Sumatera Barat (Mestinya) Tagak di Nan Manang

Langgam.id - Diksi Mambangkik Batang Tarandam ini disebut-sebut dalam setiap pembicaraan tentang Minangkabau.

Benni Inayatullah. (Foto: Dok. Pribadi)

Diksi Membangkik Batang Tarandam sudah menjadi kata sakti untuk menggambarkan tekad orang Minangkabau kembali kepada yang dianggap sebagai kejayaan masa silam.

Seorang kawan di sebuah Whatsapp Group baminang-minang berkata kepada saya, “Sudah hampir setengah abad saya hidup selalu saja diksi Mambangkik Batang Tarandam ini disebut-sebut dalam setiap pembicaraan tentang Minangkabau tapi tak jelas ujung pangkalnya.” Kawan saya ini mengomentari tulisan Gamawan Fauzi & Hasril Chaniago di situs detik.com yang berjudul “Menjawab Kerisauan Bundo Mega”.

Saya hanya tertawa saja mendengar kawan saya yang kecil di ranah dan kemudian menjadi pengusaha sukses di rantau itu. Memang begitulah adanya, diksi Membangkik Batang Tarandam ini sudah menjadi kata sakti untuk menggambarkan tekad orang Minangkabau kembali kepada yang dianggap sebagai kejayaan masa silam.

Setelah saya baca tulisan tulisan Gamawan Fauzi & Hasril Chaniago itu saya sebetulnya tidak menemukan hal baru yang dapat mencerahkan khazanah pengetahuan baminang-minang kita. Sebagaimana ratusan tulisan lainnya, isinya hanyalah tangkisan atas kritik yang dilakukan dari luar meskipun yang mengkritik adalah orang Minang juga.

Apakah sudah jadi tabiat orang Minang yang selalu menangkis kritikan tanpa berusaha melakukan otokritik terlebih dulu? Saya tidak tahu, namun sebagai orang Minang saya cukup memahami karena dalam pergaulan masa kecil saya di kampung dulu, dalam berkompetisi jangankan kalah, draw saja saya tak mau. Barangkali kelakuan masa kecil ini sudah membudaya pada kita semua sehingga kita cenderung reaksioner kepada kritikan yang dilontarkan pihak lain.

Sekolah Adat

Gamawan Fauzi & Hasril Chaniago mencoba menjawab tanya Megawati tentang Sumbar yang berubah serta tradisi musyawarah Niniak Mamak. Gamawan Fauzi & Hasril Chaniago mengatakan bahwa Ninik Mamak masih ada dan berjalan dengan baik dalam struktur Adat Minangkabau. Tungku tigo sajarangan masih menjadi elemen pemutus dalam setiap persoalan yang ada di Minangkabau.

Namun pertanyaannya, apakah fungsi Ninik Mamak dalam struktur sosial itu berjalan dengan seharusnya? Kemudian, bagaimanakah sistem kontrol terhadap pemahaman Niniak Mamak terhadap adat selama ini? Apakah ada standar khusus yang harus dipenuhi oleh seorang kemenakan sebelum dia manjawek gelar penghulu?

Saya belum pernah mendengar hal itu. Warih memang selalu dijawek namun pemahaman adat serta kepemimpinan ninik mamak selama ini terus menurun karena tidak ada standarisasi itu. Banyak kemenakan yang tanpa pengetahuan adat yang mumpuni manjawek warih sebagai pemegang gelar datuk. Tampaknya gelar datuk masih menjadi prestis yang bisa mengangkat status sosial dalam masyarakat sehingga tidak jarang kemenakan meminta gelar Datuk menjelang pemilu.

Kondisi demikian diperparah oleh banyaknya gelar datuk yang dibawa ke rantau. Bila Datuk sudah di rantau lalu siapa yang akan mengawasi kemenakan? Siapa yang akan mengelola harta pusako? Sudah jelas kepemimpinan dalam suatu kaum tidak akan berjalan dengan baik apabila Datuknya sendiri berada di rantau.

Memang hal ini bagai buah simalakama. Kebanyakan gelar yang dibawa ke rantau itu karena kaum merasa bahwa nan cadiak sudah di rantau semua sehingga tidak mungkin diberikan kepada kemenakan di ranah yang mungkin secara pendidikan atau kemampuan finansial tidak sebaik yang di rantau. Bila yang cadiak dan bapitih sudah di rantau semua maka gelar terpaksa diberikan kepada yang ada saja meskipun secara kemampuan memimpin sangat kurang sekali. Banyak juga yang seperti ini.

