Surat Elektronik Sobron Aidit #3

Saya tidak ingat persis bagian tulisan mana dari MADILOG yang disembunyikan Sobron kala itu. Atau, bagian kisah ini tidak pernah diceritakan Sobron pada saya, entahlah. Yang masih lekat dalam pikiran saya adalah, dia menyerukan untuk tetap berbuat baik dan mencintai Indonesia sepenuh hati, apapun keadaannya.

Saya paham, kerinduannya pada tanah air terbalas beberapa tahun setelah baku balas email dengan saya. Namun sayang, kami tak bertemu. Walau begitu, Sobron telah mengajarkan saya untuk terus berkembang.

Dia meninggal pada Sabtu, 10 Februari 2007 di Paris pada usia 72 tahun. Sudah 5 tahun lamanya kami tak berbalas email hingga akhirnya dia mangkat. Beberapa puisi dan cerpennya yang beredar di milis-milis masih sempat saya tanggapi. Bahkan, esainya berjudul Buku Yang Dipenjarakan sempat saya baca di milis Sastra Pembebasan, dan belakangan saya ketahui dimuat terpisah-pisah di laman lallement.com.

Dalam rangkaian esai Buku Yang Dipenjarakan, Sobron berkeluh kesah tentang dunianya. Bang Amat (sebutan untuk DN Aidit) sangat dia banggakan. Suatu saat, DN Aidit pernah mempertanyakan sikap Sobron yang menyandang nama belakang Aidit. Sobron tak gentar, bukankah itu nama ayah kita? tanya dia.

Bagi saya, kumpulan esai-esai Buku Yang Dipenjarakan itu merujuk pada buku-buku berhaluan kiri, MADILOG termasuk di dalamnya. Buku-buku itu ikut menanggung dosa akibat kisruh politik tahun ’65. Buku-buku itu diasingkan, diberangus, dibakar, dimusnahkan.

Saya boleh jadi merupakan bagian dari sedikit orang yang beruntung, membaca buku-buku itu ketika Pemerintah Orde Baru masih berkuasa. Di Padang, saya sering pergi ke Pasar Raya lantai 2. Di sana, buku-buku kiri mengendap berdebu di antara tumpukan ensiklopedi, atlas, almanak dan buku-buku tua lainnya. Saya kerap mendatangi los toko-toko buku loakan di sana, mengisi waktu sambil membaca. Dalam suasana gonjang-ganjing awal reformasi, toko-toko serupa juga pernah saya datangi di Pasar Senen di Jakarta, atau di trotoar dekat Tugu Kujang di Bogor. Jika ada sedikit uang, saya mencicil membeli dan menyimpannya di rumah.

Buku bagi saya lebih dari sekedar jendela dunia. Dia memaksa saya terbang entah kemana untuk menjelajah alam semesta. Dalam penerbangan itu, saya ingat Tan Malaka. Dia mengatakan, ilmu harus membumi, menjadi senjata rakyat untuk merdeka. “Materi bukan bayangan pikiran, melainkan pikiranlah yang bayangan dari materi,” tulisnya.

Lama saya tercenung dengan penggalan kalimat itu. Entah apa pula maksudnya. Penat rasanya merawat rasa penasaran ini, sampai saya menemukan satu penggalan kalimat, yang kira-kira bunyinya begini; segala sesuatu berasal dari materi, dari benda yang nyata.

Saya mencoba melarikan diri pada kamus umum Bahasa Indonesia yang cukup tebal. Di sana, materi berarti benda, bahan, segala sesuatu yang tampak, menempati ruang dan bermassa. Materi dapat diuji untuk dipikirkan, dibicarakan, dikarangkan, dan sebagainya. Dalam hal ini, materialisme menjadi sebuah pandangan hidup yang menjadi dasar segala sesuatu. Materialisme merupakan cara pandang yang termasuk dalam kehidupan manusia di dalam alam kebendaan, dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indera. Semakin rumit bukan?

Tan Malaka sesungguhnya mengajak pembaca MADILOG pada pemahaman, bahwa apa yang ada di hadapan kita saat ini adalah sesuatu yang bertumpu pada realitas material, bukan pada mitos dan spekulasi. “Materialisme tidak mengenal sesuatu yang abadi selain perubahan itu sendiri. Alam ini terus-menerus berubah,” tulisnya.

