Tiku dan Singapura

Tiku dan Singapura

Dok. Arfi Bambani

Langgam.id - Ini saya, anak saya Gie, dan Ryzky. Kami sedang makan siang di kantin asrama kampus saya, National University of Singapore.

Ryzky adalah adik teman akrab saya sejak keci, Yudhi Rahim. Rumah toko kami dulu berhadap-hadapan, persis menjelang masuk Pasar Tiku. Jadi kami bermain bersama sejak kecil, bahkan mungkin masih bayi. Bersepeda. Berkemah. Dan jangan lupa, berkelahi, seperti anak kecil umumnya.

Ryzky baru lahir ketika saya mungkin kelas 3 SD. Jadi cuma tahu dia sebagai adiknya Yudhi. Belakangan, Ryzky juga sekolah di SD yang sama seperti saya dan kakak-kakaknya.

Jadi saya sealmamater SD dengan Ryzky. Saya menceritakan itu ke anak saya, biar menjadi motivasi baginya bahwa meski lulusan SD di kampung, kariernya bisa internasional jika mau belajar dan bekerja keras.

Ryzky beradik-kakak berotak encer. Kakaknya balap-balapan ranking di kelas dengan saya. Setelah Ryzky lulus sekolah menengah di SMA 1 Lubuk Sikaping yang merupakan sekolah "unggulan", dia lanjut kuliah ke Universitas Indonesia.

Dan kemudian dapat beasiswa LPDP kuliah master ke Inggris. Mungkin Ryzky ini orang Tiku pertama kuliah di Inggris.

Kini Ryzky bekerja di Singapura. Saat saya ke Washington DC tahun 2019 lalu, Ryzky juga lagi dikirim kantornya ke sebuah kota kecil di seberang Washington DC. Sempat berkomunikasi untuk rencana bertemu, namun kami gagal melakukannya.

Dan barulah saat saya diterima kuliah di Singapura, Ryzky salah satu yang segera saya hubungi. Anak muda masih melajang ini beberapa kali membantu saya dan Gie membelikan sejumlah keperluan saat kami dikarantina sehingga tak boleh keluar dari hotel.

Ketika keluar dari karantina, Ryzky langsung menjemput kami. Perawakannya kini tinggi besar dan berkulit terang. Raut muka dan perawakannya mengingatkan saya pada almarhum ayahnya, seorang bapak yang tenang dan pekerja keras.

Ryzky membantu saya dan Gie agar bisa menetap di asrama kampus dengan nyaman. Dia menemani kami belanja beberapa keperluan dasar untuk menetap. Bertahun-tahun di Singapura, membuatnya sangat biasa dengan energi orang-orang Singapura yang ligat dan efisien saat membantu kami.

Entreport

Tak banyak orang mengenal Tiku termasuk orang Sumatera Barat sekalipun. Ketika berkenalan dengan calon istri, orang Minang yang lahir dan besar di Kota Padang, dia tak tahu di mana itu Tiku.

Memang tidak banyak juga orang terkenal yang berasal dari Tiku. Hanya dua yang saya tahu terkenal secara nasional, Elly Kasim yang penyanyi, dan Wiliardi Wizar, petinggi polisi yang terlibat dalam kasus yang menjerat Antasari Azhar, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi saat itu.

Tiku lebih terkenal dalam pembicaraan sejarah. Namanya disebut dalam tambo Minangkabau dan beberapa literatur sejarah sebagai entreport orang asing yang datang ke Minangkabau.

Saat saya berkunjung ke Museum Jim Thompson di Bangkok, saya menemukan sebuah pajangan peta kuno bertarikh sebuah tahun di abad 16. Peta ini menjejerkan semenanjung Malaysia dan Pulau Sumatera. Saya langsung menyigi pesisir barat Sumatera. Ada nama “Ticco” di sana.

Posisinya persis di mana Tiku sekarang berada. Mungkin ditulis “Ticco” karena peta dibuat seorang berkebangsaan Prancis.

Dari buku “Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera” yang ditulis Gusti Asnan, saya membayangkan Tiku sebagai sebuah kota pelabuhan di mana orang-orang asing datang, berdagang, kawin-mawin, dan menetap. Salah satunya adalah kakek dari ibu saya.

Pedagang Arab ini berlayar dari Yaman lalu tiba di Tiku dan menikahi nenek ibu saya yang lalu melahirkan kakek saya. Kakek ini menikahi seorang perempuan bersuku Tanjung yang menurut tambonya berasal dari Maninjau. Perempuan itu adalah ibu dari ibu saya.

Tiku juga dulu dihuni suku Tionghoa. Ibu saya pernah bercerita, rumah toko yang kami huni dulunya didirikan orang Tionghoa sehingga model bangunannya memang dipengaruhi gaya rumah-rumah toko China.

