Langgam.id - "Somewhere in The Jungle" (sebuah tempat di dalam rimba) adalah pilihan kalimat yang digunakan Prof. Dr. Mestika Zed untuk merujuk ibu kota Republik Indonesia di masa darurat. Deretan kata yang ia jadikan judul buku karyanya itu, mengulas sejarah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Buku berjudul lengkap "Somewhere in The Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Sebuah Mata Rantai yang Terlupakan" (1997) tersebut, hingga kini masih jadi referensi utama dalam kajian sejarah PDRI.
Karya yang juga jadi rujukan, saat pemerintah mengakui PDRI sebagai bagian dari mata rantai perjuangan perang kemerdekaan RI. Pengakuan itu diberikan saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2006. Kepres yang menetapkan 19 Desember, saat PDRI dicetuskan pada 1948, sebagai Hari Bela Negara.
Mestika Zed, sejarawan pertama yang mengungkap peristiwa ini secara lengkap, kini telah tiada. Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Padang (UNP) tersebut berpulang pada Minggu (1/9/2019) lalu sekitar pukul 8.40 WIB di Rumah Sakit Dr. M. Djamil, Padang.
Kabar duka yang mengejutkan banyak orang. Karena Pak Mes, begitu ia akrab disapa mahasiswa dan murid-muridnya, tak terdengar sakit sebelumnya. Prof Mestika, yang genap akan berusia 64 tahun pada 19 September nanti, memang hanya mengeluh sesak nafas pagi itu. Dirawat setengah jam setelah dilarikan ke rumah sakit, sejarawan senior ini menghembuskan nafas terakhir.
Lini masa pengguna media sosial di Sumatra Barat dipenuhi ucapan duka cita. Bukan hanya dari kalangan UNP, tempat Mestika resmi menjadi dosen dan Universitas Andalas tempat ia pernah menjadi ketua jurusan, tetapi dari berbagai kampus, profesi, pekerjaan dan antargenerasi.
Mestika Zed memang masuk ke segala lini. Ia berada dalam pergaulan luas, tidak saja di kalangan akademis dengan latar ilmu sejarah, tapi juga dalam jaringan gerakan antikorupsi dan masyarakat sipil, dunia jurnalis, mahasiswa, pemerintahan hingga para veteran perang kemerdekaan.
Semua merasa kehilangan. Banyak muridnya menulis status dan komentar sedih, mengisahkan kenangan dengan Mestika. Dari kalangan sejarah, sejak para guru di nagari-nagari terpencil hingga yang sudah bergelar doktor dan profesor berbelasungkawa, melayat ke rumah duka.
Sejak era 1980-an bisa disebut dunia pendidikan sejarah di Sumbar, bersentuhan secara langsung atau tidak langsung dengannya. Meski resminya Mestika adalah dosen di IKIP Padang yang kemudian menjadi UNP, namun ia juga lama mengajar di Universitas Andalas dan berbagai kampus lainnya. Ia pernah jadi jadi ketua jurusan sejarah di Unand.
Rasa kehilangan yang besar, salah satunya karena ilmu dan dedikasinya pada sejarah. Ia bukan saja produktif menulis buku dan menggali sejarah, tapi juga disiplin dengan fakta dan sangat detail.
Ungkapan 'Somewhere in The Jungle' misalnya, bukan bermaksud gaya-gayaan dengan Bahasa Inggris. Deretan kata itu jadi bagian judul buku, karena berasal dari lontaran salah satu narasumber buku PDRI itu.
"Saya memetik judul tersebut dari seorang narasumber sejarah, seorang veteran perang kemerdekaan, ketika saya menanyakan kepadanya dimana tempat PDRI pada masa Agresi Militer Kedua," tulis Mestika dalam Bab Pendahuluan, Buku "Somewhere in The Jungle".
Dalam kata-katanya sendiri, tulis Mestika, narasumber tersebut mengatakan, "Somewhere in the jungle."
"Secara tak terduga, ungkapan itu keluar dalam kata-kata Inggris dan bukan dalam Bahasa Belanda yang lebih lazim bagi generasi pejuang kemerdekaan... Kalau bukan keluar dari mulut pelaku sejarah yang mengalaminya, niscaya kata-kata itu tidak akan punya arti historis apa-apa," tulisnya.
