Sehari setelah Hari Bela Negara yang diperingati di seluruh Indonesia sebagai hari besar nasional bukan hari libur tahun ini, masyarakat Sumatera Barat (Sumbar) pantas berbangga karena Masjid Raya Sumbar ditetapkan sebagai masjid dengan arsitektur terbaik dunia bersama enam masjid lainnya di berbagai negara.
Hari Bela Negara yang ditetapkan Presiden SBY mulai 19 Desember 2006 yang lalu, diangkat dari peristiwa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia pada 19 Desember 1948 sampai dengan 13 Juli 1949, dimana secara spontan, Bapak Sjafrudin Prawira Negara dan Teuku Muhammad Hasan yang didukung masyarakat di Bukittinggi mengumumkan Indonesia masih ada saat Bung Karno dan Bung Hatta ditangkap di Yogyakarta oleh Belanda.
Karena itulah, saat menjadi Gubernur Sumbar, kami mengusulkan kepada Presiden SBY untuk dapat menetapkan peristiwa penting itu dengan nama Hari Bela Negara. Alhamdulillah Presiden kemudian menyetujuinya. Sungguh sesuatu yang amat melegakan bagi para pejuang dan mereka yang berjasa dalam peristiwa itu, dengan terbitnya Kepres tersebut.
Dan tanggal 20 Desember tahun ini, viral berita bahwa Masjid Raya Sumbar ditetapkan oleh Abdulatif Al Fozan Award di Madinah sebagai salah satu masjid dengan arsitektur terbaik di dunia.
Baca Juga: Video 7 Masjid dengan Arsitektur Terbaik Dunia, Salah Satunya Masjid Raya Sumbar
Dengan demikian, Ranah Minang yang permai kini memiliki tiga prestasi dunia. Masing-masing adalah; makanan terlezat di dunia, yaitu rendang, desa/ nagari tercantik di dunia yaitu Pariangan, Kabupaten Tanah Datar dan masjid dengan arsitektur terbaik di dunia yaitu Masjid Raya Sumatra Barat yang unik itu.
Dengan demikian, sepantasnyalah masyarakat Minang di ranah atau di rantau gembira dan bangga dengan prestasi itu, karena provinsi yang kecil ini, dengan penduduk hanya sekitar 5 juta jiwa saja atau sekitar 3 persen dari penduduk Indonesia, masih mampu mengukir prestasi tingkat dunia dengan tiga terbaiknya itu.
Lalu apa lagi sesudah prestasi itu diraih? Biasanya orang Minang selalu kreatif dan inovatif. Selalu saja ada akal memaknai setiap peristiwa. Jangankan memaknai prestasi, bagi masyarakat Minang, buah simalakama saja yang diartikan sebagai sesuatu yang ruwet dan rumit bisa diatasi. Demikian rumitnya simalakama itu, hingga digambarkan: "jika dimakan bapak mati dan kalau tak dimakan ibu mati". Tapi masyarat Minang masih ada akal. Masih masih ada alternatif ketiga atau keempat. Apa itu? Dijual atau dikulun-kulun saja sehingga tak perlu bapak dan ibu mati.
Menurut hemat saya, salah satu hal yang bisa di-create oleh Sumatera Barat terutama pemerintah daerah dan masyarakatnya adalah mengemas dan "menjual" tiga terbaik dunia itu sebagai "jualan wisata", promosi wisata untuk makin banyak yang datang ke sini .
Untuk itu, rasanya ketiga ikon itu tentu perlu dibenahi, dirawat, difasilitasi dengan apa yang dibutuhkan pengunjung. Industri rendang yang kini terus bertumbuh, makin disempurnakan cita rasanya sesuai selera pasar, packagingnya, dan lain-lain.
Begitu juga Masjid Raya. Tanpa mengurangi substansinya sebagai tempat ibadah, tentu perlu dilengkapi fasilitasnya untuk para pengunjung, seperti informasinya yang layak diketahui orang yang datang dan kelengkapan lainnya, agar mereka merasa puas/ costumer driven government.
Untuk desa / nagari Pariangan, sebagai desa tercantik dunia yang akan dipromosikan, selayaknya juga didalami dan diupayakan apa yang perlu dilakukan. Agar orang banyak datang dan merasa puas berkunjung ke sana. Dengan status desa terbaik itu, di mana lokasi untuk melihatnya? Apa yang diperlukan pengunjung untuk disediakan tanpa merusak keasrian Nagari Pariangan itu?
Banyak masukan bisa diminta dari ahlinya untuk membuat pariwisata Sumatera Barat semakin maju. Duduak basamo balapang lapang, duduak sorang basampik-sampik.
Saya tak bermaksud menggurui. Karena banyak pikiran bernas ada di Ranah Minang. Tapi tulisan ini sekedar menstimulus pikiran kita di ranah ini, bahwa sesungguhnya prestasi dunia yang ada di Sumatera Barat bukan berhenti sampai di situ. Tapi dapat dimaknai lebih, yaitu sesuatu yang dapat menghasilkan dan mendatangkan uang bagi Sumatra Barat yang minim sumber daya alam.
Baca Juga: Cerita di Balik Penetapan Hari Bela Negara Zaman Presiden SBY
Di samping itu, juga untuk memotivasi kita semua agar terus berprestasi, tak berhenti di angka tiga, karena sesungguhnya kita bisa menambah yang tiga itu menjadi empat, lima, enam, tujuh dan bahkan lebih.
Dan, satu hal yang juga penting, barangkali dicatat, bahwa Sumbar bukan hanya masa lalu dengan prestasi para tokohnya yang mengukir sejarah Indonesia, seperti banyak digunjingkan orang. Tapi, kinipun masih ada dan masih mampu bicara dalam kancah yang lebih luas.
Selamat menikmati prestasi untuk seluruh dunsanak di Ranah Minang. Kita masih bisa. [*]
---
Dr. Gamawan Fauzi Dt Rajo Nan Sati
Gubernur Sumbar (2005-2009) dan Menteri Dalam Negeri (2009-2014)