Oleh: Habibur Rahman
Sistem pewarisan dalam adat Minangkabau dikenal dengan istilah "waris bertali darah". Prinsip dasar dari sistem ini menekankan garis keturunan ibu (matrilineal) sebagai basis pewarisan, di mana harta pusaka dan gelar penghulu diwariskan melalui hubungan darah dengan ibu.
Sistem ini tidak hanya sekadar mengatur pembagian warisan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai kolektivitas, kebersamaan, dan kesinambungan adat. Dalam aturan adat Minangkabau konsep ini dijabarkan melalui istilah "Warih Pangkeh," yang terdiri atas dua jenis, yaitu "warih nan saluruah" dan "warih nan kabuliah".
"Warih nan saluruah" merupakan pewarisan yang berlaku untuk seluruh anggota kaum yang memiliki hubungan darah langsung. Mereka meliputi saudara sekandung, kemenakan, cucu, cicit, piwik, hingga mamak (paman dari pihak ibu).
Dalam adat, prinsip ini dijelaskan melalui ungkapan, "Jauah nan buliah ditunjuakkan, ampiang nan buliah dikakokkan, saluruah kateh saluruah ka bawah, ampek kateh, ampek ka bawah." Artinya, semua anggota kaum yang memiliki tali darah, baik laki-laki maupun perempuan, berhak atas warisan berupa harta pusaka tinggi, seperti tanah, sawah, ladang, rumah gadang, dan tapian.
Harta-harta ini bersifat komunal, tidak dapat dipindah-tangankan, dijual, atau diwariskan secara individu, sesuai pepatah adat: "Bungka tak bakapiang, minyak tak babagi, sakutu tak babalah, hak bapunyo ganggam baruntuak." Filosofi ini menegaskan bahwa semua peninggalan leluhur merupakan milik bersama, yang harus dijaga oleh seluruh anggota kaum.
Gelar pusaka (soko) dalam "warih nan saluruah" diwariskan kepada laki-laki di dalam kaum yang layak dan mampu menjalankan tanggung jawabnya sebagai penghulu. Dalam adat Minangkabau, gelar pusaka memiliki peran penting sebagai simbol kehormatan dan pemersatu kaum. Proses pewarisannya diatur melalui musyawarah dan mufakat, memastikan bahwa setiap gelar diberikan kepada individu yang dapat menjaga martabat keluarga serta adat.
Adapun "warih nan kabuliah" muncul sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan sosial, di mana sebagian anggota kaum pindah ke wilayah lain untuk membuka lahan baru, memperluas keturunan, dan membangun komunitas baru.
Meski telah pindah, hubungan mereka dengan kaum asal tetap dipertahankan, baik melalui adat, gelar pusaka, maupun hubungan kekerabatan. Dalam hal ini, kaum yang berpindah tetap mendirikan gelar penghulu dengan nama yang sama seperti di kaum asalnya, misalnya Datuk Bandaro di negeri asal tetap menjadi gelar penghulu di wilayah baru. Hal ini mencerminkan prinsip adat: "Jauah cinto mancinto, kok dakok jalang manjalang, supayo tah nan jan putuih, jajak nan jan lipuih."
Hubungan antara kaum asal dan kaum baru tidak hanya sebatas kekerabatan simbolik, tetapi juga mencakup pewarisan harta pusaka dan gelar penghulu. Jika salah satu kaum punah, kaum lainnya dapat mengambil alih gelar dan meneruskan keturunan, sesuai prinsip: "Kabau mati kubangan tingga, ruso malompek baluka tingga." Ini menunjukkan bahwa adat Minangkabau memiliki mekanisme yang fleksibel untuk menjaga keberlangsungan komunitas dan harta pusaka agar tetap menjadi milik bersama.
Secara teoritis, sistem "waris bertali darah" dalam adat Minangkabau sejalan dengan konsep matrilineal yang dijelaskan oleh Lewis Henry Morgan seorang etnologi Amerika Serikat yang terkenal karena penelitiannya mengenai hubungan kekeluargaan, yang mana kita diberitahu bahwa sistem ini tidak hanya menentukan alur pewarisan, tetapi juga menegaskan peran perempuan sebagai pemilik utama harta pusaka tinggi.
Sementara laki-laki berfungsi sebagai pelindung dan pengelola. Pierre Bourdieu dalam teorinya tentang "habitus" juga menegaskan bahwa pewarisan bukan hanya tentang harta materi, tetapi juga transfer nilai, norma, dan simbol sosial. Jika bicara dalam tataran Minangkabau, pewarisan gelar penghulu dan harta pusaka tinggi berfungsi sebagai sarana untuk menjaga identitas kolektif serta keberlanjutan adat.
Akan tetapi, di era modern sistem ini menghadapi tantangan signifikan, seperti urbanisasi dan individualisme, yang mulai menggeser pola hidup masyarakat. Banyak generasi muda yang tidak lagi memahami nilai-nilai adat, sehingga berpotensi mengancam keberlangsungan sistem "waris bertali darah". Oleh karena itu, pelestarian adat melalui pendidikan budaya dan penguatan hukum adat menjadi langkah penting untuk menjaga warisan ini.
Pada akhirnya sistem "waris bertali darah" bukan sekadar mekanisme pewarisan, tetapi juga alat untuk menjaga kontrol sosial dan kebersamaan dalam masyarakat Minangkabau (pada kaum). Prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya merepresentasikan kearifan lokal yang relevan untuk diterapkan, bahkan dalam menghadapi tantangan modernitas.
Sebagai penutup, ada sebuah ungkapan dalam bahasa Minang :
"Kalau dek pandang sapinteh lalu, banyak pahamnyo tagaliciak, pandai tak rago dek ba guru, salam tak sampai pado kasiah."
Maknanya : Ajaran Adat tidak dapat dipahami, apalagi untuk diamalkan kalau sekiranya hanya dengan mendengar pepatah petitih, tampa mendalaminya.
Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.