Langgam.id - Tanggal 7 Maret 1942 adalah hari genting. Saat itu, kekuasaan Belanda di seluruh penjuru Hindia sedang di ujung tanduk.
Ultimatum Komandan Pasukan ke-16 Tentara Jepang Jenderal Hitoshi Immamura adalah pemicunya. Dalam peringatannya yang keras, Immamura meminta Pemerintah beserta seluruh kekuatan tentara Hindia Belanda di Nusantara untuk menyerah total tanpa syarat.
Bila tidak, pesawat-pesawat tempur Jepang akan memborbardir Bandung dari udara. Beberapa bagian suasana itu diceritakan Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Buku 'Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV' (1984).
Dari hari ini, Kamis (7/3/2019), peristiwa itu terjadi tepat 77 tahun yang lalu.
Bandung adalah pertahanan terakhir Pemerintah Hindia Belanda dari Jepang yang mulai menyerbu Nusantara sejak Januari 1942.
Saat itu, Jepang sedang di atas angin. Setelah menghajar pangkalan militer Amerika di Pearl Habour, Hawaii pada Desember 1941, sejumlah negara Sekutu yang sedang berperang dengan Jerman dan Italia dalam teater perang Eropa dan Afrika, menyatakan perang pada negeri matahari terbit itu.
Belanda yang mengungsikan ratu dan pemerintahannya ke Inggris karena sedang dikuasai Jerman, ikut-ikutan menyatakan perang.
Pernyataan yang memancing Jepang datang. Benar saja, hanya dalam sebulan, mesin perang dan derap sepatu serdadu Dai Nippon berbaris masuk Tarakan, Kalimantan pada 11 Januari 1942.
Hanya dalam dua hari, tentara setempat tak berkutik. Sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan dalam Buku 'Pemerintahan Sumatera Barat, dari Voc Hingga Reformasi' (2006) menyebutkan, pada 13 Januari 1942 komandan tentara Belanda setempat menyerah.
Berikutnya, hanya dalam waktu sebulan, berturut turut Balikpapan, Pontianak, Samarinda, Banjarmasin dan semua kota penting di Kalimantan sudah diduduki tentara Jepang.
Pertengahan Februari 1942, giliran membidik Sumatra. Pada 14 Februari 1942, pasukan payung tentara Jepang turun di Palembang. Dua hari kemudian, pada 16 Februari, Palembang dan sekitarnya berhasil diduduki.
Dari Palembang, sebagian pasukan menuju Pulau Jawa. Sebagian yang lain menginvasi kota-kota penting Sumatra. termasuk Bengkulu dan Padang.
Sebanyak 140 ribu serdadu Jepang yang terbakar semangat perang bukan lawan tanding 40 ribu tentara dan opsir yang lebih banyak jadi pengawal Pemerintah Hindia memungut pajak dan menangkapi aktivis tak bersenjata.
Mereka sudah lama tak berlatih kontak senjata setelah Perang Aceh, Padri dan Diponegoro usai. Itupun dimenangkan dengan susah payah bercampur taktik pengelabuan ala zaman itu.
Di Pulau Jawa, mulai 1 Maret, serdadu Jepang mengepung dari berbagai penjuru. Tak sampai sepekan, Tentara Belanda tersudut di Lembang, 40 kilometer dari Bandung. Saat itulah, ultimatum itu keluar.
Dua pekan sebelumnya, saat Belanda menguasai Palembang, Bung Karno masih berada di pengasingannya di Bengkulu bersama Ibu Inggit dan anak angkatnya Ratna Djuami.
Ir. Sukarno sudah di Bengkulu sejak 1938, menjadi tawanan Pemerintah Hindia Belanda. Sebelumnya, Bung Karno dibuang ke Ende, Flores sejak 1934. Artinya, pada 1942 adalah tahun kedelapan ia menjadi tahanan.
"Yang menjadi sasaran pertama dari pendaratan tentara Jepang adalah kota Palembang, Sumatra Selatan. Tentara Belanda mengundurkan diri. Dia tidak bertempur. Dia lari tunggang-langgang. Hanya untuk satu hal Belanda tidak lari, yaitu untuk mengawasi Sukarno," kata si Bung kepada Cindy Adams, dalam Biografinya 'Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia' (1966).
