Ketika Anda berada di lapangan bola, coba layangkan pandangan Anda ke sekeliling lapangan itu. Yang terlihat bukan saja rumput hijau tapi juga kertas-kertas dan botol air mineral yang berserakan. Hal yang sama juga tampak di lapak-lapak yang menjual makanan di sepanjang Jalan Permindo Pasar Raya di sore hari, mata Anda dengan mudah melihat tisu yang berserakan sekitar kursi dan meja di saat pelanggan tengah menyantap hidangan.
Lebih miris lagi, ketika mengendarai motor saya menemukan tumpukan sampah di sebuah sekolah menengah di kota Padang, tiap hari tanpa ada yang memungutnya. Padahal tak jauh dari tempat itu berderet banyak mobil guru yang sedang parkir.
Hemat saya, tempat yang relatif bersih untuk sebuah kawasan bisnis dan perdagangan di kota Padang adalah kawasan Pondok. Para pemilik toko di sana menaruh sampah ke dalam karung atau kantong plastik berbahan kuat, bukan sekadar kantong kresek yang gampang dirobek oleh hewan seperti anjing dan burung.
Manajemen pengelolaan sampah di kota Padang dan lemahnya kesadaran warga untuk membuang sampah pada tempatnya menyumbang bagi ‘jauhnya panggang dari api’ untuk menjadikan kota Padang betul-betul bersih. Hal yang sama juga dihadapi banyak kota di Tanah Air, seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan lain-lain.
Tapi pada saat yang sama di berbagai kota di dunia bahkan dengan jumlah populasi yang lebih besar nyatanya mampu mengatasi persoalan sampah setelah mengalami berbagai ‘trial and error’, seperti Tokyo, Melbourne, London, Dubai dan Singapura.
Sudah waktunya kota Padang melakukan transformasi yang serius untuk menciptakan Padang kota bersih. Ini bisa dimulai dengan pengelolaan sampah secara revolusioner, bukan lagi berbau sloganistik atau terjebak dengan cara-cara lama.
Berkaca dari pengalaman kota-kota besar dunia yang berhasil mengatasi persoalan sampah, maka perubahan pengelolaan sampah secara revolusioner menghajatkan tiga hal yang dilakukan secara serempak sebagai berikut.
Pertama, perubahan gaya hidup. Rumah tangga adalah tempat pertama produsen sampah. Semuanya berawal di sini. Perubahan gaya hidup dan pendekatan terhadap sampah bisa dimulai dengan mensortir jenis sampah dengan memisahkan sampah basah dari sampah kering yang bisa didaur ulang (botol minuman, kertas atau kaca).
Upaya pemisahan jenis sampah ini punya benefit yang luar biasa, baik untuk lingkungan (mengurangi sampah plastik), meringankan kerja petugas pemungut sampah (kering-basah) dan memudahkan proses daur ulang.
Pemisahan sampah ini adalah keniscayaan dan sudah diterapkan di banyak kota di dunia. Di Clayton, tempat saya berdomisili di negara bagian Victoria, Australia, ada tiga tong sampah di setiap rumah, yakni untuk sampah basah, sampah daur ulang dan sampah hijau (rumput atau tumbuhan).
Untuk sampah basah diambil sekali seminggu, sementara untuk sampah daur ulang dan sampah hijau dipungut sekali lima belas hari. Pada jadwal yang telah ditentukan, tong sampah tersebut ditaruh di pinggir jalan untuk dipungut oleh truk sampah dengan tangan robot.
Kedua, penegakan regulasi. Dalam konteks ini, sebetulnya kota Padang sudah punya aturan yang jelas, misalnya denda atau hukuman buang sampah sembarangan. Mengacu pada Pasal 63 Perda Kota Padang No.21 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah, Warga Kota Padang yang kedapatan membuang sampah sembarangan bisa kena hukuman kurungan paling lama tiga bulan atau denda 5 juta Rupiah
Masalahnya, eksekusinya bisa dikatakan hampa. Patroli atas pelanggaran ini juga tidak dilakukan, atau sangat jarang. Regulasi di atas kertas atau di plang hanya sekadar himbauan yang nihil taring. Warga lanteh angan membuang sampah sembarangan sebab konsekunesi hukumnya tidak tampak.
