Dua orang berdiri, laki-laki dan perempuan, masing-masing memegang alu, kayu sepanjang lebih kurang 1,5 meter yang digunakan untuk menumbuk padi.
Di sekitarnya, beberapa pemusik berbagai usia duduk membentuk leter U, masing-masingnya memegang alat musik indang, talempong, canang serta aguang atau gong.
Satu orang duduk di belakang jejeran beberapa gandang tambua. Sementara satu orang lainnya, pria dengan rambut panjang duduk menghadap kerumunan penonton dengan sebuah jimbe di tangannya.
Dialah Alex Septiono, penabuh jimbe yang sekaligus sebagai komposer dari pertunjukan musik dengan judul Bakacintuang tersebut.
Tabuhan perkusi yang energik dari berbagai instrumen pukul cukup untuk menarik perhatian masyarakat. Membuat yang berdiri jauh untuk lebih mendekat ke tempat pertunjukan, kemudian mengeluarkan smartphone untuk mengabadikan pertunjukan itu.
Selepas pembukaan yang berlangsung singkat, sunyi malam di Jorong Koto Tuo Nagari Balai Gurah Kecamatan Ampek Angkek Canduanh, Agam itu kemudian dipecah oleh alunan sarunai.
Tidak hanya sarunai, alunan instrumen tiup tradisional Minang lainnya, seperti pupuik tanduak dan pupuik lambok juga ikut membangun suasana sebagai pengantar ke bagian tengah pertunjukan.
Memasuki bagian tengah pertunjukan, dengan tempo sedang, talempong pacik sebagai instrumen utama mulai muncul dengan iramanya yang khas.
Pada bagian ini, berbagai pola dimainkan dengan beberapa jenis instrumen, setidaknya terdapat pola indang, permainan gandang tambua serta gong.
Akan tetapi, pola yang paling menonjol adalah pola permainan talempong pacik yang biasa disebut dengan istilah gua.
Terdapat sebanyak lima gua tradisi yang dieksplorasi, yaitu Gua Rumah Gadang, Gua Indang, Gua Tari Piriang, Gua Taratak dan Gua Sawai Kamalaman.
Memasuki bagian akhir, tempo permainan mulai ditingkatkan, bagian ini hanya mengeksplor Gua Rumah Gadang, permainan dengan tempo cepat tersebut diwarnai dengan paningkah dari talempong yang seolah ingin menginterprestasikan istilah bakacintuang.
Bakacintuang sendiri merupakan judul karya yang ditampilkan oleh kelompok musik Legusa asal Nagari Sikabukabu Tanjuang Aro Padang Panjang, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatra Barat.
Bakancintuang merupakan ungkapan yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk menyebut lahapnya makan seseorang ketika diadakan tradisi makan bajamba atau makan bersama.
Menurut Alex, istilah bakacintuang yang sulit jika dideskripsikan itu divisualisasikan dengan alunan talempong pacik bersama beberapa instrumen pukul lainnya.
Pelestarian Talempong Pacik
Dijadikannya talempong pacik sebagai ide utama dari karya tersebut merupakan salah satu upaya Alex bersama rekan-rekannya untuk melestarikan alat musik tradisional tersebut.
Alex menyebutkan, dalam pelestarian itu, yang menjadi sasaran adalah permainan talempong pacik, bukan semata talempong secara wujud fisik.
Selama melakukan riset di daerah Nagari Sikabubu, terdapat dua gua tradisi yang menurutnya menjadi ciri khas daerah tersebut, yaitu Gua Taratak dan Gua Sawai Kamalaman.
Sebenarnya, Nagari Sikabukabu yang terdiri enam jorong itu telah memiliki grup seni talempong pacik di tiap-tiap jorongnya dan dimainkan oleh kaum ibu.
Alex yang merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang itu menyebutkan, melalui garapan karya tersebut ia berupaya membangkitkan kembali semangat berkesenian di tengah masyarakat, terutama di kalangan anak-anak.
"Beberapa seniman tradisi tersebut berkeinginan agar generasi muda juga memiliki kepandaian bermain talempong pacik," katanya seusai tampil di Medan Bapaneh Jorong Koto Tuo Nagari Balai Gurah.
Penampilan yang menghabiskan waktu lebih kurang 20 menit itu pada umumnya melibatkan anak-anak dari tingkat SD hingga SMA.
Lebih lanjut ia menjelaskan, pada dasarnya, talempong pacik dimainkan oleh tiga pemain secara bersamaan dengan masing-masing pemain memegang dua talempong.
Setiap pemain, menurut Alex akan memainkan pola yang berbeda, masing-masingnya disebut dengan istilah, jantan, batino dan paningkah.
Sekalipun setiap orang mamainkan pola yang berbeda, ketika dimainkan bersamaan maka akan membentuk keutuhan melodi yang dikenal dengan sebutan bajalin
Hiburan Anak Nagari
Sebelumnya, keberadaan talempong pacik hanya dimainkan ketika ada prosesi adat kelompok yang anggotanya adalah kaum ibu.
Melalui garapan karya Bakacintuang yang ditampilkan dalam festival anak nagari atau Sentak Arts Festival (SAF) pada 23 Februari 2019 itu, permainan talempong pacik kembali hadir sebagai permainan anak nagari.
Sekalipun tidak dihadirkan dengan gaya tradisional sebagaimana biasanya, akan tetapi dominasi talempong pacik masih dapat diinikmati dalam garapan yang mengarah pada kategori garapan world music tersebut.
Dalam festival yang dikelola secara secara swadaya oleh masyarakat nagari Balai Gurah itu, talempong kembali mendapatkan perhatian dari masyarakat sebagai kesenian tradisional di tengah popularitas seni modern.
Sebelumnya, Direktur Festival SAF, Fandi Pratama mengatakan pelaksanaan festival itu memang dititikberatkan pada potensi nagari yang selanjutnya dihadirkan dalam wujud pertunjukan seni.
Tidak hanya potensi Nagari Balai Gurah, festival ini juga menghadirkan kelompok-kelompok kesenian dari beberapa daerah di luar Agam, seperti Kabupaten Tanah Datar, Limapuluh Kota dan Kota Padang
Festival yang menghadirkan ragam seni pertunjukan dari seni tradisi hingga kontemporer tersebut cukup mendapatkan sambutan baik dari masyarakat, baik masyarakat Nagari Balai Gurah maupun daerah-daerah lain di Sumatra Barat.