Menurut Bung Karno, Belanda khawatir meninggalkannya di Bengkulu. "Karena, Jepang sudah pasti akan menggunakan bakatku untuk melontarkan kembali segala dendam kesumat terhadap Negeri Belanda, dan dengan demikian juga terhadap Pasukan Sekutu," tuturnya.
Karena itu, begitu tersiar berita Jepang sudah bergerak menuju Bengkulu, Bung Karno dan keluarga pun diungsikan Belanda.
Sehari sebelum Jepang menduduki Bengkulu, dua polisi Belanda dengan tergopoh-gopoh datang ke Bung Karno. Tawanan nomor satu Pemerintah Hindia Belanda itu diminta berkemas.
"Kemasi barang-barang," perintahnya.
"Tuan akan dibawa keluar."
"Kapan ?"
"Malam ini juga. Dan jangan banyak tanya. Ikuti saja perintah."
Demikian cerita Bung Karno di biografi tersebut. Ia mengaku berangkat pada malam sehari sebelum Jepang menduduki Bengkulu. Itu artinya, Bung Karno meninggalkan kota tempat ia bertemu dengan Fatmawati itu pada 22 Februari 1942 malam. Karena, beberapa sumber menyebut, Jepang masuk ke Bengkulu pada 23 Februari 1942 melalui Curup.
Para polisi yang mengawal menyebut, Bung Karno akan dibawa ke Padang untuk kemudian dibawa ke Australia dengan kapal atau pesawat oleh Belanda.
Karena itu, dari Kota Bengkulu, Bung Karno sekeluarga dibawa menuju Muko-Muko, kabupaten paling utara di Provinsi Bengkulu dengan mengendarai mobil yang penuh sesak.
"Ada lagi perubahan yang lain. Kendaraan kami sudah diganti dengan gerobak sapi. Ia dimuat dengan persediaan makanan. Beras dan kaleng-kaleng. Melebihi persediaan untuk sehari. Cukup untuk seminggu, kukira."
"Perjalanan selanjutnya kita tempuh dengan jalan kaki," kata seorang yang menyandang tempat minum.
Isteriku mengangkat kepala karena kaget. "Jalan kaki sampai ke Padang?"
Begitu cerita Bung Karno. Dan memang, rombongan ini kemudian berjalan kaki hampir 300 kilometer. Selama berjalan dalam hutan, rombongan tersebut harus menghemat bekal dengan makan buah-buahan dari hutan untuk sarapan dan menangkap ikan untuk lauk di perjalanan.
Mereka bertemu dengan jejak harimau, ular dan siamang yang sangat besar. Sapi yang menarik gerobak, terkadang harus ditarik karena kemungkinan capek membawa bekal.
"Akhirnya bukan sapi itu yang menolong kami. Akan tetapi, akulah yang harus menolong sapi itu. Aku menariknya. Dan menolaknya. Seringkali binatang itu hanya berdiri saja dan menantikan Sukarno menarik gerobak itu seorang diri," ujar Bung Karno.
Di hari keempat, rombongan keluar dari hutan dan kemudian bersambung dengan bus ke Padang. Dengan demikian, bila rombongan ini tersebut berangkat dari Muko-Muko pada 24 Februari, maka diperkirakan Bung Karno memasuki Kota Padang di awal Maret 1942.
Kota yang menurut Bung Karno sedang chaos, karena Belanda bersiap lari. "Tentara Belanda mencoba mengangkutku dengan pesawat terbang, akan tetapi semuanya terpakai atau rusak. Persoalan Negeri Belanda sekarang bukan bagaimana menyelamatkan Sukarno. Persoalan Negeri Belanda sekarang adalah bagaimana menyelamatkan dirinya sendiri... Negeri Belanda membiarkanku tinggal. Ini adalah kesalahan yang besar dari mereka," ujarnya.
Bung Karno pun bebas dari tawanan karena ditinggal. Ia sudah berada di Padang sebelum Jepang masuk ke kota itu pada 17 Maret 1942 dan sangat berdekatan jaraknya saat Belanda menerima ultimatum itu. Sejak awal Zaman Jepang itu, Bung Karno tinggal sekitar lima bulan kemudian di Sumbar. (HM)