Somewhere in The Jungle, menurut Mestika, dengan tepat mengacu kepada kedudukan PDRI yang sebenarnya. "Ungkapan itu menggambarkan suatu sosok sejarah pemerintahan gerilya yang berpindah-pindah tempat," tulis Mestika lebih lanjut.
"Dengan menggunakan ungkapan itu sebagai judul buku ini, saya sama sekali tidak bermaksud untuk bermain-main dengan kata-kata asing itu. Tidak. Ia merupakan kata-kata yang sudah biasa juga digunakan dalam sumber-sumber sejarah sezaman dan saya merasa yakin, bahwa ada sejumlah kecocokan dan sekaligus kekhasan realitas sejarah yang diwakilinya," sebutnya.
Ia memang berdisiplin dengan fakta dan sumbernya. Buku "Somewhere in The Jungle" setebal 355 halaman tersebut misalnya, memiliki 534 catatan kaki dari berbagai sumber, sebagiannya adalah bahan primer.
Sumber-sumber itu antara lain, hasil wawancara puluhan saksi sejarah, puluhan dokumen arsip Indonesia, Belanda, Inggris dan Amerika, 31 manuskrip, 164 buku dan artikel serta puluhan berita dari belasan koran terbitan Indonesia dan Amerika.
Beberapa dosen dan peneliti sejarah dari UNP (sebelumnya IKIP Padang) dan Univesitas Andalas seperti Amiruddin, Emrizal Amri, Siti Fatimah, Etmi Hardi dan Wannofri Samri terlibat membantu Mestika Zed sebagai peneliti, mengumpulkan bahan untuk buku tersebut.
Berbagai fakta dalam buku tersebut, dirangkai Mestika dalam kalimat yang renyah. Fakta diverifikasi, argumen diuji dengan logika dan hubungan sebab akibat dikaji dengan dalam. Namun, Pak Mes mengulasnya dengan bahasa yang santai dan dekat. Ia seperti bercerita berhadapan muka.
Bahan yang lengkap membuat Mestika bisa merunut dengan detail perjalanan PDRI sejak 19 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949 dalam buku itu. Publikasi yang mendapat penghargaan sebagai buku terbaik dari IKAPI/ Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bidang ilmu sosial pada 1999.
Bukan saja peristiwa politik penting yang dilakukan para pimpinan sipil dan militer, tapi juga menangkap berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat, sampai pada istilah khusus, cerita kecil dan bahkan kearifan lokal yang membuat narasi sejarah jadi lebih kaya.
Saat rombongan PDRI berangkat dari Sungai Dareh (kini masuk wilayah Kabupaten Dharmasraya) menuju Solok Selatan misalnya, Mestika mengisahkan, rombongan dibagi dua. Sebagian naik perahu, menyusuri Batanghari ke arah hulu. Sebagian yang lain, lewat hutan dengan berjalan kaki.
Seekor harimau selalu mengiringi rombongan yang lewat hutan, sehingga awalnya semua ketakutan. Karena harimau tidak mengganggu dan hanya mengiringi langkah mereka, ada yang menyebut bahwa mereka sebenarnya dikawal oleh harimau itu. Hal yang kemudian membuat tenang.
Hal lain, di awal buku "Somewhere in The Jungle" itu, Mestika mengisahkan bagaimana pesan proklamasi di Padang dan Bukittinggi disampaikan lewat "radio lutuik" (radio lutut). Istilah yang ternyata berarti penyampaian pesan lewat mulut ke mulut melalui penyampai pesan yang berjalan kaki alias mengandalkan lutut.
Cerita yang juga disampaikan Mestika di Buku "Sumatera Barat di Panggung Sejarah: 1945-1995" (1995) yang ia tulis bersama Edy Utama dan Hasril Chaniago dan juga Buku "Ahmad Husein: Perlawanan Seorang Pejuang" (2001) yang ia tulis bersama Wartawan Senior Hasril Chaniago.
"Prof Mestika adalah guru, kakak dan sahabat. Bersama saya saja, ada empat buku yang beliau tulis," kata Hasril Chaniago, saat bertemu sebelum jenazah Almarhum Pak Mes dishalatkan di Masjid Al Azhar, UNP.