Menurut Gusti Asnan, warga Tionghoa ini yang merajut perdagangan antara pesisir barat Sumatera dengan Selat Malaka (mungkin Singapura termasuk dalam jejaring ini). Mereka membawa garam dan ikan dari pesisir barat ke selat Malaka, lalu sebaliknya mereka mendatangkan barang-barang impor dari India atau Barat ke pesisir barat.

Konon di awal abad 20, orang-orang Tionghoa ini pergi meninggalkan Tiku dan Pariaman karena sebuah huru-hara, meninggalkan harta benda mereka begitu saja termasuk rumah atau toko.

Lapek Koci dan Kueh Koci

Sebagai kota nelayan dan kota pelabuhan yang juga didatangi banyak pendatang, Tiku memiliki keunikan-keunikan yang mungkin tak ditemui di tempat lain. Ada beberapa makanan yang unik, yang tak dijumpai di tempat lain, sehingga kadang membuat saya dalam posisi yang aneh saat membicarakan makanan ketika bersama-sama dengan orang Minang lainnya.

Di Tiku, kami membedakan antara ketupat dan lontong. Perbedaaanya bukan sekadar penampakan di mana ketupat dibuat persegi empat dengan janur, sementara lontong dengan bentuk lonjong atau hanya di talam.

Lebih dari itu. Ketupat di Tiku adalah ketupat beras yang dimasak dengan santan kelapa dan memakannya dengan gulai jalang (gulai bening) misal gulai asam padeh ikan jalang atau sup ikan.

Sementara lontong adalah yang dikenal sebagai lontong sayur di tempat-tempat lain. Orang Tiku tidak akan menyebut lontong sayur sebagai ketupat sayur, karena berbeda. Dan saya belum pernah menemukan ketupat seperti di Tiku ini di tempat lain.

Tiku juga memiliki bubur nasi. Biasanya dijual orang di pagi hari, dibungkus dengan daun berbentuk kerucut. Iya, bubur nasi dibungkus daun. Untuk memakannya, daun dibuka di atas piring atau mangkok, lalu disiram dengan –lagi-lagi—gulai jalang seperti halnya ketupat yang saya sebut di atas.

Ibu saya juga biasa membuatkan bubur seperti ini ketika saya demam atau sakit.

Dulu saya berpikir, bubur semacam ini ada di mana-mana di Sumatera Barat. Ternyata saya salah. Seorang teman yang berasal dari Bukittinggi mengaku baru makan bubur saat berkuliah di Bandung; makan bubur ayam. “Seperti makan tahi kucing,” katanya yang membuat saya tergelak.

Dan dia berkata, orang Minang tak biasa makan bubur. Tentu saja saya jawab, tidak. Saya biasa makan bubur dari kecil, kata saya lalu menceritakan bubur dari Tiku ini.

Dan ketika sudah bekerja di Jakarta dan sering bepergian ke seluruh Indonesia, saya akhirnya menemukan bubur yang mirip bubur Tiku ini di Pontianak. Bubur ikan Pontianak. Bubur ini adalah warisan orang-orang Tionghoa di Kalimantan Barat.

Namun makanan yang benar-benar menautkan Tiku dan Singapura adalah lapek koci atau di Singapura disebut Kueh Koci. Lapek koci adalah lapek berbahan beras ketan dengan isi gula jawa atau kelapa parut, lalu dikemas dengan daun pisang berbentuk kerucut.

Selain di Tiku dan Pariaman, Anda juga bisa menemukan lapek koci di Singapura. Mungkin orang Tionghoa tak ada lagi di Tiku, tak seperti halnya di Singapura, namun warisan budayanya terekam dalam makanan berbentuk bubur (ikan) dan lapek koci.

[1] Arfi Bambani Amri adalah Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen 2014-2017. Kini menetap di Singapura sembari menyelesaikan kuliah Master in Public Administration di Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore.

Baca Juga

Ragam Kuliner di Padang, Pj Wako Resmikan Outlet Dapur Solo
Ragam Kuliner di Padang, Pj Wako Resmikan Outlet Dapur Solo
Dalam pembukaan Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) Sumatra Barat 2024, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Sumatra Barat, Undri,
Menggali "Deposit Budaya": Kekayaan Tak Ternilai di Sumatra Barat
SURI Pamerankan "Batik Sunyi" Bermotif Iluminasi Manuskrip Minangkabau Karya Teman Tuli
SURI Pamerankan "Batik Sunyi" Bermotif Iluminasi Manuskrip Minangkabau Karya Teman Tuli
Pemutaran Film Warisan Budaya Mengakhiri Galanggang Arang Pamenan Anak 2024
Pemutaran Film Warisan Budaya Mengakhiri Galanggang Arang Pamenan Anak 2024
Pondok Goreng Baluik Payakumbuh Resmi Hadir di Bypass Batipuah Panjang
Pondok Goreng Baluik Payakumbuh Resmi Hadir di Bypass Batipuah Panjang
Ludes Hanya Dua Jam, Pengunjung Berburu Serbu Nakerin
Ludes Hanya Dua Jam, Pengunjung Berburu Serbu Nakerin