Trickle-Down Effect: “Mitos yang Gagal Menetes”

Dalam diskursus pembangunan ekonomi, terdapat sebuah teori yang sempat begitu populer pada era Orde Baru yakni Trickle-Down Effect. Teori ini berangkat dari asumsi sederhana namun penuh janji, jika pertumbuhan ekonomi meningkat pesat, maka manfaatnya akan “menetes ke bawah” kepada masyarakat miskin melalui peningkatan konsumsi, investasi, dan penciptaan lapangan kerja. Pertumbuhan dianggap seperti hujan deras yang diyakini pada akhirnya akan membasahi semua orang.

Namun, realitas membuktikan bahwa hujan itu tidak pernah benar-benar sampai ke tanah tempat rakyat kecil berpijak. Airnya justru tertahan di atap-atap megah kelompok elite, menetes perlahan bahkan terkadang tidak menetes sama sekali. Teori ini akhirnya lebih sering menjadi ilusi pembangunan, angka pertumbuhan melonjak, pusat perbelanjaan bertambah, kawasan industri membesar, tetapi kemiskinan masih bertahan dan ketimpangan melebar. Fenomena ini tergambar jelas dalam data Gini Ratio di berbagai daerah yang justru meningkat meskipun pertumbuhan ekonomi tinggi.

Dengan kata lain, Trickle-Down Effect lebih pantas disebut sebagai “mitos yang gagal menetes”, janji manis yang dalam praktiknya jarang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat miskin. Pertumbuhan memang terjadi, tetapi distribusinya timpang. Yang bertambah kaya adalah mereka yang sudah berada di puncak piramida, sementara mereka yang di bawah hanya mendapat remah atau malah tidak mendapat apa-apa.

Di banyak daerah, pertumbuhan justru hanya dinikmati oleh kelompok tertentu saja. Akibatnya, kemiskinan tetap bertahan bahkan kesenjangan semakin melebar, karena itu, strategi pembangunan tak bisa lagi semata mengandalkan logika pertumbuhantinggi. Yang dibutuhkan adalah pertumbuhan inklusif, yakni pertumbuhan yang manfaatnya menjangkau secara nyata dan merata ke seluruh lapisan masyarakat.

Pengalaman pembangunan di berbagai negara berkembang maupun di sejumlah provinsi di Indonesia membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selalu identik dengan penurunan kemiskinan. Mari kita bandingkan kinerja makro Sumatera Barat dengan beberapa provinsi terkemuka di Pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Timur, dan Banten), dua provinsi hebat di Pulau Sumatera (Sumatera Selatan dan Sumatera Utara), serta satu provinsi maju di kawasan timur (Sulawesi Selatan).

Hasilnya cukup kontras. Ada provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi angka kemiskinannya masih besar. Sebaliknya, ada daerah dengan pertumbuhan relatif rendah namun kemiskinan lebih terkendali. Fakta ini menegaskan bahwa kualitas pertumbuhan jauh lebih penting dibanding sekadar tingginya angka pertumbuhan. 

Contohnya, Jawa Timur mencatat pertumbuhan 4,93% pada 2024, dengan struktur ekonomi sangat bergantung pada industri pengolahan padat modal yang menyumbang lebih dari 30% PDRB-nya. Namun, angka kemiskinan 2025 tercatat oleh BPS masih 9,50 persen. dengan Gini Ratio 0,369.

Hal yang sama terjadi di Jawa Barat, pertumbuhan 4,95 persen tetapi kemiskinan 7,08 persen dan Gini Ratio 0,430 merupakan tertinggi dibanding provinsi lain dalam kajian ini. Banten pun menghadirkan gambaran serupa dengan pertumbuhan 4,79 persen dan PDRB per kapita Rp 70,28 juta, tetapi kemiskinan masih 5,63 persen, lebih tinggi dari Sumatera Barat. Ini menunjukkan bahwa industri padat modal cenderung hanya menguntungkan kelompok tertentu tanpa menciptakan pemerataan.