Di Singapura buang sampah tidak pada tempatnya tidak hanya didenda mahal, dibui tapi juga bisa kena hukum cambuk. Di Brunei individu yang melakukan dumping (buang sampah bukan pada tempatnya) bisa didenda 1000 s/d 3000 ringgit Brunei (11 s/d 34 juta Rupiah).
Di Australia, denda membuang sampah sembarangan bisa mencapai AUD 5000 (51 juta Rupiah). Di jalan-jalan bebas hambatan di Australia sering ditemukan papan peringatan No Littering (Dilarang Membuang Sampah) beserta nomor telepon yang bisa dihubungi guna melaporkan pengemudi yang membuang sampah di sepanjang jalan.
Saya juga sering menyaksikan polisi di Australia melingkari tumpukan sampah dengan garis kuning yang berasal dari penghuni yang pindah rumah. Menumpuk barang-barang di pinggir jalan adalah ilegal. Ketika akan rekolasi ke rumah baru, saya harus menelpon dinas sampah untuk memungut barang-barang yang tidak bisa digunakan. Untuk jasa ini saya harus membayar AUD 150 (1.5 juta Rupiah).
Kita tak diperkenankan membuang sampah keras (hard waste) di pinggir jalan, kecuali pada waktu-waktu tertentu yang memang dibolehkan. Di negara bagian Victoria, pemerintah memberikan kesempatan dua kali setahun untuk membuang sampah keras (kursi, kasur, meja, dsb) dengan cara meletakkannya di pinggir jalan. Truk akan memungut barang-barang tersebut secara gratis.
Di luar waktu itu, kita harus membayar.
Ketiga, penggunaan teknologi. Mau tak mau, kebutuhan teknologi untuk mengelola sampah sudah menjadi kebutuhan mendesak. Kita tak bisa mengandalkan tenaga manusia semuanya untuk menjaga kebersihan. Ada kebutuhan terhadap teknologi untuk efektivitas dan efisiensi kerja.
Hemat saya, kota Padang sudah saatnya memiliki truk penyapu jalan (street sweeper) yang besar dan truk pemungut sampah dengan tangan robot (rubbish truck). Keberadaan truk penyapu jalan bisa mencakup daerah-daerah yang lebih luas.
Untuk tahap awal bisa diterapkan pada jalan-jalan protokol lalu daerah-daerah di pinggir kota. Truk ini bekerja membersihkan dan menyapu jalanan. Sementara truk pemungut sampah bertangan robot diperlukan agar proses pemungutan sampah bisa berlangsung lebih cepat.
Tak perlu tenaga manusia mengambil sampah kemudian dipindahkan ke bak truk seperti cara-cara konvensional.
Operasi truk sampah bertangan robot ini membutuhkan infrastruktur yang memadai. Sebagai misal, ia hanya bisa mengangkat tong sampah dengan standar tertentu. Karenanya, untuk tahap awal operasionalisasi truk ini bisa di terapkan di kantor-kantor pemerintahan atau kawasan perumahan yang punya jalan lebar.
Pemko perlu bekerja sama dengan pihak swasta untuk menyiapkan sarana tong sampah dengan standar yang dibutuhkan sebelum truk ini bisa menjangkau banyak kawasan di kota Padang.
Sebagai garda terdepan dan kota terbesar di Sumatera Barat, Pemko Padang harus mulai bergerak ke arah ini, termasuk menyiapkan anggarannya secara multi years. Kita sudah ketinggalan lima puluh tahun untuk manajemen pemungutan sampah. Amerika Serikat sudah memulainya sejak 1960-an.
Tidak ada dana bukan lagi alasan yang logis. Semuanya tergantung kemauan politik (political will) Pemko dan DPRD kota Padang guna menyulap kota ini bersih, untuk tidak mengatakan bebas sampah.
*Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas