Sebagai provinsi yang terletak di sepanjang pesisir barat Pulau Sumatera, dengan luas 42.012,89 km2, Sumatera Barat memiliki tatanan geologi kompleks karena berada di daerah tumbukan dua lempeng tektonik besar yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan dan lempeng Eurasia di bagian utara. Posisi ini menyebabkan munculnya gejala tektonik yaitu rangkaian pegunungan Bukit Barisan beserta gunung api dan sesar/patahan besar Sumatera yang memanjang searah dengan zona tumbukan kedua lempeng serta rawan bencana gempa. (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2023)
Berdasarkan Peta Indek Risiko Bencana Tingkat Provinsi pada Buku Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2024, maka Provinsi Sumatera Barat pada saat ini berada pada kelas risiko sedang dengan nilai 142,55 dan memiliki ancaman bencana gempa bumi, tsunami, gunung api, banjir, tanah longsor, kekeringan, cuaca ekstrim, gelombang ekstrim, abrasi, serta kebakaran hutan dan lahan.
Nilai Indeks Risiko Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2024, memperlihatkan delapan daerah masuk dalam kategori resiko bencana tinggi dan 11 daerah kota dan kabupaten masuk dalam kategori sedang. Hal ini yang juga menjadi perhatian adalah tidak ada daerah di Sumatera Barat yang masuk dalam kategori rendah.
Meskipun telah ada upaya penanggulangan bencana di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, koordinasi dan kecepatan respons di fase awal bencana masih menjadi tantangan. Keterlambatan dalam pengiriman bantuan, evakuasi, dan penilaian dampak awal dapat memperburuk situasi dan meningkatkan risiko korban. Oleh karena itu, diperlukan sebuah mekanisme respons yang lebih terstruktur, terkoordinasi, dan cepat di tingkat provinsi untuk memastikan penanganan bencana yang efektif dan efisien.
Pada saat ini, pada beberapa kondisi, respons awal terhadap bencana di Sumatera Barat kadang kala menghadapi beberapa permasalahan. Antara lain, pertama, koordinasi antar lembaga masih terpecah dan belum menyatu dalam satu sistem yang terstruktur. Penanganan bencana masih sering bersifat sektoral dan kurang terintegrasi antar lembaga atau dinas terkait di tingkat provinsi.
Kedua, respons taktis belum maksimal karena keterbatasan jumlah dan kesiapan personel. Ketersediaan personel dan peralatan yang siap bergerak cepat dalam hitungan jam setelah kejadian bencana masih terbatas dan belum terorganisir dalam satu unit khusus.
Ketiga, informasi yang dihasilkan oleh masing-masing pihak tidak konsisten satu sama lain. Pengumpulan dan penyebaran informasi awal bencana seringkali tidak terpusat, menyebabkan kesulitan dalam pengambilan keputusan yang cepat dan tepat.
Keempat, divergensi kompetensi struktural dalam ekosistem kolaboratif. Kapasitas penanggulangan bencana antar kabupaten/kota di Sumatera Barat tidak merata, sehingga daerah yang memiliki kapasitas terbatas akan sangat kesulitan saat bencana terjadi.
Tulisan ini bertujuan untuk merekomendasikan pembentukan Tim Reaksi Cepat (TRC) Penanggulangan Bencana Tingkat Provinsi Pentahelix di Sumatera Barat. Pentahelix artinya melibatkan berbagai komponen bangsa sejak dari pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat dan media.
TRC ini perlu dibentuk dengan tujuan, pertama, membangun mekanisme koordinasi kelembagaan yang terintegrasi guna mengurangi fragmentasi tata kelola, memperkuat efektivitas komunikasi lintas sektor, serta memastikan harmonisasi tindakan dalam setiap tahapan penanggulangan bencana.
Kedua, memperkuat kapasitas elemen taktis dengan sistem mobilisasi cepat dan dukungan logistik berkecepatan tinggi, guna memastikan respons yang efektif dan tepat waktu dalam menghadapi situasi krisis serta meminimalkan dampak pada fase golden hour.
