Tantangan Membangun Keadilan Gender dalam Ruang Rehabilitasi Narkoba

Tantangan Membangun Keadilan Gender dalam Ruang Rehabilitasi Narkoba

Sumber: https://www.freepik.com/ai

Oleh: Whinda Erlyani

Menuju Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) yang diperingati setiap tanggal 26 Juni, kita perlu merefleksikan tren penyalahgunaan narkoba hingga saat ini.

Tahun 2025, HANI mengusung tema “Breaking the Chains: Prevention, Treatment, and Recovery for All!”, dengan semangat global dalam menyerukan upaya pencegahan, layanan rehabilitasi, dan pemulihan penyalahguna narkoba yang bersifat inklusif untuk semua.

Namun, bagaimana mungkin upaya-upaya itu dapat tercapai? Jika masih ada stigma dan sanksi sosial pada penyalahguna narkoba, terlebih parah pada penyalahguna narkoba perempuan.

Misalnya saja yang dialami oleh Tina, perempuan yang terjerat penyalahgunaan narkoba, kemudian menyadari kondisinya dan ingin pulih. Akan tetapi, Ia ragu untuk rehabilitasi, karena takut diusir keluarga atau diceraikan pasangannya.

Tina bukan satu-satunya perempuan yang mengalami kesulitan untuk terbebas dari bayang-bayang narkoba. Data Survei Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia yang dilakukan oleh BNN RI Tahun 2023 menyatakan bahwa penyalahguna narkoba perempuan 5 kali lebih tinggi menerima sanksi sosial berupa diceraikan, diputuskan hubungan, atau diusir oleh pasangan dan keluarga daripada penyalahguna narkoba laki-laki.

Perempuan dalam Jeratan Narkoba

Terjadi tren peningkatan jumlah penyalahguna narkoba dalam 5 tahun terakhir secara global. Di Indonesia, laporan BNN RI menunjukkan bahwa jumlah penduduk usia 15-64 tahun yang menyalahgunakan narkoba dalam satu tahun terakhir mencapai 3,3 juta orang pada tahun 2023. Perbandingan antara penyalahguna narkoba laki-laki dan perempuan adalah 3:1 di pedesaan dan 2:1 di perkotaan. Perempuan mulai menyalahgunakan narkoba rata-rata pada usia 20 tahun.

Rehabilitasi narkoba merupakan proses pengobatan dari kecanduan dan pemulihan secara terpadu, agar penyalahguna dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam bermasyarakat.

Sayangnya, hanya 5,5% penyalahguna narkoba yang pernah melakukan upaya pengobatan atau rehabilitasi di Indonesia. Lebih parah lagi, jumlah perempuan yang mengakses layanan rehabilitasi lebih sedikit daripada laki-laki. Di mana hanya 1 dari 18 penyalahguna narkoba perempuan yang mendapatkan layanan rehabilitasi, sedangkan pada laki-laki mencapai 1:7 penyalahguna.

Tantangan Rehabilitasi

Berbagai faktor menjadi tantangan dalam layanan rehabilitasi, seperti penyalahguna tidak mengetahui keberadaan program, lokasi sulit dijangkau, program dinilai tidak efektif dan sarana prasarana kurang memadai, hingga biaya yang dirasakan mahal.

Meskipun beberapa instansi pemerintah, seperti BNN dan Kemensos, telah menyediakan lembaga rehabilitasi secara gratis, tetapi jumlah dan kapasitasnya masih terbatas.

Faktor internal seperti malu dan takut juga melatarbelakangi rendahnya cakupan rehabilitasi. Mereka malu, karena merasa sebagai aib keluarga. Sedangkan, rasa takut muncul diakibatkan oleh asumsi bahwa rehabilitasi justru mengarahkan pada urusan hukum atau ditangkap polisi.

Yang mengejutkan di sini, persentase penghambat rehabilitasi lebih besar dirasakan oleh penyalahguna narkoba perempuan daripada laki-laki.

Sanksi sosial dan stigmatisasi masih menjadi momok utama dalam penanganan penyalahgunaan narkoba, yang dapat muncul dari lingkungan kerja, sekolah, masyarakat, bahkan keluarganya sendiri.

Hambatan relasional seperti dimusuhi, dikucilkan, diceraikan, atau diusir oleh pasangan hidup, pacar, dan keluarga lebih keras diterima oleh penyalahguna narkoba perempuan daripada laki-laki. Padahal, dukungan sosial terutama dari keluarga menjadi kunci dalam proses keberhasilan rehabilitasi dan pencegahan relapse atau kekambuhan.

Penerimaan masyarakat terhadap mantan penyalahguna laki-laki dirasakan lebih baik daripada terhadap perempuan. Mantan penyalahguna narkoba laki-laki relatif mudah untuk kembali ke dalam berbagai aktivitas di masyarakat.

