Langgam.id– Pedagang di Pasar Raya Padang menjerit akibat sepi pengunjung yang telah berlangsung sejak setahun terakhir. Kondisi ini, yang diperparah oleh kenaikan harga kebutuhan pokok, membuat omzet penjualan anjlok drastis, bahkan ada yang mengalami penurunan hingga 70 persen dari rata-rata normal.
Salah satu pedagang, Aldo (22), membeberkan penurunan omzet yang dialaminya. Pedagang beras ini kini hanya mampu meraih pemasukan Rp3,8 juta per bulan, jauh berbeda dari angka normalnya yang mencapai Rp7 juta hingga Rp13 juta.
"Penurunan jual beli sudah terasa sejak bulan Mei. Penyebabnya memang ekonomi lagi sulit, dan pasar sepi juga salah satu penyebabnya," ujar Aldo, Rabu (8/10/2025).
Menurut Aldo, harga beras sempat sedikit melandai dari sebelumnya paling rendah Rp150.000 menjadi Rp145.000 per karung, namun penurunan harga tersebut tidak serta merta mendongkrak daya beli masyarakat.
Keluhan serupa disampaikan Eka (37), pedagang lain di Pasar Raya. Ia menyebut masalah penurunan daya beli sudah merosot tajam semenjak setahun terakhir.
"Ekonomi menurun, pasar sepi saat ini kuncinya pada ekonomi. Kalau ekonomi naik, pasar juga akan ramai," ujar Eka.
Dampak Kenaikan Harga Sembako
Selain sepinya pengunjung, kenaikan harga bahan pokok menjelang akhir tahun semakin memukul daya beli masyarakat dan menekan omzet pedagang.
Devi (48), pedagang telur, mengonfirmasi kenaikan harga telur yang dipicu oleh permintaan dari luar daerah.
"Untuk telur, tiga hari ini baru naik. Menjelang akhir tahun biasanya memang ada kenaikan. Yang biasanya harganya Rp48.000, sekarang sudah menjadi Rp52.000," ungkap Devi.
Dampak kenaikan ini juga dirasakan oleh pembeli, seperti Eni (61), yang mengeluhkan bahwa uang Rp100.000 kini tidak lagi cukup untuk belanja kebutuhan pokok.
"Biasanya Rp50.000 sudah cukup, tapi sekarang Rp100.000 saja tidak cukup. Cabai saja 1 kg Rp80.000, belum minyak, ikan, bawang yang harus dibeli, semuanya mahal," tambah Eni.
Pembeli lain, Bahar (68), merasa kesulitan membeli sembako karena pemasukan ekonomi yang susah, kondisi yang disebutnya sudah berlangsung selama tiga bulan terakhir.
Sementara itu, pedagang juga harus memutar otak untuk bertahan. Eka (37) mengatakan terpaksa mengurangi pengeluaran pribadinya.
"Karena saya juga pedagang, biasanya belanja Rp2 juta. Jadi jika jual beli saya hanya untung sedikit, maka pengeluaran juga harus diakal," tutup Eka.
Adapun, laju inflasi tahunan (year-on-year/yoy) Provinsi Sumatera Barat pada September 2025 tercatat sebesar 4,22 persen, didorong utamanya oleh kenaikan harga komoditas pangan, khususnya cabai merah yang memberikan andil tertinggi terhadap inflasi.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Barat, Sugeng Arianto, menyampaikan bahwa inflasi ini disebabkan oleh lonjakan harga yang terjadi pada sejumlah komoditas bahan makanan, di antaranya cabai merah, bawang merah, dan daging ayam ras.
"Cabai merah menjadi komoditas dengan kontribusi terbesar terhadap inflasi tahun ke tahun pada September 2025, yakni sebesar 1,30 persen. Kenaikan harga dipicu oleh faktor pasokan dan cuaca yang kurang mendukung," ujar Sugeng, Rabu (1/10/2025) lalu.
Indeks Harga Konsumen (IHK) Sumatera Barat pada bulan tersebut tercatat sebesar 110,60, naik dari 106,12 pada September tahun sebelumnya. Secara bulanan (month-to-month), Sumatera Barat mengalami inflasi sebesar 0,85 persen, sedangkan inflasi tahun kalender (year-to-date) mencapai 3,46 persen.
Sugeng menjelaskan, inflasi tertinggi terjadi di Kabupaten Pasaman Barat dengan capaian 6,38 persen, sementara inflasi terendah tercatat di Kota Padang sebesar 3,52 persen. Adapun dua wilayah lainnya, yakni Kabupaten Dharmasraya dan Kota Bukittinggi, masing-masing mengalami inflasi sebesar 4,61 persen dan 4,40 persen.
Dari sisi pengeluaran, kelompok makanan, minuman, dan tembakau mencatatkan inflasi tertinggi secara tahunan, yakni sebesar 8,14 persen, dengan andil sebesar 2,66 persen terhadap inflasi umum. Selain cabai merah, komoditas lain yang memberikan tekanan inflasi signifikan antara lain bawang merah (0,29 persen), emas perhiasan (0,51 persen), sigaret kretek mesin (0,20 persen), minyak goreng, dan daging ayam ras.
Guna menjaga stabilitas harga pangan dan daya beli masyarakat, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Sumatera Barat mendorong intensifikasi Gerakan Pasar Murah (GPM) di seluruh kabupaten dan kota. Langkah ini menjadi salah satu upaya strategis dalam mengendalikan inflasi daerah yang pada September 2025 tercatat sebesar 0,85 persen (mtm), dipicu oleh lonjakan harga sejumlah komoditas pangan, terutama cabai merah.
Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Barat Andy Biwado, menjelaskan bahwa inflasi bulan September sebagian besar disumbang oleh kenaikan harga dari kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang mencatat inflasi 2,02 persen (mtm) dengan andil 0,68 persen terhadap total inflasi. Kenaikan signifikan pada cabai merah, yang mencapai 54,50 persen (mtm), menjadi pemicu utama.
“Penurunan pasokan dari sentra produksi di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh akibat musim kering berkepanjangan menjadi penyebab utama melonjaknya harga cabai merah,” ujar Andy.
High Level Meeting TPID Sumbar pada 2 Oktober 2025 menghasilkan beberapa langkah konkret. Salah satunya adalah intensifikasi penyelenggaraan pasar murah di seluruh daerah. Selain itu, TPID juga mendorong perluasan informasi melalui media massa dan media sosial, penguatan Kerjasama Antar Daerah (KAD) intra provinsi untuk menjamin pasokan, serta menghidupkan kembali gerakan tanam cabai di pekarangan rumah.
“Kami mendorong agar GPM lebih masif, terutama menjelang momentum hari besar keagamaan dan akhir tahun. Selain itu, kampanye tanam cabai di pekarangan juga harus dihidupkan kembali sebagai solusi jangka menengah,” kata Andy. (Maulina Hanifa, Nada Astul Husna, Khaira Ummah)