Di Sumatera Selatan dan Sumatera Utara, kondisi tak jauh berbeda. Kedua provinsi ini masih mengandalkan perkebunan skala besar, pertambangan, danindustri ekstraktif yang padat modal. Hasilnya, pertumbuhan tinggi (5,03 persen) tidak sejalan dengan penurunan kemiskinan. Sumsel mencatat angka kemiskinan 10,51 persen dengan Gini Ratio 0,331, sementara Sumut 7,36 persen dengan Gini Ratio 0,295. Pertumbuhan berbasis komoditas memang mengerek pertumbuhan ekonomi, tetapi karena padat modal dan dimiliki hanya kelompok tertentu sehingga kurang mampu menciptakan manfaat luas bagi masyarakat miskin.

Sulawesi Selatan memperlihatkan kasus berbeda. Pertumbuhannya cukup tinggi (5,02 persen) dengan kontribusi besar dari pertanian, perikanan, dan jasa. Namun, kemiskinan masih 7,60 persen dengan Gini Ratio 0,363. Meski sektor pertanian padat karya, rendahnya produktivitas dan terbatasnya akses pasar membuat dampaknya terhadap pengurangan kemiskinan belum signifikan.

Contoh terdekat pernah terjadi pada salah satu Kota di Sumatera Barat yaitu Kota Tambang Sawahlunto sebelum era tahun 2000-an di mana gemerlap pertambangan BUMN yang padat modal, saat itu menggerek pertumbuhan ekonomi kota tersebut melebihi 6 persen, namun tingkat kemiskinan nomor dua tertinggi di Sumatera Barat yang berada di atas 10 persen.

Bandingkan dengan Sawahlunto saat ini, BUMN tersebut telah meredup digantikan oleh banyak perusahaan tambang yang dimiliki oleh penduduk lokal dengan pola padat karya dan menggeliatnya kegiatan pariwisata yang dikelola langsung oleh pemerintah dan masyarakatnya, sehingga tingkat kemiskinannya dalam 15 tahun terakhir menurun dengan tajam dan saat ini merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan nomor dua terendah di Indonesia di bawah 2,5 persen. 

Sebaliknya, Sumatera Barat saat ini memberikan bukti nyata bahwa pertumbuhan yang tidak terlalu tinggi sekalipun dapat lebih efektif menekan kemiskinan bila ditopang struktur ekonomi yang inklusif. Pertumbuhan Sumbar 4,36 persen pada 2024, meningkat ke 4,66 persen pada triwulan I 2025, lalu turun ke 3,94 persen pada triwulan II 2025. PDRB per-kapita hanya Rp 57,04 juta. Namun tingkat kemiskinan Sumbar dari data BPS justru paling rendah (5,35 persen) dengan Gini Ratio 0,282 terendah di antara semua provinsi pembanding.

Keberhasilan ini ditopang struktur ekonomi Sumbar yang masih kuat pada sektor pertanian (22 persen PDRB), perdagangan menengah dan kecil, transportasi, akomodasi, dan UMKM berpola padat karya. Sektor-sektor ini terbukti mampu menciptakan lapangan kerja luas bagi masyarakat menengah ke bawah. Walaupun laju pertumbuhan tidak setinggi provinsi lain, manfaatnya lebih merata dan langsung dirasakan rumah tangga miskin maupun rentan.

Dari gambaran tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi yang menentukan bukanlah seberapa tinggi angkanya, melainkan seberapa inklusif dampaknya. Pertumbuhan yang bertumpu pada industri besar dan ekstraktif yang padat modal cenderung memperlebar ketimpangan, sementara pertumbuhan berbasis sektor padat karya seperti pertanian, perdagangan menengah dan kecil serta UMKM lebih efektif menekan kemiskinan serta menjaga pemerataan.

