Bisakah ketakutan diwariskan?
Bagi yang tumbuh di masa puncak Orde Baru mungkin tahu sebuah ketakutan:
Para pemburu kepala sedang bergentayangan di mana-mana. Mereka mungkin menggunakan pedang panjang, pisau runcing-tajam, atau sejenis kapak gadang, tidak pernah jelas. Mereka mungkin sejenis hantu, jihin, monster, atau gergasi buruk rupa, atau entah apa juga sama tidak jelasnya.
Yang jelas, mereka bergentayangan memburu kepala-kepala untuk digunakan mengokohkan tiang-tiang jembatan, dam dan bendungan. Anak-anak ialah kebanyakan korbannya.
Cerita itu membuat kami ketakukan, dan kami jadi patuh.
Ketika malam, setiap melewati jembatan yang baru saja selesai dibangun melintangi sungai besar yang memisahkan kampung satu dan kampung di seberang di mana hanya Orde Barulah yang telah dapat melepaskannya dari keterisoliran, selalu muncul perasaan tergidik: apakah kepala-kepala itu akan terbang-bergentayangan meneror setiap orang yang lewat, atau sekurang-kurangnya menggemakan jeritan tertahan penuh derita dan sakit saat ia dipisahkan dari badan?
Ketika siang, sepulang sekolah melewati jembatan yang baru itu, selalu terbersit tanya sambil menelisik-nelisik: pada bagian manakah dari jembatan ini ditanam kepala?
Saya tahu kemudian, itu hanya cerita petakut, tak lebih dari omong-kosong.
Suatu generasi mungkin saja telah 'menurunkan' ketakutan generasinya ke generasi setelahnya dengan cara 'memolesnya' sedemikian lihai. Ketakutan zamannya ialah ketika orang-orang dijemput paksa dari rumah ibunya, dari rumah istrinya, dari rumah anaknya untuk dipenggal di tepi-tepi tebing, di tubir-tubir lembah, di pinggir-pinggir suwung, dan dengan sekali dorongan kaki lepaslah tubuh-tubuh tanpa kepala itu mengikuti kepalanya yang telah lebih dulu lepas serupa kelapa tua jatuh dari pohonnya.
Sekelompok orang, entah hansip, entah kesatuan pengaman sipil, entah kesatuan aksi pemuda-pelajar, entah sekelompok peronda, entah seregu pasukan, telah masuk-keluar kampung untuk 'berburu'. Bagaimana rasanya hidup di tengah keadaan di mana kampung demi kampung dimasuki dan digeledah untuk mencari dan menemukan orang-orang yang akan segera dibunuh. Barisan orang-orang dengan leher dan tangan terikat yang akan segera menjadi mayat hanya dalam sekali tebasan. Mayat-mayat tanpa kepala yang bertumpuk-tumpuk dalam lubang yang digali tergesa-gesa, atau mengapung-ngapung di sungai-sungai menuju muara yang kadangkala ditemukan tersangkut di jala penangkap ikan.
Orang-orang takut akan itu, tetapi setelahnya muncul ketakutan baru: para korban menjadi arwah penasaran yang bergentayangan menuntut balas. Hantu-hantu penuh dendam itu jadi sosok pemburu kepala berikutnya dalam imajinasi kita yang berkeliaran dari kampung ke kampung mencari korbannya.
Biasakah narasi kengerian semacam itu dialih-pindahkan dari satu generasi ke generasi berikutnya?
Sayang sekali, dan sialnya, ternyata bisa.
Ketakutan dan kengerian akan kehadiran gerombolan pemburu kepala itulah yang menjadi narasi yang ditebar kepada kami dalam wujud yang lain: hantu-hantu, monster-monster, gergasi-gergasi buruk rupa dengan golok panjang, pisau tajam, dan kapak gadang.
Yang hadir dalam bentuk cerita-cerita petakut. Yang menghentikan langkah kami untuk pergi bermain ke suatu tempat terlarang. Yang menguatkan tegah orang tua atas sesuatu yang tidak boleh dilakukan.
