Darurat Covid 19 tidak saja membawa dampak kesehatan, ekonomi dan sosial, tapi juga berefek pada pergerakan luas bagi semua kehidupan. Namun yang cukup hebat efeknya adalah terungkit rasa keagamaan, pengetahuan dan paham agama. Lebih lagi saat fatwa, maklumat dan taushiyah meminta umat menghentikan salat Jumat, salat berjamaah, wirid dan kegiatan keagamaan.
Diskusi dan opini yang berkembang di tingkat umat adalah sangat beragam komentarnya. Pengurus masjid, mubaligh, dai dan mereka yang merasa tahu. Titik ekstremnnya ada beberapa orang yang mempertanyakan eksistensi fatwa, maklumat, dan taushiyah MUI yang berbeda dengan keyakinan atau rasa beragama yang sudah melekat di pikiran mereka sepanjang hayatnya.
Wujud dari "protes diamnya" adalah, mereka tetap melaksanakan Jumat, terus melakukan salat berjamaah dan membuat kegiatan wirid. Akibatnya terjadi mobilisasi massa dari satu masjid ke masjid daerah tetangga, antara yang loyal pada fatwa MUI dan mereka yang meragukannya.
Di berbagai tempat ada pula yang terjadi miskomunikasi antar pengurus masjid dan jamaah, yang dianggapnya pengurus tidak mampu memenuhi kehendak umat.
Mengapa umat berbeda?. Setidaknya ada 3 alasan MUI yang belum dipahami dengan baik oleh mereka yang mengabaikan nasehat ulama. Pertama, mereka belum mengerti betul betapa besarnya kemudaratan yang dibawa Covid 19, yang tidak mudah dideteksi, penyebarannya begitu mudah dan sangat berbahaya bagi komunitas, khususnya anak-anak dan lanjut usia yang daya tahan tubuhnya lemah.
Kedua, terbatas dan sangat lemahnya kemampuan pemerintah, tenaga kesehatan, menanggung kemudaratan yang akan terjadi akibat wabah Covid 19 ini. Tenaga medis, fasilitas medis dan obat yang terbatas, minim dan tidak akan mampu memberikan pertolongan jika pandemi ini memakan korban massal. Potensi itu besar, bila virusnya tidak diputus mata rantai penyebarannya melalui social dan pschical distancing.
Ketiga, alasan syari'i. Ajaran Rasul yang mewajibkan umat yang berada di daerah wabah dilarang keluar dan yang diluar dilarang masuk, lockdown, atau PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang ditetapkan pemerintah.
Patuhi Protokol Ilahi
MUI sebagai institusi imam umat berkewajiban menyampaikan pengetahuannya (maklumat), mengingatkan dan menasehati (taushiyah), dan menetapkan hukum berdasar syariat Islam terhadap masalah yang belum ada nash tegasnya (fatwa) bila diminta baik oleh umat, pemerintah dan pihak yang membutuhkannya. Produk syari'i fatwa, maklumat dan taushiyah yang ditetapkan MUI Nasional, provinsi, kabupaten dan kota selanjutnya menjadi sumber hukum tetap bila telah mendapat pengakuan pemegang hak tawliyah yaitu pemerintah sesuai tingkatnya.
Sebagai norma dasar yang dipertimbangkan oleh MUI dalam menetapkan hukum di atas, antara lain untuk menjamin tegak prinsip pokok adanya hukum dalam Islam, maqashid syariah. Prinsip paling pertama dan utamanya adalah menjamin terpeliharanya kehidupan, nyawa manusia (Save Nyawa).
Islam sangat memperhatikan penjagaan kesehatan lahir batin dalam ikhtiar mempertahankan hidup, Al Qur'an menetapkan standar jelas bahwa nyawa satu orang sama dengan nyawa seluruh orang, (QS. Al Maidah/5:32).
Prinsip kedua adalah mematuhi dan mengindahkan pendapat dan petunjuk para ahli. Petunjuk tim medis bahwa cara penanggulangan Covid 19 dengan memutus mata rantai penularan, jaga jarak, bersihkan tangan, pakai masker, tinggal di rumah saja, adalah pendapat yang wajib diikuti karena berkaitan langsung dengan nyawa manusia.
