“Saya berusaha, tapi Aceh sangat berat,” ucap Mualem, sapaan orang Aceh terhadap Muzakir Manaf, Gubernur Aceh periode 2025-2030. Suaranya tertahan-tahan, tidak utuh, patah-patah, seolah ditarik dari dada yang sudah terlalu lama memikul beban.
“Saya pada prinsipnya hanya berusaha, hanya berdoa…” lanjut Mualem, sebelum akhirnya tangisnya pecah di hadapan Najwa Shihab dalam wawancara yang tayang di akun Youtubenya pada 8 Desember 2025.
Beberapa jam sebelumnya, Gubernur Aceh Muzakir Manaf baru saja mengikuti Rapat Terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto di Pangkalan Udara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar. Rapat tersebut digelar dalam situasi darurat, menyusul banjir besar yang kembali melanda sejumlahwilayah Aceh di penghujung November 2025.
Najwa merespons dengan empati. Tidak ada dorongan, tidak ada penghakiman. “Kita semua tahu, Mualem selalu keliling setiap malam, ketemu rakyat, bawa bantuan sendiri. Tidak perlu minta maaf, Mualem,” ucapnya dengan merendahkan nada bicaranya. Kalimat itu memberi ruang dan di ruang itulah tangis seorang gubernur jatuh sebagai peristiwa kemanusiaan.
Potongan wawancara tersebut segera menyebar luas. Tangis seorang pemimpin menjadi perbincangan nasional. Namun di Aceh, responsnya memperlihatkan nuansa yang berbeda.
Tangis itu tidak lagi dibaca sebagai tanda kelemahan, tetapi justru menjadi penguat. Buktinya, orang Aceh yang notabene adalah korban banjir jusru bereaksi dengan cara yang sederhana tetapi dalam. Mereka menghentikan tangis mereka sendiri, menghapus air mata, lalu berdiri untuk menguatkan pemimpinnya.
Ini sebuah kutipan reaksi korban banjir yang ditayangkansebuah akun Tiktok, dengan langgam khas Aceh “Jangan nanges, Mualem. Lap air matamu. Kami masih kuat lagi, Panglima. Kami sudah terbiasa. Ayo bangkit sama-sama. Ayo sama-sama!”
Kalimat itu beredar luas, dari lini masa media sosial hingga obrolan di warung kopi. Ada kehangatan sekaligus kepedihan di sana. Ada keteguhan, tetapi juga kelelahan yang lama dipendam.
Banjir yang melanda Aceh di penghujung November 2025 bukan peristiwa tunggal. Curah hujan ekstrem membuat sejumlah sungai besar meluap dan merendam ribuan rumah di Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, dan sebagian Aceh Besar. Pola ini berulang dari tahun ke tahun.
Data BNPB menunjukkan bahwa sepanjang 2023 dan 2024 Aceh konsisten berada di antara provinsi dengan kejadian banjir tertinggi di Sumatera. Air naik, bantuan datang, perhatian publik menguat sesaat, lalu perlahan mereda hingga musimhujan berikutnya tiba (BNPB, 2024). Kondisi ini membentuk apa yang disebut sebagai bencana kronis, ketika masyarakat belajar bertahan sambil menumpuk kelelahan yang jarangterlihat.
Beban tersebut diperberat oleh sejarah panjang Aceh dan krisis ekologis yang terus berlangsung. Konflik bersenjata, tsunami 2004, dan bencana berulang membentuk memorikolektif yang membuat setiap banjir baru selalu memanggil luka lama. Secara ekologis, WALHI Aceh menunjukkan bahwa degradasi daerah aliran sungai, pembalakan hutan, dan alih fungsi kawasan memperbesar risiko banjir (WALHI Aceh, 2023). Perubahan iklim kemudian memperparah situasimelalui peningkatan hujan ekstrem di Asia Tenggara, sehingga bencana di Aceh tidak lagi semata persoalan lokal, melainkan bagian dari masalah struktural dan global.
Tangis Mualem memperoleh maknanya di dalam konteks tersebut. Tangis itu bukan sekadar ekspresi personal, melainkan cerminan kelelahan struktural. Seorang gubernur yang baru keluar dari rapat tingkat tinggi, membawa daftar kebutuhan rakyatnya, lalu duduk di hadapan kamera dan akhirnya tidak mampu lagi menahan emosi.
Riwayat hidup Muzakir Manaf memperdalam makna tangis tersebut. Dalam sejarah konflik Aceh, Mualem dikenal sebagai salah satu panglima penting Gerakan Aceh Merdeka. Edward Aspinall, dalam kajiannya tentang konflik dan transformasi politik Aceh, mencatat bahwa figur-figur panglima lapangan seperti Muzakir Manaf memegang peran strategis dalam struktur GAM, terutama dalam menjaga disiplin, loyalitas, dan kontrol wilayah (Aspinall, 2009). Artinya, ia bukan figur yang dibesarkan oleh kenyamananbirokrasi.