Arah Strategi Sumatera Barat

Untuk meningkatkan pertumbuhan sekaligus menjaga inklusivitas, Sumatera Barat perlu menempuh strategi pembangunan berikut:

Pertama sektor pertanian dan pangan, kebijakan Alokasi anggaran minimal 10 persen harus difokuskan pada peningkatan produktivitas, diversifikasi komoditas unggulan, dan pengembangan agroindustri lokal. Petani perlu didorong tidak hanya menjual hasil mentah, tetapi juga mendapat nilai tambah dari hilirisasi. Akses teknologi, pupuk, pembiayaan, serta pasar digital harus diperluas.

Kedua sektor UMKM dan ekonomi kreatif, Program Nagari Creative Hub perlu diperkuat sebagai motor ekonomi rakyat. Dukungan berupa akses modal, pelatihan manajemen, sertifikasi halal dan mutu, hingga integrasi digital akan memperkuat daya saing UMKM. Industri kreatif berbasis budaya Minangkabau, kuliner, kerajinan, dan jasa bisa menjadi keunggulan khas Sumbar.

Ketiga pariwisata inklusif. Potensi wisata berbasis budaya dan alam (geopark, wisata halal, desa wisata) harus dikembangkan dengan melibatkan masyarakat lokal. Sektor ini bisa menciptakan rantai lapangan kerja dari transportasi, akomodasi, hingga produk kreatif seperti kerajinan dan atraksi budaya.

Keempat pendidikan dan kesehatan. Sumbar dikenal sebagai lumbung SDM unggul. Dengan memperkuat peran sebagai pusat pendidikan dan kesehatan regional, Sumbar berpeluang menarik mahasiswa, tenaga ahli, hingga wisatawan medis dari provinsi sekitar.

Kelima kebijakan pro-rakyat dan tata kelola, perlindungan sosial, dukungan perantau, akses pembiayaan inklusif, serta infrastruktur dasar (Jalan Usaha Tani, irigasi, internet) harus diperluas hingga ke daerah terpencil. Digitalisasi layanan publik dan tata kelola transparan akan memperkuat kepercayaan masyarakat.

Dengan strategi tersebut, Sumatera Barat berpeluang mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi tanpa kehilangan prinsip inklusivitas. Pertumbuhan yang berkualitas, berpihak pada masyarakat kecil, menciptakan lapangan kerja luas, dan meratakan manfaat pembangunan akan memastikan bahwa penurunan kemiskinan benar-benar dirasakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Medi Iswandi adalah Mahasiwa Program Doktor FEB Universitas Andalas

Baca Juga

Mencermati analisis Statistik Pendidikan Indonesia yang diluncurkan Badan Pusat Statistik pada 2023 lalu, terutama jenjang perguruan tinggi.
Membaca Ulang Hubungan Teater dengan penontonnya: Catatan Festival Teater Sumatra Barat 2025
110 Siswa Keracunan MBG di Kabupaten Agam, Pemkab Tetapkan KLB dan SPPG Ditutup Sementara
110 Siswa Keracunan MBG di Kabupaten Agam, Pemkab Tetapkan KLB dan SPPG Ditutup Sementara
54 Siswa SD di Kabupaten Agam Diduga Keracunan MBG
54 Siswa SD di Kabupaten Agam Diduga Keracunan MBG
Berita Padang - berita Sumbar terbaru dan terkini hari ini: Para pedagang toko Pasar Raya Padang mengaku usaha mereka dibunuh Perwako 438.
Pemprov Sumbar Umbar Capaian Ekonomi, Pengamat: Jangan Silau dengan Angka-angka
Banjir yang melanda satu kecamatan di Kabupaten Solok Agustus tahun lalu.
Peringatan Dini Cuaca Ekstrem, Pemprov Sumbar Tetapkan Status Siaga Darurat
Imigrasi Kelas I Agam tengah menunggu dokumen pemulangan warga negara asing Nur Amira dari Kantor Perwakilan Malaysia di Medan Sumatra Utara.
Imigrasi Agam Tunggu Dokumen Pemulangan Nur Amira ke Malaysia