Tidak ada alasan mengabaikan pendapat tim medis. Karema mereka ahlinya, otoritas pakar, dimana tim medis adalah pakarnya kesehatan wajib hukumnya dipatuhi, (QS. An Nahl/16:43).
Alasan ketiga yang menjadi perhatian dalam menetapkan hukum agama adalah memberikan penguatan terhadap kewenangan dari pemerintah untuk menjaga kemaslahatan warganya, kebaikan warga adalah di atas semuanya. MUI meyakini bahwa pakar dan pemimpin yang mengurusi Covid 19 ini pihak yang sudah melakukan tugas kemanusiaan dengan baik, benar, dan jujur, tidak asal bicara (asbun), bicara suai kompetensi dan realitasnya (QS. Isra'/17: 36.)
Norma lain yang memungkin ulama, MUI, bertindak memberikan bimbingan fatwa, maklumat dan taushiyah pada umat, adalah dukungan kompetensi ilmu dan kualitas moral, spritual dari personal dan institusional mereka yang dipercaya insitusi, umat dan negara.
Ulama sebagai panutan, dan bertanggung jawab dunia dan akhirat, inna yakhsallahu min ibadihil ulama, hamba Allah ulama hanya takut pada Allah, (QS. Fathir, 28).
Berdasar norma, fakta dan realitas di atas, maka tugas umat, warga dan anggota masyarakat di dalam menjaga diri, keluarga dan lingkungan dari ancaman Covid 19 adalah mendengarkan fatwa, maklumat dan taushiyah dan sekaligus mengikutinya dengan sepenuh hati, tanpa ragu, (Sami'na watha'na). Artinya; "Hanya ucapan orang-orang mukmin, yang apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka, mereka berkata, Kami mendengar, dan kami taat. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Nuur/24:51).
Iman untuk Imun
Covid 19 dengan segala masalah yang mengikutinya adalah kenyataan hidup di era ini, yang harus disikapi setiap orang dengan tepat, benar dan lurus. Penulis tersentak mendengar ucapan seorang tokoh masyarakat, seperti saat sosialisasi meyakinkan warga untuk menerima jenazah Covid 19 akan dimakamkan dilingkungannya, lalu menyebut kita harus mampu menggembirakan hati menghadapi ujian dahsyat umat dunia sekarang. Mengembira kan hati artinya tidak panik, waspada dan memperkuat iman agar mendapat imun yang kuat.
Hidup tidak pernah berhenti melalui ujian, itulah justru uji petik iman. Artinya; "Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta."(QS. Al-'Ankabut 29: Ayat 3).
Meneguhkan iman itu didukung dengan doa, di antara anjuran yang disampaikan oleh MUI dalam fatwa terkait pandemi Covid-19, adalah agar umat Islam melakukan qunut nazilah.
Qunut nazilah dilakukan dalam shalat berjamaah tentu tidak sulit. Seorang makmum tinggal mengikuti sang imam dan mengamini doa qunutnya.
Tapi salat berjamaah di masjid pun saat ini tidak dianjurkan. Akibatnya, mereka yang tidak mengerti tentang apa dan bagaimana mempraktekkan qunut nazilah tidak akan bisa mengamalkan anjuran MUI ini. Padahal ini salah satu ikhtiar, bahkan mungkin ikhtiar terbaik, kita agar petaka ini segera berakhir.
Qunut Nazilah adalah qunut yang dilakukan di saat ada musibah atau bencana yang menimpa umat Islam, baik berbentuk bencana alam atau yang disebabkan oleh perilaku manusia seperti musuh menyerang atau ada tokoh Islam dibunuh. Qunut itu sendiri berarti doa. Tujuan doa ini adalah agar Allah Swt mengangkat musibah dan bencana yang tengah menimpa umat Islam (atau bahkan umat manusia).
Baca juga: Alasan Penolakan Pemakaman Jenazah Positif Covid-19 di Padang
Penutup kalam ingin ditegaskan bahwa nasehat Islam dalam menghadapi kedaruratan sudah diberikan oleh MUI. Tidak ada alasan syari'i untuk menolak jenazah terpapar Covid-19, umat diminta sami'na wa atha'na dengan taushiyah MUI dan edaran pemerintah guna mempercepat berakhirnya Pandemi Covid-19 ini.
*Prof. Dr. H. Duski Samad, M.Ag: Ketua MUI Padang