Baiklah. Saya coba memahami ini dengan perumpamaan sebuah meja, katakanlah terbuat dari kayu, meja yang pernah saya sebut dalam tulisan serangkai dengan tulisan ini. Meja di hadapan saya, betul adalah sebuah benda, dia nyata.

Tapi meja itu telah mengalami berbagai situasi; diambil dari bahan alam seperti pohon. Proses pengambilannya pun tentu butuh diterangkan dengan lebih kongkrit; Di mana dia ditebang, dengan alat apa dia ditebang, siapa yang menebang, kapan ditebang, bagaimana cara menebangnya? Mengapa penebang memilih pohon kayu itu? Pertanyaan dapat berlanjut tentang proses pembuatan meja, dan seterusnya.

Di sini, seperti saya terangkan sebelumnya, bertanya sangat penting. Mengapa bertanya? Supaya saya benar-benar paham bahwa meja tersebut memang terbuat dari kayu dan tidak tiba-tiba berada di tempat ini, bukan tiba-tiba turun dari langit. Dia mengalami proses, mengalamai dialektika.

Dalam realitas bernegara, cara berpikir demikian sangat penting. Misalnya ketika sebuah kebijakan dibuat pemerintah berkuasa. Kebijakan tersebut tidak serta merta hadir sebagai sesuatu yang mengatur, bukan? Kebijakan lahir dari proses dialektika. Karenanya kita perlu membaca dan bertanya. Usai itu, perlu berlogika, apakah kebijakan tersebut masuk akal?

Bagaimana dengan internet? Dia tak nampak, bagaimana mungkin internet dapat dikatakan materi? Ayolah, internet bukan mitos, dia bukan dedemit yang merasuki gawai kita, teknologi berkembang dan maju. Bacalah! Kita tak mungkin menolak kemajuan berpikir karena suatu kepercayaan yang buta.

Masih ingat Galileo Galilei? Tahun 1633 dia dihukum seumur hidup karena mengatakan bahwa bumi berputar mengedari matahari. Apakah kita mau terjebak dengan cara berpikir Si Penghukum Galileo? Masih percaya mitos? takhayul? Jauh sebelum itu, Qur’an sudah menyatakan di surah Yunus ayat 5 dan surah Ibrahim ayat 33. Belakangan, ilmu pengetahuan membuktikan hal itu.

Sekali lagi, materialisme bagi Tan Malaka merupakan sebuah tatanan berpikir yang menolak kepercayaan buta. MADILOG ditulisnya sekitar tahun 1942–1943 dalam masa pelarian. Penggalan buku ini diselamatkan Sobron belia. Bagi Sobron, buku ini harusnya dapat memosisikan ilmu pengetahuan sebagai landasan bijak dalam bertindak.

Keduanya – Tan Malaka dan Sobron Aidit – kini telah mengkat. Kendati Tan Malaka tewas di ujung senjata, pemikirannya tatap bermakna. Kendati pun Sobron sudah menemui takdir, tapi catatan-catatannya tidak berakhir. Kita? kapan mati?

Baca Juga

Surat Elektronik Sobron Aidit #2
Surat Elektronik Sobron Aidit #2
Surat Elektronik Sobron Aidit #1
Surat Elektronik Sobron Aidit #1
Tan Malaka adalah figur yang kompleks dalam sejarah pra kemerdekaan Indonesia, seorang intelektual revolusioner dengan visi yang jauh
Sejauh Mana Marxisme Mengubah Tan Malaka?
Berlangsung 3 Bulan, Ini Fokus Delegasi Napak Tilas Bapak Republik Tan Malaka
Berlangsung 3 Bulan, Ini Fokus Delegasi Napak Tilas Bapak Republik Tan Malaka
Yayasan Ibrahim Tan Malaka Gelar Napak Tilas Bapak Republik
Yayasan Ibrahim Tan Malaka Gelar Napak Tilas Bapak Republik
Makam Tan Malaka
Di Balik Polemik Makam Tan Malaka, Meresapi Pemikirannya Jauh Lebih Penting