Di rumah, kekuasaan orang tua memproduksi pengetahuan semacam itu yang dengannya kami takut dan tunduk. Sementara di luar rumah, kondisinya tak jauh berbeda.
Di sekolah misalnya, kekuasaan lain berwujud para guru memproduksi pengetahuan dengan daya kejut nyaris sama dalam bentuk cerita-cerita dari buku-buku pelajaran sejarah bangsa dan moral Pancasila. Di lingkar yang lebih luas, negara memproduksi pengetahuan lainnya (baca: ketakutan baru) dalam rupa film-film yang wajib ditonton tiap tahu, komik-komik yang disebar ke pustaka-pustaka, dan diorama-diorama yang diminta dikunjungi secara berkala.
Saya tidak tahu, apa motif jenis kita, si sapiens yang penuh cinta tetapi lebih sering gelap mata, memoles kengerian realitas berwujud lain dan berbeda? Mungkin saja agar kenyataan yang menakutkan itu dapat lebih tertanggungkan oleh ingatan; untuk mengingat apa yang sesungguhnya tak ingin diingat tetapi senantiasa mengendap dan tak bisa dibuang dengan mudah? Mungkin juga itu sebuah strategi untuk selamat dari trauma masa silam yang mencengkeram masa kini dan masa depan kita dengan cara dibagi-bagi kepada lebih banyak orang dan lebih banyak generasi agar ia dapat lebih tertanggungkan?
Sekalipun telah diubah dengan segala cara, tapi tampaknya ketakutan yang dihasikannya seolah terus bermutasi. Jika sudah begitu, maka sejauh ini sudah harus dijawab seberapa mendalam ketakutan-ketakuan itu telah mempengaruhi jiwa, membentuk sikap dan tindakan untuk memilih agresi sebagai jalan keluar bagi setiap persoalan. Ada berapa banyak kejahatan terjadi setiap hari, ada berapa banyak kengerian akibat tindakan agresi telah berlangsung tiap jam di jalan-jalan, di tempat kerja, bahkan dalam bilik-bilik pribadi kita yang mungkin telah distimulasi olehnya? Jangan-jangan kekerasan yang berlangsung di segala lini ruang hidup kita ini sekarang merupakan bentukan dari ingatan akan trauma masa lalu yang tak kunjung tersehatkan? Ia bisa jadi semacam endapan yang jika dibangkitkan akan menguar keluar; kekerasan itu diterima sebagai bagian dari keseharian dan tindak itu bisa kembali diletuskan dengan mudah jika keadaan menuntut.
Maka siapa yang pernah berpikir bahwa anak-anak dan remaja yang hidup pada kurun di mana pembantaian-pembantaian besar terjadi (yang tidak jarang digelar di depan mata kepala mereka) perlu diberi trauma healing, semacam proses penyembuhan setelah trauma. Tidakkah itu perlu untuk menghindarkan mereka menjadi monster-monster dan hantu-hantu pemburu kepala berikutnya setelah beranjak dewasa? Lalu apa pula efek yang ditimbulkannya ketika ketakutan dan kengerian itu dibagi-bagikan ke generasi berikutnya sekalipun dalam narasi yang telah lain dan berbeda?
Mesin ketakutan itu terus saja bekerja sampai sekarang. Berbiak bagai mutan dari generasi ke generasi.
Setiap ada gedung-gedung tinggi yang baru selesai dibangun, bandara internasional yang akan segera dibuka, sirkuit balapan mobil super cepat yang sudah bisa beroperasi awal tahun depan, jalan-jalan layang, tol-tol, dan jembatan-jembatan panjang, mengetahui proyek-proyek besar negara yang baru saja rampung, selalu tergidik tanya yang sama dari masa kanak-kanak saya: apa dan siapa yang telah dikorbankan untuk ini?
Deddy Arsya Dosen sejarah di IAIN Bukittinggi.