjang sepertinya akan sangat beragam bila ditelusuri lebih lanjut. Berpuluh tahun kereta api menjadi sarana transportasi yang sangat penting keberadaannya, kemudian aktivitas operasional itu bersentuhan dengan masyarakat setempat. Kedepannya tentu cerita itu akan tetap ada, selayaknya hari ini kereta api memang tidak aktif lagi di Padang Panjang namun cerita masa lampau telah menjadi kenangan bagi masyarakatnya. Selain itu, aset sarana perkeretaapian yang dimiliki oleh PT. KAI masih bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dengan kata lain kereta api memang tidak berjalan lagi namun masyarakat masih terkait dengannya.
Sepertinya akan banyak persoalan yang dihadapi jika akan dilakukan aktivasi kembali di Padang Panjang. Realitas faktual di lapangan, di sekitar rel kereta sekarang sudah banyak bangunan yang begitu dekat dengan rel bahkan ada yang di atas badan rel. Aktivasi sepertinya akan menimbulkan banyak cekcok dengan masyarakat yang terkait. Dengan demikian tantangan dalam pemaksimalan potensi WTBOS akan semakin banyak terutama dibidang perkerataapian. Ingatan Syafil, Bidan Yesi dan Afrizal menggambarkan bagaimana persentuhan masyarakat dengan kereta api. Realita sekarang juga menjadi data dalam pemetaan aktivasi ruang-ruang yang menjadi bagian dari WTBOS.
*Penulis: Muhammad Fadli (Mahasiswa Magister Cultural Studies Universitas Andalas)