Pengangguran di Indonesia di era 2025 semakin meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) mencatat bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka(TPT) pada februari 2025 sebesar 4,76 persen. Jumlah angkatan kerja mencapai 153,05 juta orang, naik 3,67 juta orang dibandingkan Februari 2024. Rata-rata upah buruh tercatat sebesar 3,09 juta rupiah.
Meningkatkan nya angka pengangguran di Indonesia juga tidak terlepas dari banyak nya faktor faktor yang terjadi di luar kendali para pekerja. Terlebih pekerja konvensional yang sudah tidak menarik lagi di era generasi muda saat ini.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pekerja konvensional adalah seseorang yang bekerja di suatu instansi yang memiliki peraturan yang mengikat, bekerja secara fisik, dan juga waktu yang tetap seperti pegawai negeri, karyawan swasta, guru, dokter, dan profesi lainnya, walaupun karir para pekerja konvensional ini jelas, namun banyak mengalami tantangan yang dirasakan sejalan dengan meningkatnya transformasi digital saat ini.
Adapun beberapa faktor mengapa pekerjaan konvensional tidak lagi diminati adalah: karena beberapa instansi masih menganut sistem hierarki yang terkadang melakukan pembatasan sehingga perjalanan karir menjadi lambat dan sulit mencapai posisi yang diinginkan. Tak hanya itu, faktor eksternal seperti kondisi ekonomi yang tidak menentu atau hilangnya lapangan kerja akibat kemajuan teknologi, membuat pekerja konvensional menjadi semakin dilema karena kondisi keuangan kurang stabil dan tidak menjamin masa depannya.
Adapun faktor selanjutnya adalah tidak adanya fleksibilitas waktu. Pekerjaan yang mengikat membutuhkan waktu karyawan lima jam atau lebih , selalu hadir secara fisik di suatu instansi, dan juga selalu bekerja lima hari dalam seminggu. Hal inilah yang membuat pekerja menjadi kehilangan waktu terutama dengan keluarga nya atau kehilangan hobi atau waktu luangnya.
Selain itu juga, kita sadari bersama bahwa perkembangan globalisasi di era digital saat ini semakin meningkat, banyak pekerjaan manusia yang sudah bisa digantikan oleh kecerdasan buatan (AI), otomatisasi yang kerap menjadi perbincangan hangat dan menjadi hal yang paling ditakutkan oleh manusia karena takut kehilangan pekerjaan nya sebab telah digantikan oleh kehebatan teknologi dan digitalisasi.
Bagaikan air yang mengalir, begitulah Ai kini telah mengalir deras dan merambat kedalam beberapa sektor pekerjaan, menggantikan posisi manusia, yang akhirnya hanya meningkatkan angka pengangguran. Laporan McKinsey & Company (2019) mencatat, sekitar 23 juta pekerjaan di Indonesia berpotensi tergantikan oleh otomatisasi hingga tahun 2030.
Bagai dua sisi mata uang, otomatisasi dan juga transformasi digital dapat menimbulkan dampak yang positif, yaitu seperti bisa mempermudah manusia dalam mengakses informasi atau peristiwa yang ada di dunia ini, dan generasi muda juga bisa meningkatkan kreativitas di dunia digital, menjalankan bisnis online, dan lain sebagainya.
Era digital juga membuka peluang bagi tenaga kerja dari seluruh dunia untuk bersaing dalam pasar kerja yang semakin terbuka. Perusahaan-perusahaan kini memanfaatkan sistem kerja jarak jauh yang memungkinkan mereka merekrut pekerja dari berbagai belahan dunia. Hal ini tentu meningkatkan persaingan, terutama bagi generasi muda yang belum memiliki keterampilan unggulan. Tidak hanya bersaing dengan sesama profesional dalam negeri, tetapi juga dengan tenaga kerja internasional yang mungkin memiliki keterampilan lebih tinggi.
Namun di sisi yang lain, transformasi digital juga dapat menimbulkan dampak yang negatif yaitu salah satunya adalah Kurangnya kemampuan digital yang dimiliki oleh generasi muda saat ini. Banyak dari lulusan perguruan tinggi saat ini yang masih terjebak oleh pola pikir yang konvensional atau membayangkan pekerjaan yang tradisional. Padahal dunia kerja saat membutuhkan generasi yang memiliki keahlian didalam bidang digital seperti pengelolaan data, kecerdasan buatan dan pemasaran digital.
Hal inilah yang akhirnya membuat kemunduran pada generasi muda yang tidak bisa mengimbangi teknologi dan tidak ingin mengubah mindset untuk terus berkembang dan bisa menguasai hal hal yang diinginkan oleh perusahaan atau dunia saat ini.
Oleh karena itu kita sebagai generasi muda haruslah lebih bijak didalam mengimbangi perkembangan digitalisasi, mengupgrade diri supaya terhindar dari kasus pengangguran jangka panjang di Indonesia.
*Penulis: Facya Apriranda (Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Andalas)