Langgam.id - Diberlakukannya Undang-undang (UU) Nomor 18 tahun 2018 tentang pengelolaan sampah dengan mewajibkan penerapan system sanitary landfill di Tempat Pembuang Akhir (TPA) yang dioperasikan, Komite II Dewan Perwalikan Daerah (DPD) RI menilai hal itu sulit diterapkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda).
Wakil Ketua Komite II DPD RI, Busmati Zainudin menyebutkan, system sanitary landfill itu membutuhkan biaya besar. “Biayanya cukup besar, biaya operasional yang mahal dimulai dari penyediaan lahan, pengadaan alat berat, hingga penyediaan tenaga yang terdidik,” ujarnya saat RDPU terkait penyusunan RUU tentang perubahan atas UU No. 18 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Sampah di Gedung DPD RI, Jakarta, Selasa (21/1/2020).
Undang-undang itu, katanya, akan berimplikasi pada Pemda. “Dalam UU ini diamanatkan Pemda harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama satu tahun,” jelasnya.
Selain itu, juga mengharuskan menutup tempat pemprosesan terbuka paling lama lima tahun terhitung sejak berlakunya UU tersebut.
Menurutnya, tidak semua Pemda memiliki kemampuan yang sama dalam mengimplementasikan amanat UU tersebut. “Tidak semua Pemda mempunya kemampuan terkait implementasi amanat UU ini,” kata Senator asal Provinsi Lampung itu.
Sementara itu, Anggota Komite III, Denty Eka Widi Pratiwi menilai bahwa lahan atau kawasan ideal untuk TPA di Jawa sangat sulit. Bahkan, ada di beberapa daerah justru penduduknya tinggal berdekatan dengan TPA.
“Saya yakin untuk kawasan TPA di Jawa sudah sulit. Kita tahu pengelolaan sampah semua daerah mempunyai permasalahan yang sama,” ujarnya.
Senator asal Provinsi Jawa Tengah itu berharap untuk permasalahan TPA bisa juga dicarikan solusi untuk di Kalimantan, yang sebentar lagi menjadi ibu kota.
Terkait inovasi dan kreativitas persoalan sampah bisa belajar dari Kota Malang dan Surabaya. “Kita juga harus mencari solusi persoalan sampah atau TPA di Kalimantan yang sebentar lagi menjadi ibu kota,” harapnya.
Lalu, Anggota Komite III DPD RI, Habib Hamid Abdullah menjelaskan, di Banjarmasin ada kota terpadu yang terdiri lima kabupaten, namun hanya satu kabupaten yang mengelola sampah.
“Memang kami agak ketinggalan sedikit terkait pengelolaan sampah, karena hanya satu kabupaten yang mengelola. Untuk di Banjarmasin di setiap minimarket sudah tidak lagi menggunakan kantong plastik. Ke depan kami juga berharap bisa mengelola sampah secara modern,” ujar senator asal Provinsi Kalimantan Selatan ini.
Lebih lanjut, Sekda Kota Malang, Wasto mengatakan, Undangp-undang Nomor 18 tahun 2018 membawa paradigma baru, bahwa pengelolaan sampah tidak lagi berfokus pada penanganan di hilir. Namun, berorientasi pada upaya pengelolaan terpadu sejak hulu hingga hilir.
“Tapi, dalam penerapannya, sejumlah hal perlu dievaluasi kembali,” paparnya.
Wasto menjelaskan, paradigma lama mayoritas sampah hanya dikumpulkan atau diangkut lalu dibuang ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) hingga TPA.
Akibatnya, timbunan sampah semakin besar dan TPA menyebabkan kepenuhan. “Di Kota Malang sudah ada empat TPA yang ditutup, dan satu-satunya TPA Supiturang pun kondisinya semakin terbatas. Kendala serupa juga dihadapi kota-kota lain di Indonesia,” tegasnya.
Di kesempatan yang sama, Kepala Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau Surabaya, Chalid Buhari menilai penangan permasalahan sampah tidak bisa mengandalkan di hilir saja, seperti TPAnya.
“Terpenting keterlibatan stakeholder harus dilibatkan, bukan hanya Pemdanya saja. Bersamaan dengan itu, pihak perusahaan swasta dan pengusahaan juga harus dilibatkan,” ujarnya.
Chalid menyakini, bahwa pihaknya optimistis untuk mencapai target nasional, yaitu tahun 2025 terdapat pengurangan sampah sebesar 30 persen dan penanganan sampah sebesar 70 persen.
“Kita wujudkan target tersebut bersama-sama,” katanya. (*/Inforial)