Bahasa Kekuasaan dalam Tangis Mualem
Dalam praktiknya, bahasa kekuasaan tidak hanya berbentuk pidato, pernyataan resmi, atau dokumen kebijakan. Bahasa kekuasaan juga mencakup cara seorang pemimpinmenampilkan emosi di ruang publik. Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1977) menjelaskan bahwa kekuasaan bekerja melalui normalisasi, yaitu penentuan tentang apa yang dianggap pantas, wajar, dan layak ditampilkan oleh merekayang berkuasa. Dalam konteks ini, pemimpin ideal seringdigambarkan sebagai sosok yang tenang, terkendali, dan tidakmenunjukkan keguncangan emosi.
Tetapi, tangis Mualem sepertinya muncul di luar pola tersebut. Ia tidak berbicara dengan bahasa birokrasi yang rapi dan penuh kalkulasi. Kata-katanya patah, emosinya terbuka, dan tidak berusaha ditutup dengan retorika keberhasilan. Tangis ini menandai momen ketika bahasa kekuasaan kehilangan jaraknya dan berubah menjadi bahasa manusiabiasa yang sedang kelelahan.
Tulisan Arlie Russell Hochschild dalam The Managed Heart (1983) juga menjelaskan bahwa emosi di ruang publik selalu diatur oleh apa yang ia sebut sebagai aturan perasaan. Aturan ini menentukan emosi mana yang boleh ditampilkan dan mana yang harus ditekan sesuai peran sosial seseorang.
Dalam politik, aturan ini biasanya ketat. Pemimpin diharapkan menunjukkan keyakinan, bukan keraguan. Menangis sering dianggap tidak pantas.
Justru karena itu, tangis Mualem menjadi peristiwa sosial yang kuat. Ia melanggar aturan perasaan yang lazim, tetapi pelanggaran itu diterima oleh masyarakat. Pierre Bourdieu dalam Language and Symbolic Power (1991) menyebutkondisi semacam ini sebagai pergeseran legitimasi simbolik. Praktik yang biasanya dianggap lemah justru memperoleh pengakuan karena konteks sosialnya mendukung.
Respons masyarakat Aceh yang menguatkan Mualem menunjukkan bahwa kekuasaan tidak selalu kehilangan wibawa ketika emosi ditampilkan secara jujur. Dalam situasi krisis yang berulang dan berat, bahasa kekuasaan yang dinginjustru terasa asing. Sebaliknya, kejujuran emosional membuka ruang kedekatan dan memperkuat relasi antara pemimpin dan rakyatnya.
Jarak Emosional Pemerintah dan Rakyat
Jarak emosional antara pemerintah dan rakyat sering kali muncul dari cara negara bekerja. Max Weber (1978) menjelaskan bahwa birokrasi modern dibangun atas dasar rasionalitas, prosedur, dan pembagian tugas yang jelas. Cara kerja ini penting untuk stabilitas, tetapi sering membuatpengalaman manusia direduksi menjadi angka, laporan, dan kategori administratif.
Karena itu, Hannah Arendt (1963) mengingatkan bahwa masalah besar dalam sistem modern bukan selalu niat buruk, melainkan hilangnya kepekaan moral terhadap dampak nyata kebijakan dan tindakan negara. Ketika bencana dipahamihanya sebagai peristiwa teknis yang harus dikelola, penderitaan warga menjadi sesuatu yang tidak benar-benardirasakan oleh mereka yang mengambil keputusan.
Jarak ini akan semakin terasa dalam konteks bencana yang berulang. Ulrich Beck dalam Risk Society: Towards a New Modernity (1992) menjelaskan bahwa banyak risiko modern dihasilkan oleh proses pembangunan itu sendiri, tetapitanggung jawabnya sering tidak jelas dan tersebar di banyak lembaga. Karena itu, dibuatlah aneka regulasi dan berbagaiStandard Operating Procedures (SOP). Akhirnya, diksi-diksi para pejabat yang terkait justru menjadi hambar dan prosedural.
Ketika pejabat menyebut bencana sebagai sesuatu yang terkendali atau sekadar ramai di media sosial, yang munculbukan sekadar kesalahan komunikasi. Pernyataan seperti itu memperlihatkan adanya jarak emosional. Bahasa negara tidak bertemu dengan pengalaman hidup korban. Di sinilah rasa ditinggalkan mulai tumbuh, meskipun bantuan secara formal tetap berjalan.
Tangis Mualem memperpendek jarak tersebut. Ia tidak menghapus masalah struktural, tetapi menghadirkan kesamaan rasa. Randall Collins (2004) menjelaskan bahwa ikatan sosial menguat ketika emosi dibagikan dalam pengalaman bersama. Dalam konteks ini, tangis seorang pemimpin menjadi titik temu antara negara dan rakyat. Ia mengingatkan bahwa di balik jabatan dan kebijakan, ada manusia yang memikul beban yang sama beratnya.
Muhammad Nasir adalah Wakil Ketua PD Perti Sumbar