Beberapa buku Mestika yang lain adalah "Melayu Kopidaun: Eksploitasi Kolonial dalam Sistim Tanam Paksa Kopi di Minangkabau, Sumatera Barat (1847-1908)" (1983), "Pendidikan Kolonial dan Masalah Distribusi Ilmu Pengetahuan: Suatu Perspektif Sejarah" (1986) dan "Perubahan Sosial di Minangkabau: Implikasi Kelembagaan dalam Pembangunan Sumatera Barat" (1992).
Ia juga menulis "Pemberontakan Komunis Silungkang 1927: Studi Gerakan Sosial Di Sumatera Barat" (2004). Lalu, "Pengantar Filsafat Sejarah" (2010) dan Metodologi Sejarah (2012). Kemudian, "Giyugun: Suatu Studi tentang Latar Sosial dan Karir Militer Tentara Nasional di Sumatera 1943-1950-an" (2005) serta puluhan buku lainnya.
Seperti tulisan-tulisannya, tutur lisan Pak Mes juga terasa akrab. Ia berbicara dengan diksi terpilih dan kalimat yang tersusun baik. Pilihan katanya saat membimbing karya tulis mahasiswa, mengajar di kampus, jadi pembicara dalam seminar atau saat diwawancarai jurnalis, selaras dengan kemampuannya menulis.
Ketika membuat liputan nagari-nagari yang pernah jadi ibu kota zaman PDRI, sejumlah jurnalis menjumpai Mestika Zed untuk wawancara pada 2012 di UNP. Dengan bersemangat, ia menjawab setiap pertanyaan, menjelaskan lebih detail soal PDRI.
Terkadang, ia menekankan hal-hal lucu atau menggelikan. Misalnya, Mestika menceritakan, bagaimana pola komunikasi egaliter Gubernur Militer Sumbar Mr. Mohammad Rasjid dengan Ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara.
"Sebagai menteri PDRI merangkap gubernur militer, Mr. Rasjid tentu bawahan Mr. Sjafruddin di PDRI. Namun, ketika Mr. Sjafruddin meminta Mr. Rasjid yang berbasis di Koto Tinggi datang ke Bidar Alam untuk rapat kabinet, malah ia yang diminta datang ke Koto Tinggi," katanya sambil terkekeh.
Pola komunikasi di PDRI terutama dengan Rasjid, menurut Mestika, memang egaliter. Namun tak mengurangi kekompakan PDRI mengawal Republik di masa darurat itu.
Pertemuan kabinet PDRI tersebut akhirnya terjadi di Silantai dan Sumpur Kudus, Sijunjung. Posisi ini berada di tengah antara Bidar Alam (Solok Selatan) dan Koto Tinggi (Limapuluh Kota). Ia ingin mengajarkan, begitulah sejarah. Tak selalu bercerita tentang heroisme. Ada pernak-pernik manusiawi, ada juga lucunya.
Ketika tahu para jurnalis tersebut mendatangi hampir semua nagari-nagari ibu kota Republik yang ia tulis di bukunya, Mestika mengundang untuk berdiskusi. Ia ingin tahu hasil temuan di lapangan.
Bahkan saat dikunjungi Lembaga Sandi Negara yang ingin mendalami PDRI terkait persandian radio zaman itu, Mestika kembali mengundang para jurnalis yang meliput PDRI untuk ikut memberi pendapat bila ada yang baru tentang temuan lapangan. Hal yang sebenarnya sudah ia tulis lengkap di bukunya.
"Apa yang saya tahu, semuanya sudah saya tulis di buku. Kawan-kawan jurnalis ini baru saja dari lapangan, dari nagari-nagari tersebut. Ada hal-hal baru yang mungkin belum saya temukan, yang bisa dibagi oleh kawan-kawan ini. Mereka juga ahli dalam PDRI," katanya, membuat jurnalis yang diundang salah tingkah karena disanjung seorang sejarawan senior.
Agaknya, ia ingin menghargai semangat para jurnalis yang menggali sejarah PDRI hingga ke lapangan. Meski ia tahu, tak semua berlatar ilmu sejarah. Itu caranya menghargai sambil menyemangati yang lebih muda.