Ketiga, membentuk sistem integrasi lintas entitas yang seragam, guna meningkatkan akurasi, konsistensi, dan sinkronisasi output informasi, serta memperkuat kohesi strategi komunikasi antar pemangku kepentingan dalam siklus penanggulangan bencana.
Keempat, menyelaraskan kapasitas struktural antar entitas dalam ekosistem kolaboratif melalui standar pelatihan terpadu, serta penguatan peran kelembagaan, guna meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan bersama dalam konteks penanggulangan bencana.
Untuk mencapai tujuan tersebut, direkomendasikan pembentukan Tim Reaksi Cepat (TRC) Provinsi di bawah koordinasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumatera Barat. Tim ini harus terdiri dari perwakilan lintas sektor (misalnya, kesehatan, PUPR, sosial, TNI/Polri, relawan terlatih) dengan dukungan akademisi, sektor usaha, komunitas, dan masyarakat serta media dengan penunjukan yang jelas.
TRC ini memiliki mandat untuk melakukan penilaian cepat kebutuhan (Rapid Needs Assessment), evakuasi awal, pertolongan pertama, dan koordinasi bantuan darurat dalam 24-72 jam pertama setelah bencana.
Anggota TRC harus merupakan personel terlatih dan profesional dengan keahlian khusus dalam penanggulangan bencana, termasuk pencarian dan penyelamatan (SAR), pertolongan medis darurat, logistik, dan komunikasi.
TRC harus menjalani pelatihan rutin dan simulasi bencana secara berkala untuk menjaga kesiapan dan meningkatkan keterampilan. Alokasi anggaran untuk pengadaan dan pemeliharaan peralatan standar TRC (misalnya, alat komunikasi satelit, perahu karet, peralatan SAR, tenda darurat, kendaraan operasional tangguh). Pembentukan gudang logistik provinsi yang strategis untuk menyimpan bantuan darurat yang siap didistribusikan.
Untuk sistem komando dan komunikasi, perlu penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas untuk aktivasi, mobilisasi, dan operasi TRC, termasuk alur pelaporan dan pengambilan keputusan.
Pembentukan pusat komando operasi (Pusdalops) yang berfungsi 24/7 dengan sistem komunikasi terintegrasi yang dapat diakses oleh TRC dan pihak terkait.
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat tentu harus mengalokasikan anggaran khusus yang memadai dan berkelanjutan untuk pembentukan, operasional, dan pemeliharaan TRC. Untuk itu, perlu penerbitan Surat Keputusan Gubernur yang menguatkan keberadaan dan fungsi TRC sebagai bagian integral dari sistem penanggulangan bencana provinsi.
Pembentukan TRC Provinsi Sumatera Barat akan memberikan manfaat signifikan, antara lain, pertama, mempercepat waktu respons awal bencana, yang krusial dalam menyelamatkan nyawa dan mengurangi dampak awal. Kedua, meningkatkan efisiensi koordinasi antar lembaga, menghindari duplikasi upaya, dan memastikan bantuan tepat sasaran.
Ketiga, mengurangi risiko korban jiwa dan kerugian ekonomi akibat penanganan yang terlambat atau tidak terkoordinasi. Keempat, meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah daerah dalam menanggulangi bencana.
Mengingat tingginya ancaman bencana di Sumatera Barat, pembentukan Tim Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana Tingkat Provinsi adalah sebuah keharusan yang mendesak. Investasi dalam tim ini bukan hanya tentang kesiapan menghadapi bencana, tetapi juga tentang perlindungan jiwa dan aset masyarakat. Dengan dukungan politik, alokasi anggaran yang memadai, dan komitmen semua pihak, TRC akan menjadi pilar penting untuk mewujudkan Sumatera Barat yang tangguh bencana sesuai dengan RPJM Sumatera Barat 2025-2029. (*)
Armizoprades, ST. MT, Sekretaris BPBD Provinsi Sumatera Barat







