Langgam.id - Salah satu dari beberapa sumber tentang peristiwa Perang Paderi yang ditulis oleh orang Belanda adalah catatan J.E. Boelhouwer yang didatangkan untuk melawan Kaum Paderi. Masa tinggalnya di Hindia Belanda cukup singkat, ia didatangkan pada 15 Agustus 1830 dan kembali ke Belanda pada 21 Januari 1834.
Selama masa itu, ia sempat menulis catatan yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Herinneringen van mijn verblijf op Sumatra's Westkust Gedurende de jaren 1831 -1834. Buku yang jika dibahasakan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Kenang-kenangan di Sumatra Barat Selama Tahun 1831-1834 tersebut pada awalnya diterjemahkan oleh Sutan Syahrial yang meninggal pada tahun 1992.
Boelhouwer merupakan seorang prajurit berpangkat Letnan I yang ikut bersentuhan langsung dengan Kaum Paderi, terutama saat pasukan Belanda memasuki daerah Bonjol.
Boelhouwer menuliskan, Tuanku Imam sebagai pemimpin Kaum Paderi memiliki wajah yang begitu mencolok dan kehadirannya begitu penting untuk diperhatikan oleh Belanda.
Menurut Suryadi, dosen dan peneliti di Universitas Leiden Belanda yang menyempurnakan terjemahan buku ini menyebutkan, pertemuan antara Boelhouwer dengan Tuanku Imam kemungkinan terjadi saat terjadi negosiasi dengan Letnan Kolonel Elout.
Suryadi yang ikut memberikan kata pengantar pada terjemahan itu mengungkapkan, negosiasi pada Juni 1834 itu terjadi dalam rangka membicarakan cara-cara terbaik untuk mengakhiri perang yang sudah banyak memakan korban.
Secara rinci Boelhouwer menyebutkan bahwa Tuanku Imam Bonjol adalah seorang yang memiliki wajah sangat mencolok dengan jenggot terjuntai hingga ke dada. Tidak hanya itu, sosok Tuanku Imam juga disebutkan memiliki mata yang tajam.
Negosiasi itu berawal dari terdesaknya Tuanku Imam bersama tokoh lain, Tuanku Muda dalam perperangan melawan Belanda sehingga akhirnya mereka menyingkir. Sekali pun demikian, Letnan Kolonel dan Residen begitu menyadari bahwa pengaruh pemimpin-pemimpin Padri yang menyingkir itu masih besar sehingga diperlukan sebuah negosiasi.(SR)