Hal lain yang juga penting, Mestika yang terbiasa tampil di forum internasional dan nasional itu, tak enggan untuk hadir dalam diskusi mahasiswa, jurnalis dan organisasi masyarakat sipil yang sering diselenggarakan dengan sederhana, bermodal kopi dan gorengan.
Di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang, misalnya, Mestika hadir dalam diskusi tentang PRRI bersama tokoh-tokoh gerakan itu yang masih hidup. Ia juga tak keberatan duduk lesehan untuk diskusi bersama pers mahasiswa dalam kesempatan lainnya.
Bila didaulat jadi pembicara, ia tetap menyiapkan makalah dengan serius sama halnya dengan forum-forum lebih resmi. Saat membahas hal di luar konteks sejarah, Mestika sering kali hadir sebagai peserta diskusi.
Hal ini yang terjadi dalam rangkaian diskusi pada 2002 yang kemudian melahirkan Forum Peduli Sumatra Barat (FPSB). Forum yang mengkritisi penggunaan APBD Sumatra Barat tersebut, membuat puluhan anggota DPRD provinsi sempat disidangkan dan divonis bersalah di pengadilan tingkat pertama.
Kendati kemudian, anggota DPRD bebas di tingkat kasasi. Hal ini karena dihapusnya PP 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD yang jadi dasar persoalan hukum, saat kasus itu bergulir. Forum yang didominasi akademisi dan praktisi hukum dan ekonomi tersebut, mendaulat Mestika menjadi koordinator pertama FPSB.
Sesekali ia ikut aksi turun ke jalan untuk isu antikorupsi. Hal yang membuat Mestika bisa membawa sejarah tetap hidup sesuai dengan konteks kekinian.
Setahun belakangan, Mestika sedang mengerjakan Buku Sejarah Minangkabau yang lebih lengkap bersama Sejarawan Unand Prof. Gusti Asnan dan Hasril Chaniago.
Gusti, salah satu sejarawan senior di Sumbar setelah Mestika, juga pernah ia mentori. Guru Besar sejarah di Unand tersebut juga salah satu yang produktif menulis buku selain Mestika.
"Beliau berpulang saat sedang mengerjakan Buku Sejarah Minangkabau. Kita rencanakan dua jilid. Banyak hal baru dari bahan-bahan yang sementara kami kumpulkan. Semoga ini akan jadi pahala yang mengalir untuk beliau. Kami akan lanjutkan kerja beliau ini," kata Hasril Chaniago.
Mestika Zed lahir di Batuhampar, Limapuluh Kota, Sumatra Barat pada 19 September 1955. Ia menamatkan S1 ilmu sejarah di Universitas Gajah Mada (UGM) pada 1980, setelah sebelumnya menempuh pendidikan D3 Sejarah di IKIP Padang.
Gelar magister dalam ilmu sejarah ia peroleh di Universitas Indonesia pada 1984. Sementara, gelar PhD, doktor ilmu sejarah tersemat di namanya setelah tamat dari Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda pada 1991.
Mestika yang menguasai Bahasa Ingggris dan Belanda tersebut, menjadi dosen di IKIP Padang yang kemudian berubah nama jadi UNP sejak 1982. Ia juga sempat mengajar di Universitas Andalas dan IAIN Imam Bonjol Padang yang kemudian berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol, Padang.
"Beliau ilmuwan sejati. Bukan hanya dibanggakan di UNP. Ia sejarawan dengan pemikiran original, sulit dicari tandingannya saat ini. Kita betul-betul kehilangan panutan," kata Rektor UNP Ganefri, saat melepas jenazah Pak Mes di rektorat UNP.
Ratusan orang hadir melepas Prof Mestika pada Minggu siang itu. Masjid Al Azhar UNP penuh saat jenazah disalatkan selepas zuhur. Sebagian dari mereka terus mengantar ke peristirahatan terakhir.Pak Mes di Batuhampar, Limapuluh Kota, nagari tempat ia dulu dilahirkan.
Selamat jalan Pak Mes. Teruslah ke surga, ilmuwan sejati. (HM/AE)