Saya sendiri tidak setuju gelar Datuk ini dibawa ke rantau. Pemegang gelar datuk mestilah harus diam dan tinggal di kampung karena mengelola dan memimpin suku itu setiap hari tidak bisa disambi begitu saja. Lalu bagaimana dengan kualitas kepemimpinan apabila yang menerima gelar datuk seandainya tidak secadiak kemenakan yang di rantau? Disinilah saya mengharapkan setiap Nagari dibawah Kerapatan Adat nagari masing-masing dapat hendaknya mengambil peran dalam pengayaan pengetahuan adat dan kepemimpinan kepada setiap niniak mamak atau datuak yang baru terpilih ataupun yang lama.

Mestinya, ada sekolah adat yang dimiliki oleh setiap nagari di Sumatera Barat untuk dapat memastikan bawah niniak mamak dipangku oleh orang yang benar-benar memahami secara paripurna adat Minangkabau. Sehingga tidak ada lagi kita mendengar datuak yang menjual dan menggadai harta pusako atau niniak mamak yang berkonflik dengan kemenakannya. Bahkan tidak jarang kita menemui seorang Datuk yang tidak menguasai Alua jo Sambah.

Jadi, keberadaan Niniak Mamak ini tidak hanya sekedar ada untuk mengisi struktur kaum, suku dan nagari saja. Keberadaan niniak mamak harus terasa kehadirannya secara nyata dan berkualitas demi kemajuan serta kesejahteraan anak dan kemenakan. Saya kira disini letak kritikan itu.

Tagak di Nan Manang

Gamawan Fauzi & Hasril Chaniago juga membahas mengenai kritikan bahwa Sumbar saat ini kehilangan tokoh di tingkat nasional. Dalam tulisan itu, Gamawan Fauzi & Hasril Chaniago terlihat mendua menyikapi ini. Pertama, Gamawan Fauzi & Hasril Chaniago mengakui terjadinya penurunan tokoh nasional yang disebabkan oleh keunggulan jumlah sekolah Minangkabau zaman dulu telah disamai bahkan dilampaui oleh daerah lain. Sehingga secara intelektual Sumbar tidak dalam posisi yang lebih unggul sebagaimana awal kemerdekaan dulu.

Namun, di sisi lain tulisan Gamawan Fauzi & Hasril Chaniago justru membanggakan bahwa Minangkabau tidak pernah absen menyumbangkan tokoh Minangkabau dalam 41 kabinet yang telah dimiliki oleh negara ini. Tentang bagaimana orang awak begitu mengapresiasi tinggi terhadap adanya orang Minangkabau dalam kabinet pemerintahan memang merupakan cerita tersendiri. Tidak pernah anak suku bangsa lain yang saya lihat begitu bersemangat mencermati susunan kabinet untuk menemukan siapa orang sukunya yang berhasil duduk menjadi menteri. Tak satupun apakah itu Jawa bahkan Sunda kecuali orang Minangkabau.

Tidaklah heran kiranya Minangkabau pada awal kemerdekaan dianggap sebagai puncak kejayaan. Ketika Hatta menjadi Wakil Presiden, Syahrir menjadi Perdana Menteri, Agus Salim sebagai Menteri Luar negeri dan seterusnya. Dalam benak kita sebagai Minangkabau, kehormatan tertinggi itu adalah menempatkan orang awak sebagai tokoh politik tingkat nasional. Disitulah kehausan orang Minangkabau itu berada: kekuasaan politik.

Namun, Minangkabau memang selalu meninggalkan paradoks yang susah dimengerti. Bila memang posisi politik yang menjadi kebanggaan Minangkabau, maka pencapaian Hatta sebagai Wapres telah dilewati oleh Bundo Megawati yang telah menjadi presiden ke-5 Republik Indonesia. Bahkan Ketua DPR sekarang adalah Puan Maharani anak dari Bundo Mega sendiri. Lalu mengapa kebanggaan itu tidak muncul sebagaimana kebanggaan di masa lalu itu? Silahkan kita jawab masing-masing dari lubuk hati yang paling dalam.

Sebabnya saya kira, orang Minangkabau saat ini tidak Tagak di Nan Manang dalam politik. Tagak di Nan Manang itu sesungguhnya bukanlah sebagai wujud pragmatisme dalam artian negatif. Tapi, hal tersebut merupakan bagian dari sikap realistis dalam dunia politik.

