Stigma Kulit Putih Sebagai Kriteria Kecantikan di Media Sosial

Stigma Kulit Putih Sebagai Kriteria Kecantikan di Media Sosial

Puan Mutiara Disa. (Foto: Dok. Pribadi)

Stigma kulit putih sebagai standar kecantikan wanita seringkali terjadi di kalangan Masyarakat, khususnya di dunia digital. Hal ini menjadi faktor pendorong muncul nya pelaku rasisme dengan memberikan ujaran kebencian di media sosial.

Kejadian sudah biasa ditemui pada media sosial terutama Instagram, Facebook, dan X, dimana beberapa konten kreator khususnya wanita yang berkulit selain berwarna putih seringkali mendapatkan komentar-komentar negatif yang berujarkan kebencian. Fenomena rasisme ini telah menunjukkan dampaknya yang signifikan pada kesetaraan, kesejahteraan, dan kerukunan dalam masyarakat.

Sebenarnya, banyak faktor yang membuat stigma kulit putih sebagai salah satu kriteria kecantikan ini begitu keras di Masyarakat. Salah satu nya ketika beberapa produk baru yang dipromosikan melalui beberapa model yang memiliki kulit putih, seperti produk kecantikan, video-video iklan, serta beberapa konten lainnya. Hal ini tentu memberikan pengaruh buruk terhadap kesehatan mental para influencer dan content creator yang mendapatkan komentar-komentar negatif dari netizen. 

Salah satu content creator pada platform “TikTok” yang Bernama “Ratu Namira”, baru-baru ini mendapat ujaran kebencian di account TikTok nya. Ia sering mendapatkan komentar-komentar negatif, seperti “Aura Maghrib”, “si ireng”, “jorok” dan masih banyak lagi.

Hal itu tentunya membuat content creator tersebut merasa sedih dan merasa tidak percaya diri. Namun, di dalam situasi tersebut muncul banyak content creator seperti para YouTuber, yang merupakan sesama content creator, membela Ratu Namira secara terangterangan. Mereka mempermasalahkan tindakan rasisme tersebut dan mengimbau para netizen untuk mengatur kata-kata yang mereka gunakan di media sosial dan mengatakan bahwa kecantikan itu tidak harus distandarkan dengan orang yang memiliki kulit putih.

Hal tersebut menunjukkan bahwa para content creator tersebut punya sikap yang baik dan terbuka terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, terutama secara ras. Selain itu, para content creator tersebut telah membuka mata masyarakat terkait dengan konsekuensi yang ditimbulkan dari stigma tersebut.

*Penulis: Puan Mutiara Disa (Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas)

Baca Juga

Pernahkah anda merasa tidak aman saat berjalan sendirian, baik siang maupun malam? Atau pernah menyaksikan tindakan pelecehan seksual?
Membongkar Stigma dan Kesenjangan Hukum dalam Kasus Pelecehan Seksual
Mungkin dari judul tulisan ini kita tersadar bahwa judul tulisan ini dapat memberikan dua tema pembahasan yang mungkin berbeda, tapi
Integrasi Nilai Kepemimpinan dalam Islam dan Dinamika Medsos Hari Ini
Istilah social butterfly merupakan ungkapan populer yang merujuk pada kemampuan seseorang dalam bersosialisasi secara efektif. Istilah ini
Social Butterfly: Pentingnya Kecerdasan Sosial dalam Kehidupan dan Perkembangannya Sejak Usia Dini
Sejak masa kolonial, pajak telah menjadi isu sensitif yang menimbulkan resistensi di kalangan rakyat. Kebijakan perpajakan yang diterapkan
Resistensi Perpajakan: Relevansi Sejarah dan Implikasinya pada Kebijakan Pajak Modern
Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau yang lebih dikenal dengan singkatan H.O.S Tjokroaminoto merupakan seorang tokoh yang lahir di Ponorogo pada 16 Agustus 1882.
Warisan Intelektual H.O.S. Tjokroaminoto: Guru Para Tokoh Bangsa
Thomson Reuters melaporkan bahwa Indonesia menempati posisi ketiga di antara negara-negara dengan konsumsi busana Muslim terbesar pada
Dekonstruksi Islam Identitas: Refleksi atas Praktik Keagamaan Kontemporer