Ujian Fiskal Bencana Sumatra

Ujian Fiskal Bencana Sumatra

Syafruddin Karimi. (Foto: Ist)

Pemerintah belum menetapkan bencana nasional untuk Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat karena pemerintah masih memakai logika “kendali cukup” melalui status darurat daerah dan pengerahan kementerian/lembaga. Pemerintah juga cenderung berhati-hati karena penetapan bencana nasional jarang terjadi dan sering dianggap sebagai eskalasi risiko fiskal. Sikap ini terlihat rasional di atas kertas, tetapi sikap ini melemahkan koordinasi ketika bencana bekerja sebagai guncangan makro. Penetapan status bencana nasional bukan tujuan simbolik; status itu berfungsi sebagai alat orkestrasi fiskal-operasional agar instrumen APBN bekerja sebagai satu mesin. UU 24/2007 menyebut indikator penetapan status dan tingkat bencana memuat jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah, serta dampak sosial ekonomi. Ketika indikator itu terpenuhi lintas provinsi, pemerintah pusat perlu mengambil alih komando dan menetapkan prioritas yang sama dari hari pertama hingga fase rekonstruksi.

Bencana besar di Sumatra menciptakan shock penawaran sekaligus shock permintaan. Kerusakan jalan, jembatan, irigasi, dan fasilitas publik menghambat arus logistik, menaikkan biaya distribusi, serta menekan produksi pertanian dan perdagangan lokal. Pada waktu yang sama, rumah tangga kehilangan pendapatan dan mengalihkan belanja ke kebutuhan darurat, sehingga konsumsi produktif turun dan produktivitas kerja merosot. Guncangan semacam ini cepat menjalar menjadi tekanan harga pangan di wilayah terdampak, lalu merembes ke provinsi lain melalui jaringan pasok antardaerah. Negara tidak bisa memperlakukan bencana sebagai isu sektor, karena bencana bekerja sebagai mekanisme transmisi guncangan ke inflasi, kemiskinan, dan stabilitas sosial. Ketika pemerintah menunda status nasional, pemerintah membiarkan pemulihan akses, distribusi, dan produksi bergerak dengan ritme yang tidak seragam, padahal ritme itulah yang menentukan apakah shock mereda atau membesar.

Pertanyaan kedua sering muncul dalam bentuk kecurigaan fiskal: apakah APBN benar-benar tidak punya dana karena SAL “sudah habis” setelah pemerintah menempatkan Rp 276 triliun ke bank Himbara dan menerbitkan angka Rp 86,6 triliun, lalu tersisa Rp 95,9 triliun. Cara membaca ini keliru karena menempatkan dana bukan berarti menghabiskan dana. Pemerintah tetap memegang klaim atas dana yang ditempatkan dan memperoleh imbal hasil; pemerintah hanya mengubah bentuk likuiditas untuk tujuan stabilisasi dan intermediasi. Angka Rp 86,6 triliun juga sering dipahami sebagai penerbitan SBN, padahal angka itu kerap merujuk pada pembukaan blokir anggaran K/L untuk mengaktifkan kembali belanja yang tertahan. Kesimpulan “dana tidak ada” lahir dari pembacaan yang menyederhanakan arsitektur kas negara. APBN memiliki instrumen respons bencana: dana siap pakai, realokasi belanja, percepatan belanja kementerian teknis, dan penataan pembiayaan rekonstruksi multi-tahun. Masalah inti tidak terletak pada ketersediaan nominal semata; masalah inti terletak pada keputusan politik-fiskal untuk menyatukan komando, mengunci prioritas, dan menjaga kredibilitas pembiayaan.

Di sinilah pertanyaan ketiga menjadi krusial: bagaimana pemerintah mengelola fiskal di tengah krisis bencana, shortfall penerimaan, dan risiko utang ke depan. Pemerintah perlu menjalankan manajemen krisis dengan tiga disiplin. Pertama, pemerintah harus memulihkan akses dan layanan dasar secepat mungkin untuk memutus shock penawaran; setiap hari keterlambatan membuka jalan dan memulihkan logistik memperpanjang inflasi biaya dan menggerus produktivitas. Kedua, pemerintah harus melindungi daya beli dan pendapatan rumah tangga terdampak agar shock permintaan tidak berubah menjadi kemiskinan baru yang persisten. Ketiga, pemerintah harus membiayai rekonstruksi dengan bauran yang menjaga profil risiko utang, menjaga jatuh tempo, dan menahan biaya bunga. Pemerintah perlu menempatkan rekonstruksi sebagai program pemulihan kapasitas produksi, bukan proyek fisik semata.

Risiko paling besar muncul ketika pemerintah tetap menolak bantuan internasional. Penolakan itu memaksa pembiayaan, logistik, dan pasokan barang kritis sepenuhnya bertumpu pada sumber domestik, padahal rekonstruksi sering membutuhkan material, alat berat, obat, serta komponen tertentu yang menyerap devisa. Bencana Sumatra berpotensi melebarkan defisit transaksi berjalan 2026 melalui lonjakan impor rekonstruksi dan kenaikan penyerapan domestik yang melampaui pemulihan output. Pemerintah perlu membuka kanal bantuan internasional yang selektif dan terukur melalui skema multilateral dan kemanusiaan, mengutamakan bantuan barang kritis untuk menekan kebutuhan devisa, mempercepat rekonstruksi yang memulihkan produksi dan logistik, serta membangun pembiayaan bencana yang transparan agar tekanan eksternal tidak berubah menjadi tekanan nilai tukar dan biaya modal yang lebih tinggi.

Status bencana nasional dan bantuan internasional yang terukur bukan tanda kelemahan. Dua langkah itu menunjukkan negara membaca bencana sebagai guncangan makro yang menuntut komando terpadu, pembiayaan kredibel, dan pemulihan cepat. Pemerintah perlu bertindak tegas: tetapkan status nasional berbasis indikator UU 24/2007, satukan operasi fiskal-operasional, dan buka risk-sharing eksternal yang aman. Negara yang bergerak cepat menekan inflasi, menahan kemiskinan, dan menjaga stabilitas sosial. Negara yang menunda keputusan membayar biaya yang lebih mahal.

*Penulis: Syafruddin Karimi (Dosen dan Guru Besar Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)

Baca Juga

Kepemimpinan Negara yang Defensif Negatif dalam Ujian Bencana Kemanusiaan
Kepemimpinan Negara yang Defensif Negatif dalam Ujian Bencana Kemanusiaan
Bencana Sumatra, Bantuan Internasional, dan Defisit Transaksi Berjalan
Bencana Sumatra, Bantuan Internasional, dan Defisit Transaksi Berjalan
Bencana Sumatra dan Paradoks Fiskal Pusat–Daerah
Bencana Sumatra dan Paradoks Fiskal Pusat–Daerah
Membaca Diamnya Izin Bantuan Asing untuk Korban Bencana dalam Berbagai Perspektif Teori
Membaca Diamnya Izin Bantuan Asing untuk Korban Bencana dalam Berbagai Perspektif Teori
Kebijakan Fiskal di Ranah Moneter
Kebijakan Fiskal di Ranah Moneter
Urgensi Kajian Reka Kejadian untuk Menyelamatkan Masa Depan Daerah Rawan Bencana Banjir Bandang
Urgensi Kajian Reka Kejadian untuk Menyelamatkan Masa Depan Daerah Rawan Bencana Banjir Bandang