Langgam.id - Pengamat Hukum Kesehatan Universitas Eka Sakti (Unes) Padang Firdaus Diezo mengatakan, tes Polymerase Chain Reaction (PCR) Covid-19 sebagai syarat perjalanan udara merupakan bagian dari kebijakan politik pemerintah.
"Dari awal kecenderungannya berubah-ubah terus aturannya, karena memang sejak awal orang menganggap covid-19 tidak seekstrem yang telah terjadi. Akhirnya jadi pandemi yang membuat dunia kocar-kacir seperti sekarang," katanya Rabu (27/10/2021).
Akibatnya, lahirlah sejumlah aturan termasuk tes PCR. Aturan ini menurutnya, cenderung sering berubah karena sulitnya virus ini dikendalikan.
Ketika perubahan dari hasil penelitian ditemukan ikut mengubah aturan kebijakan karena negara bertanggung jawab dalam pemenuhan hak kesehatan.
Kemudian terangnya, salah satu caranya adalah dengan melakukan pencegahan sebab pencegahan yang bisa dilakukan karena obatnya belum ada.
Soal tes PCR memang merepotkan, begitu juga dengan rapid antigen karena orang-orang cenderung merasa terbatasi dalam berpergian dan ada ongkos yang mahal.
"Itu gejolak sosial akibat peraturan itu, itu sebenarnya bisa diatasi dengan vaksinasi, cuman angka vaksinasi kita rendah. Sementara aktivitas orang semakin meningkat karena sudah banyak pelonggaran," katanya.
Indonesia menurutnya salah satu negara yang vaksinasinya terendah termasuk Sumatra Barat (Sumbar) vaksinasinya rendah dibandingkan provinsi lain.
Rendahnya vaksinasi dan aktivitas masyarakat semakin tinggi jadi salah satu jalan mencegah covid-19 adalah dengan tes PCR dan rapid antigen.
Kebijakan Sudah Tepat
Firdaus mengungkapkan, kebijakan ini sudah tepat dilakukan oleh negara. Hal ini karena negara bertanggung jawab memastikan kesehatan masyarakat dan tidak terjangkit virus.
"Negara harus aktif mencegah penyakit dengan kebijakan seperti sekarang karena ini persoalan nyawa manusia," bebernya.
Mengurangi tes PCR menurutnya, bisa dilakukan jika vaksinasi sudah tercapai setidaknya 80 persen dari target.
Firdaus mengatakan, tes PCR harus dilakukan karena tidak semua orang yang vaksin sekarang, dan banyaknya masyarakat yang tidak taat dengan protokol kesehatan.
"Kalau kita melihat negara lain sudah bebas seperti di stadion tanpa masker dan berkerumun itu karena vaksinasi mereka tinggi. Kemudian, kepatuhan masyarakatnya juga tinggi, sistem kesehatan mereka sejak awal juga sudah bagus," katanya.
Soal banyaknya yang menandatangani petisi hapus tes PCR menurutnya boleh saja, namun apa solusinya? Sementara negara harus memastikan masyarakat tidak terkena covid-19. Kalau banyak yang terkena covid-19, ini tentu berpengaruh pada banyak sektor lain.
Selain itu, menurutnya penegakan hukum juga lemah. Kemudian vaksinasi rendah, rendahnya ketaatan kepada protokol kesehatan dan aturan. Ditambah dengan banyaknya pergerakan orang sehingga tes PCR adalah satu jalan untuk mencegah penyebaran virus.
Baca juga: Penumpang Pesawat Masih Wajib PCR Meski Sudah Divaksin Covid-19
Firdaus menjelaskan, tes PCR atau rapid antigen bisa dilonggarkan nantinya jika capaian vaksinasi sudah tinggi.
Memang sekarang covid-19 tampak melandai, namun dikhawatirkan nantinya bakal ada gelombang ketiga covid-19 tentu akan lebih parah karena bebasnya keramaian.
"Solusinya juga bisa menurunkan harga tes PCR dan rapid antigen diturunkan. Tetapi itu juga dalam kajian, karena orang medis tentu hitung-hitungan juga soal itu," katanya.