Langgam.id – Sebanyak 10 orang warga asal Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat (Sumbar) menjadi korban kerusuhan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua yang terjadi Senin (23/9/2019). Informasinya, 9 dari korban dinyatakan meninggal dan seorang lainnya masih menjalani perawatan.
Delapan jenazah dipulangkan ke Ranah Minang dan mendarat hari ini, Kamis (26/9/2019) di Bandara Internasional Minangkabau (BIM).
Insiden ini menuai simpati banyak pihak. Tidak saja pemerintah, ulama di Ranah Minang pun turut berbelasungkawa atas kejadian yang merenggut nyawa manusia tersebut. Rasa duka dan prihatin datang dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar Gusrizal Gazahar. Begini ini untaian kata Buya Gusrizal yang dipajang di akun media sosial (medsos) pribadinya.
Nyawa anak bangsa melayang, putera-puteri Minangkabau menjadi korban di dalam lingkaran wilayah NKRI yang diperjuangkan oleh para tokoh kita dengan tumpahan darah dan air mata.
Sebagai seorang muslim, istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) dan lantunan doa serta menjadikan kesabaran sebagai pakaian adalah suatu sikap keimanan.
Namun sebagai warga negara dan rakyat bangsa ini, apakah tak perlu dan terlarang kami bertanya: “Dimana kehadiran penguasa dan mereka yang menikmati tetesan keringat rakyat selama ini,”?
Kalau dalam kondisi seperti ini, penguasa tetap absen dan hanya sama-sama bisa meratapi mayat yang telah berjatuhan, akankah kami harus mengambil kesatuan langkah dengan menggelar rapat akbar “RANAH MINANG MANGISA KARIH” sebagai isyarat bahwa tidak begitu saja darah tertumpah sia-sia dan tak semurah itu nyawa melayang di dalam negara kesatuan yang selama ini kami cintai?
Dibunuhnya putra-putri Minangkabau di Papua tak cukup hanya mengundang ucapan duka. Kalau memang kita hidup bernegara, kami patut bertanya: “dimana tuan-tuan yang mengaku menjadi penguasa?
(*/ICA)