Urgensi Syarat Minimal Pendidikan S1 bagi Anggota DPR RI

Urgensi Syarat Minimal Pendidikan S1 bagi Anggota DPR RI

Ilustrasi: Gedung DPR RI. (Gambar: dpr.go.id)

Oleh: Muhammad Abdul Aziz

S1 adalah gelar akademik strata pertama atau sarjana, yang diperoleh setelah menyelesaikan program pendidikan tinggi selama 3-4 tahun, dengan menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi sebagai salah satu syarat kelulusannya. Lulusan S1 mendapat gelar seperti S.H., S.I.P., S.E., S.T., dan lain-lain, tergantung bidang studinya. Gelar S1 menandai seseorang sudah mendapat pengetahuan dasar teori dan beberapa kemampuan analitis di bidang ilmunya.

Di mata masyarakat sendiri, lulusan S1 sering dipandang sebagai orang yang “terdidik” dan “lebih kompeten”. Persepsi ini muncul karena gelar sarjana diasosiasikan dengan kemampuan berpikir kritis, serta pemahaman konsep yang lebih luas. Di sisi lain, tentu ada juga pandangan skeptis bahwa gelar saja tidak menjamin moralitas atau integritas, tetapi untuk urusan teknis dan intelektual seseorang dengan pendidikan S1 masih jadi tolak ukur yang umum.

Kalau kita kaitkan dengan profesi yang berhubungan langsung dengan hukum dan tata negara seperti hakim, jaksa, dan advokat yang mana pada praktiknya mensyaratkan latar pendidikan sarjana dan juga harus terkhusus pada bidang hukum. Ini menunjukkan standar kompetensi yang cukup ketat untuk mereka yang menafsirkan dan menegakkan hukum.

Namun pada beberapa lembaga seperti DPR RI, hanya mensyaratkan minimal pendidikan SMA/sederajat. Menurut UU Pemilu Pasal 240 ayat (1) huruf e, yang menyatakan untuk bisa menjadi calon anggota DPR/DPRD hanya perlu berpendidikan minimal SMA/sederajat.

Pertanyaan, apakah syarat ini sepadan dengan tanggung jawab besar legislator dalam tugasnya sebagai pembentuk undang-undang?.

Mengutip pernyataan dari laman website mkri.id, Muhammad Rafli Nur Rahman selaku pemohon sidang MK dengan pembahasan terkait pengujian UU nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum, menyebutkan norma yang hanya mensyaratkan pendidikan paling rendah SMA bagi calon anggota DPR/DPRD, jelas tidak sepadan dengan kewenangan konstitusional lembaga legislatif yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Syarat pendidikan yang terlalu rendah tersebut tidak menjamin adanya kapasitas intelektual, kemampuan analitis, maupun kualitas legislasi yang memadai. Beberapa pihak berpendapat bahwa persyaratan minimal S1 bagi anggota DPR seharusnya diberlakukan.(Sumber: mkri.id)

Rapat Paripurna DPR RI menggarisbawahi besarnya tanggung jawab legislator dalam merumuskan kebijakan publik. Namun, saat ini UU Pemilu hanya mensyaratkan minimal pendidikan SMA bagi calon legislatif. Fenomena ini mendorong warga mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Nanda Yuniza Eviani selaku rekan dari Muhammad Rafli Nur Rahman pada persidangan yang sama di MK mengatakan, “Bila syarat legislator hanya dengan ijazah SMA, profesi yang hanya menafsirkan undang-undang seperti hakim, jaksa, advokat, wajib bergelar sarjana, sedangkan masuk akalkah jika pembentuk undang-undang justru cukup dengan lulusan sekolah menengah. Jika dibiarkan martabat Pasal 20 ayat (1) direndahkan, bahkan direduksi oleh ambang yang minimalis,”. Pemohon menekankan bahwasannya norma yang ada saat ini jelas tidak sepadan dengan wewenang DPR sebagai pembuat undang-undang. Walau MK hingga saat ini masih mempertahankan aturan minimum SMA, perdebatan publik tentang standar pendidikan legislatif terus diperbincangkan.(Sumber: mkri.id)

Legislatif memiliki tanggung jawab dalam membuat sebuah undang-undang maupun suatu kebijakan, namun saat ini lembaga yang bertanggung jawab akan hal yang sangat penting itu, disyaratkan pendidikan minimal SMA. Padahal untuk menjadi seorang guru SD saja diperlukan pendidikan minimal S1, namun mengapa untuk menjadi seseorang yang memiliki tanggung jawab yang besar terhadap masyarakat maupun negara, memiliki syarat yang lebih rendah. Hal yang sama juga pada para penegak hukum yang memiliki tanggung jawab dalam menafsirkan undang-undang seperti hakim, jaksa, dan advokat yang mana diwajib memiliki pendidikan minimal S1, serta harus spesifik pada bidang hukum. hal ini menjadi dasar argumen bahwa standar minimal DPR dirasa kurang dan sudah semestinya dilakukan peninjauan ulang.