Sejarah menunjukkan dalam berbagai kesempatan, munculnya tokoh nasional dari Minangkabau itu berawal dari posisi tagak di nan manang. Dalam biografi Syahrir yang ditulis Rudolf Mrazek, Tan Malaka diawal kemerdekaan pernah melontarkan kepada Syahrir keinginannya untuk menjadi Presiden dan Syahrir sebagai Perdana Menteri. Syahrir kemudian menjawab bahwa selama ia berkeliling Jawa, hanya Soekarno pemimpin yang dikenal oleh rakyat. “Kita ini orang Sumatera tidak begitu dikenal oleh orang Jawa. Karena itu kita dukung saja Soekarno sebagai presiden dan Hatta sebagai wakilnya”, kira-kira begitu kata Syahrir.

Terbukti memang berada di barisan Soekarno dan Hatta membuat Syahrir berhasil menjadi tokoh yang sentral di kabinet. Bertolak belakang dengan Tan yang berakhir tragis, gugur di moncong senjata alat negara yang turut dia perjuangkan.

Tagak di Nan Manang juga diperlihatkan semasa orde baru dahulu. Sumbar menjadi salah satu lumbung suara penguasa orde baru ketika itu. Sehingga banyak tokoh Sumbar yang kemudian dipastikan masuk ke kabinet. Ada Azwar Anas, Hasan Basri Durin, Fahmi Idris, Emil Salim dan banyak lagi. Dimasa inilah Sumbar dibangun dengan pesatnya. Bahkan jalan diaspal mulus hingga ke pelosok kampung.

Contoh tagak di Nan Manang juga pernah diperlihatkan oleh Gamawan Fauzi setelah pada tahun 2005 terpilih menjadi gubernur Sumbar diusung oleh PDI-P dan PBB. Namun kemudian Gamawan bermanuver menjadi deklarator pencalonan SBY-Boediono dari Partai Demokrat sebagai Presiden pada 2009. Manuver tagak di nan manang inilah yang menurut saya menjadi faktor terpilihnya putra Sumbar menjadi Menteri Dalam Negeri kemudian hari. Mendagri ini adalah kementerian yang sangat prestisius sekali dan hanya bisa dijabat oleh orang yang benar-benar dipercaya oleh presiden.

Jadi saya kira, kalau memang ukuran pencapaian Minangakabu ini adalah masuknya tokoh Minang ke dalam kabinet, tidaklah begitu sulit. Hanya saja kita orang Minangkabau harus tagak di nan manang dalam berpolitik. Bahkan seandainya ini dilakukan sejak bundo Mega menjadi Presiden, rasa inferior bahwa kita pernah jaya itu sirna sudah. Minangkabau terbukti sebagai suku bangsa yang berhasil mengantarkan Bundo Kanduangnya menjadi presiden perempuan pertama di Indonesia. Semakin menegaskan bahwa Minangkabau adalah suku yang menempatkan perempuan dalam posisi yang tinggi.

Jadi, menyikapi kritikan Bundo Mega ada benarnya bahwa telah terjadi perubahan dalam sistem adat Minangkabau khususnya perihal Niniak Mamak yang semestinya kita terima. Kesediaan menerima kritik ini adalah sebagai langkah awal untuk dapat memperbaiki apa yang kurang. Tapi, untuk kritikan bahwa tokoh politik nasional kita jauh menurun, tidak sepenuhnya betul. Megawati Soekarno Putri --anak orang Ranah Indojati-- adalah presiden ke-5 Republik Indonesia dan detik ini partainya adalah partai pemenang pemilu yang berhasil mengantarkan “petugas partainya” menjadi presiden RI ke-7. Sayang kita tidak memilih untuk berdiri di samping sang pemenang. Seandainya kita di posisi itu entah bagaimana pesatnya pembangunan di Sumbar saat ini. Sayang sekali.


Benni Inayatullah
Peneliti Senior The Indonesian Institute Jakarta

Baca Juga

Pameran Etnofotografi: Pencak Silat Minangkabau sebagai Jembatan Diplomasi Budaya
Pameran Etnofotografi: Pencak Silat Minangkabau sebagai Jembatan Diplomasi Budaya
Tari Kreasi Budaya Minang Meriahkan Baringin Sakato Fest di Tanah Datar
Tari Kreasi Budaya Minang Meriahkan Baringin Sakato Fest di Tanah Datar
Nofel Nofiadri
Galodo Soko dalam Kontestasi Kepala Daerah
Merawat Silek Galombang Duobaleh di Bungo Tanjung Batipuh
Merawat Silek Galombang Duobaleh di Bungo Tanjung Batipuh
Langgam.id - Salah satu tema percakapan publik yang paling hangat belakangan ini adalah tentang perayaan Halloween di Saudi Arabia.
Bahasa Minang dalam Tafsir Ulang Keminangkabauan
Nofel Nofiadri
Tafsir Ulang Keminangkabauan