Tidak seperti 9 tokoh sejarah lainnya, pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto pada 10 November 2025 lalu masih menyisakan polemik di tengah masyarakat. Bahkan kelihatannya silang pendapat tentang peran kesejarahan mantan penguasa Orde Baru tersebut belum akan berhenti dalam waktu dekat ini.
Dalam upacara penganugerahan di Istana Negara itu, Soeharto mendapat status pahlawan nasional di bidang perjuangan dan politik. “Soeharto menonjol sejak era kemerdekaan sebagai wakil komandan BKR Yogyakarta. Soeharto memimpin pelucutan senjata Jepang di Kota Baru pada 1945,” begitu narasi pendek yang diucapkan pemandu upacara.
Memang sejak awal masyarakat sudah terbelah menyikapi status kepahlawanan Soeharto. Pihak yang mendukung mengingatkan jasa besar Soeharto semasa menjadi Presiden, khususnya dalam pembangunan ekonomi dan sosial. Untuk hal ini, kalau didaftar, memang cukup panjang. Mulai proyek SD Inpres, pemberantasan buta huruf, keluarga berencana, pembangunan infrastruktur hingga swasembada pangan.
Namun mereka yang kontra menilai Soeharto tidak layak dijadikan pahlawan nasional. Ia adalah diktator yang tidak hanya telah membungkam demokrasi, tetapi juga terkait dan mesti bertanggungjawab atas banyak kasus pelanggaran HAM dan bahkan kejahatan kemanusiaan, termasuk pembunuhan massal terhadap mereka yang dituduh komunis pasca G30S. Dalam hal ini, Soeharto seringkali dibandingkan dengan beberapa diktator dunia lainnya seperti Idi Amin (Uganda), Pol Pot (Kamboja), dan Josef Stalin (Uni Soviet).
Soeharto juga dianggap terkait dan terlibat dalam kasus-kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang bahkan melibatkan keluarganya. Gerakan reformasi yang menuntutnya mundur dari jabatan presiden pada tahun 1998 antara lain karena alasan KKN. Perihal tuduhan sebagai pemimpin kleptokrat, Soeharto disejajarkan dengan pemimpin korup dunia lainnya, seperti Ferdinand Marcos (Filipina), Mobutu Sese Seko (Kongo), Sani Abacha (Nigeria), Slobodan Milosevic (Serbia), dan Bashar Al Assad ( Suriah).
Keputusan Politik
Polemik seputar kepahlawanan Soeharto tentulah mencerminkan dinamika pluralitas pendapat dan pemahaman masyarakat Indonesia tentang peran kesejarahannya, khususnya selama menjadi presiden. Memimpin negara sebesar Indonesia selama 32 tahun dengan “tangan besi” sudah tentu banyak kebijakan dan perilaku kekuasaannya menimbulkan pro dan kontra, tidak hanya pada masanya, tetapi juga periode-periode setelahnya.
Hal serupa sebenarnya juga bisa berlaku untuk tokoh-tokoh besar lainnya. Asumsinya, tokoh dengan kekuasaan yang sangat besar dan apalagi nyaris tanpa kekuatan kontrol-pengimbang, tak hanya memiliki jasa yang besar, tetapi sering juga disertai dosa-dosa yang besar. Sebelumnya dan sampai sekarang, kurang apa silang pendapat dan pemahaman tentang kebijakan dan perilaku kekuasaan Presiden Sukarno khususnya di masa Demokrasi Terpimpin, namun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di era reformasi menetapkannya sebagai pahlawan nasional. Jasa-jasa Bung Karno, termasuk sebagai proklamator kemerdekaan, lebih ditonjolkan, sekalipun tidak melupakan kesalahan-kesalahannya.
Bagaimanapun pemberian gelar pahlawan nasional merupakan keputusan politik yang tidak hanya bersifat subyektif dari pemerintah berkuasa, tetapi juga dapat menjadi suatu simbol integrasi nasional (obyektif). Di masa SBY juga, mantan Perdana Manteri Mohammad Natsir dan Ketua PDRI Syafruddin Prawiranegara yang notabene kemudian terlibat “pemberontakan” PRRI dan pada masanya menjadi “musuh“ politik pemerintah (Sukarno), juga ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Selain itu, mempahlawankan tokoh-tokoh besar yang sebelumnya sudah dilekatkan “baju tebal” juga dapat mencerminkan watak bangsa sendiri yang dalam batas tertentu mungkin tidak mudah dipahami.
Dulu ketika mantan Perdana Menteri Sutan Sjahrir meninggal dalam kondisi sangat miris dengan status tahanan (dipenjara tanpa pengadilan) rezim Demokrasi Terpimpin dan Sukarno langsung memberinya gelar pahlawan nasional, peristiwa “aneh bin ajaib” itu tentu tidak bisa dipahami dengan pendekatan politik “garis lurus.” Mungkin demikian juga kini ketika Presiden Prabowo Subianto memberikan kehormatan tertinggi secara simultan kepada Soeharto, Marsinah dan juga Gus Dur, suatu cara pandang “hitam putih” tentu juga tidak bisa dipakaikan.
*Israr Iskandar, dosen sejarah FIB Unand