Orang dengan pendidikan tinggi seringkali dianggap masyarakat memiliki kemampuan analitis dan pemikiran kritis. Legislator yang berpendidikan S1 diharapkan memahami teori hukum dan ilmu politik dasar, serta mampu merumuskan kebijakan yang responsif dan visioner.

Seringkali kita temui saat ini banyak parpol cenderung mengutamakan figur populer tanpa memperhatikan kualifikasi akademik. Dengan adanya syarat pendidikan minimal S1, ini diharapkan dapat menjadikan partai politik lebih serius menyiapkan kader berkualitas, bukan sekedar memanfaatkan popularitas atau uang.

Menurut teori politik, persyaratan pendidikan legislator juga dapat ditinjau dari konsepsi demokrasi dan representasi. Dalam pandangan Plato, demokrasi tanpa penyaringan kualitas pemimpin bisa menjadi bencana: sistem tersebut memungkinkan “siapa saja” naik ke tampuk kekuasaan, asalkan pandai dalam beretorika, meski kapabilitas intelektualnya minim. Kritik Plato ini relevan, Karena saat ini banyaknya partai politik sering kali mendukung figur yang kurang berkompeten, yang hanya mengandalkan popularitas.(Sumber: geotimes.id)

Berbagai fakta dan argumentasi menguatkan pentingnya syarat minimal pendidikan S1 bagi anggota DPR. Dalam konteks UU Pemilu saat ini, masih lazimkah calon legislatif dengan minimum pendidikan SMA/sederajat?, padahal profesi terkait hukum dan pendidikan menetapkan standar lebih tinggi. Menaikkan syarat minimal pendidikan DPR bukan semata formalitas, melainkan investasi jangka panjang untuk kematangan demokrasi kedepannya. Tidak masuk akal rasanya jika seorang yang bertanggung jawab atas kekuasaan legislatif cukup lulusan SMA/sederajat sedangkan untuk menjadi seorang guru SD saja disyaratkan memiliki pendidikan minimal S1. Oleh karena itu, sudah semestinya untuk mengemban jabatan DPR diperlukan pendidikan minimal S1 khususnya bidang hukum/politik demi menjaga mutu parlemen dan hak konstitusional rakyat atas legislasi bermutu tinggi. (*)

Muhammad Abdul Aziz, mahasiswa Ilmu Politik, FISIP, Universitas Andalas

Tag:

Baca Juga

Anggota Komisi XIII DPR Minta Pemerintah Batalkan Relokasi Warga TNTN Riau
Anggota Komisi XIII DPR Minta Pemerintah Batalkan Relokasi Warga TNTN Riau
RUU Ekstradisi Indonesia-Rusia, Fraksi PAN DPR Nyatakan Setuju
RUU Ekstradisi Indonesia-Rusia, Fraksi PAN DPR Nyatakan Setuju
Jargon Politik DPR vs Meme di Medsos
Jargon Politik DPR vs Meme di Medsos
Anggota DPR RI Fraksi PAN Arisal Aziz Gelar Sosialisasi 4 Pilar di Bukittinggi
Anggota DPR RI Fraksi PAN Arisal Aziz Gelar Sosialisasi 4 Pilar di Bukittinggi
Minta Maaf Usai Demo Mahasiswa di Sumbar, Cindy Monica Tak Singgung Foto Memetik Buah di Luar Negeri
Minta Maaf Usai Demo Mahasiswa di Sumbar, Cindy Monica Tak Singgung Foto Memetik Buah di Luar Negeri
Profil Cindy Monica, Anggota DPR RI Dapil Sumbar yang Disentil Jerome Polin
Profil Cindy Monica, Anggota DPR RI Dapil Sumbar yang Disentil Jerome Polin