Sedangkan, perempuan dianggap lebih tidak bermoral dan tidak bertanggung jawab terhadap keluarga, ketika berurusan dengan narkoba.

Rehabilitasi dengan Pendekatan Khusus untuk Perempuan

Permensos No.9/2017 tentang Standar Nasional Rehabilitasi Sosial bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya telah mencantumkan bagian tentang Rehabilitasi Sosial Khusus Perempuan dan Anak. Namun, penanganannya masih terbatas diberikan pada Ibu Hamil, Menyusui, dan Ibu dengan anak di bawah usia 5 tahun.

Padahal, beban ganda berupa kecanduan dan hambatan gender tidak hanya dirasakan perempuan pada kelompok tersebut. Perempuan dari berbagai latar belakang, baik remaja atau pelajar, belum menikah, pekerja dan bukan pekerja, atau bahkan korban kekerasan, sangat mungkin menghadapi hambatan internal, relasional, dan struktural dalam mengakses layanan rehabilitasi narkoba.

Pembuat kebijakan dan program harus secara fair mengakui bahwa terdapat ketimpangan, berupa stigmatisasi dan hambatan tambahan yang dirasakan oleh penyalahguna narkoba perempuan dibandingkan laki-laki. Perluasan cakupan kelompok serta akselerasi perencanaan dan implementasi program rehabilitasi dengan pendekatan khusus perempuan dapat mengatasi masalah tersebut.

Pendekatan khusus ini tidak selesai pada pemisahan tempat rehabilitasi, tetapi dengan melihat lebih dalam ke muatan program yang sensitif terhadap kondisi perempuan. Berbagai pihak yang diberikan kewenangan memastikan ketersediaan, jangkauan, dan kapasitas lembaga rehabilitasi yang memenuhi kualitas pelayanan berbasis gender. Serta, perlu dilakukan peningkatan pemahaman dan keterampilan pada petugas kesehatan dan konselor adiksi tentang isu gender, untuk menyediakan kenyamanan dan keamanan penyalahguna narkoba perempuan.

Pelibatan tokoh atau mantan penyalahguna narkoba perempuan dalam pengembangan metode dan strategi penanganan narkoba juga dapat dilakukan untuk memastikan dukungan spesifik yang diperlukan.

Peran masyarakat sangat besar dalam memutus rantai stigma pada penyalahguna narkoba perempuan. Kampanye publik untuk menegaskan bahwa penyalahgunaan narkoba adalah masalah yang dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Dukungan dan kesempatan kembali ke masyarakat pasca rehabilitasi selayaknya diberikan secara adil, tanpa penghakiman berdasarkan gender.

Layanan konseling keluarga harus dilakukan untuk mencegah perceraian dan pengusiran oleh pasangan dan keluarga. Hingga tidak ada ketakutan yang dirasakan oleh Tina dan perempuan lainnya dalam mencari pertolongan.

Perempuan penyalahguna narkoba, baik ibu, istri, dan anak, berhak atas kesempatan kembali ke masyarakat dan berdaya. Dukungan relasional, struktural, dan kebijakan dibutuhkan untuk menghilangkan berbagai hambatan pemulihan pada penyalahguna narkoba perempuan, dimulai dari sekarang!

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Kesehatan Masyarakat FKKMK Universitas Gadjah Mada

Email: [email protected]

Baca Juga

Publik dihebohkan atas tragedi kematian Afif Maulana yang diduga dibunuh oleh oknum-oknum polisi. Sampai saat ini, LBH Padang melakukan
Kasus Afif Maulana dan Hukum Penyiksaan Anak
Panggung Politik di Era Digital: Ketika Komunikasi Menjadi Senjata Dua Mata
Panggung Politik di Era Digital: Ketika Komunikasi Menjadi Senjata Dua Mata
Ada pepatah lama yang berbunyi, “Sedia payung sebelum hujan”. Sayangnya, bagi Generasi Z (GenZ), payung itu kadang terlupakan
Antara FOMO dan Disinformasi: Menguatkan Literasi Digital Masyarakat
Tantangan Generasi Muda Hadapi Ancaman Penggangguran Jangka Panjang
Tantangan Generasi Muda Hadapi Ancaman Penggangguran Jangka Panjang
Fateta Unand Gandeng Dinas Ketahanan Pangan Pasbar: Dorong Inovasi Teknologi untuk Tingkatkan Ekonomi Petani
Fateta Unand Gandeng Dinas Ketahanan Pangan Pasbar: Dorong Inovasi Teknologi untuk Tingkatkan Ekonomi Petani
Narapidana Lapas Kelas II B Lubuk Basung, Kabupaten Agam saat diberikan penyuluhan hukum. (Foto: Dok. Lapas Kelas II B Lubuk Basung)
Jangan Biarkan Lapas Jadi Kuburan Diam-Diam: Narapidana Juga Manusia, Mereka Butuh Kesehatan!