Sinergi Kearifan Lokal, Inovasi Teknologi, dan Hilirisasi: SINTETA 2025 FATETA Unand Dorong Ketahanan Pangan dan Keberlanjutan Pertanian Indonesia

Sinergi Kearifan Lokal, Inovasi Teknologi, dan Hilirisasi: SINTETA 2025 FATETA Unand Dorong Ketahanan Pangan dan Keberlanjutan Pertanian Indonesia

Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas (Fateta Unand) menggelar Seminar Nasional Teknologi Pertanian (SINTETA) 2025, kemarin, di Gedung Pasca Sarjana Unand, Padang

Langgam.id – Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas (Fateta Unand) sukses menggelar Seminar Nasional Teknologi Pertanian (SINTETA) 2025, sebuah forum ilmiah tahunan yang mempertemukan akademisi, peneliti, praktisi, dan mahasiswa dari berbagai wilayah Indonesia. Tahun ini, SINTETA mengusung semangat sinergi antara kearifan lokal, inovasi teknologi, dan hilirisasi sebagai strategi untuk memperkuat ketahanan pangan dan keberlanjutan pertanian nasional.

Ketua Pelaksana Neswati dalam laporannya menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang berkontribusi terhadap suksesnya kegiatan berskala nasional tersebut. Ia menegaskan bahwa SINTETA 2025 bukan sekadar forum ilmiah, melainkan wadah kolaborasi untuk menjawab tantangan global dalam hal efisiensi sumber daya, ketahanan pangan, dan keberlanjutan lingkungan.

Dekan Fateta Alfi Asben dalam sambutannya menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor antara akademisi dan industri. “SINTETA menjadi ruang bagi sivitas akademika untuk menunjukkan kontribusi nyata melalui riset dan inovasi yang berdampak pada transformasi pertanian nasional,” ujarnya.

Kegiatan secara resmi dibuka oleh Aidinil Zetra, Sekretaris Rektor Universitas Andalas, yang mewakili Rektor. Dalam sambutannya, ia menegaskan komitmen Unand untuk terus mendorong pengembangan riset inovatif yang memberi manfaat langsung bagi masyarakat. “Pertanian adalah tulang punggung ekonomi bangsa, dan kampus harus menjadi penggerak utama inovasi di sektor ini,” ungkapnya.

Seminar ini menghadirkan sejumlah narasumber nasional seperti Desrial, Feri Arlius, Efri Mardawati, Kiwi Aliwarga, dan Muhammad Makky, serta dihadiri dosen, mahasiswa, dan perwakilan Kelompok Wanita Tani Sumatera Barat.

Sesi pertama dibuka dengan pemaparan inspiratif dari Feri Arlius yang mengangkat tema “Kearifan Lokal dan Teknologi Informasi dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.” Ia menekankan bahwa kearifan lokal dan teknologi bukan dua hal yang saling bertentangan, melainkan dua kekuatan yang perlu disinergikan.

“Teknologi tanpa kearifan lokal hanya akan menghasilkan kemajuan tanpa makna, sedangkan kearifan lokal tanpa teknologi akan tertinggal dalam pusaran zaman,” ujarnya.

Ia mencontohkan berbagai praktik kearifan lokal seperti parak di Sumatera Barat, sasi di Maluku, awig-awig di Bali, dan hutan larangan di Riau, yang mengandung prinsip konservasi dan keseimbangan sosial. Feri menekankan bahwa pengelolaan sumber daya berbasis teknologi harus tetap berpijak pada nilai sosial dan etika lokal, dengan kolaborasi antara masyarakat adat, akademisi, dan pemerintah sebagai kunci keberlanjutan.

Teknologi digital seperti IoT, big data, dan AI menurutnya dapat memperkuat efisiensi pengelolaan lahan dan hasil pertanian, namun keberhasilannya bergantung pada kemampuan adaptasi sosial masyarakat dan dukungan kebijakan yang berpihak pada kearifan lokal.

Sesi kedua diisi oleh Efri Mardawati dari Universitas Padjadjaran dengan topik “Inovasi Teknologi Konversi Biomassa melalui Penerapan Biorefineri dalam Rangka Hilirisasi Bioproduk Agroindustri Berkelanjutan.”

Ia mengajak peserta menengok kembali potensi besar biomassa Indonesia, mulai dari limbah pertanian, residu kehutanan, hingga hasil samping industri agro yang dapat diolah menjadi bioenergi, bioplastik, bahan kimia hijau, dan pangan fungsional bernilai tinggi melalui pendekatan biorefineri.

Namun, Efri menegaskan bahwa hilirisasi tidak boleh hanya menguntungkan industri besar. “Hilirisasi harus berkeadilan. Teknologi tepat guna perlu dikembangkan agar petani dan pelaku usaha kecil dapat ikut serta dalam rantai nilai. Di situlah letak keadilan ekonomi dan keberlanjutan sosial yang sejati,” jelasnya.

Ia mencontohkan model biorefineri skala kecil, seperti pengolahan limbah tandan kosong sawit menjadi pupuk organik, atau pemanfaatan kulit kopi menjadi biochar dan bahan penjernih air. Menurutnya, keberhasilan hilirisasi berkeadilan membutuhkan dukungan sinergis antara pemerintah, akademisi, dan industri, baik dalam riset, transfer teknologi, maupun kebijakan pendanaan.

Melalui seluruh sesi diskusi, SINTETA 2025 menegaskan satu pesan kuat: masa depan pertanian Indonesia tidak hanya ditentukan oleh seberapa maju teknologinya, tetapi juga seberapa kokoh akar budayanya dan seberapa adil manfaatnya bagi masyarakat.

Sinergi antara kearifan lokal, inovasi teknologi, dan hilirisasi berkeadilan menjadi fondasi menuju pertanian yang tangguh, berdaya saing, dan berkelanjutan bagi generasi mendatang. (*/Yh)

Baca Juga

Delegasi Fakultas Hukum Universitas Andalas (FHUA) berhasil meraih juara umum National Moot Court Competition (NMCC) (AHT)
Fakultas Hukum UNAND Raih Juara Umum NMCC AHT 2025
Ibu-Ibu Nagari Balai Nan Panjang Antusias Ikuti Pelatihan Olahan Pisang bersama Tim Pengabdian Unand
Ibu-Ibu Nagari Balai Nan Panjang Antusias Ikuti Pelatihan Olahan Pisang bersama Tim Pengabdian Unand
Universitas Andalas Laksanakan Pengabdian Kemitraan Berbasis Masyarakat di Nagari Balai Nan Panjang
Universitas Andalas Laksanakan Pengabdian Kemitraan Berbasis Masyarakat di Nagari Balai Nan Panjang
Duta Besar (Dubes) Australia, Roderick Brazier mengungkapkan Sumatra Barat (Sumbar) berada di garda terdepan dalam manajemen risiko bencana.
Australia Komitmen Perdalam Kolaborasi dengan Indonesia dalam Ketahanan Bencana
Kritik Program Pertanian Mahyeldi-Vasko, BEM Unand: Nilai A-, A untuk Gaya Minus untuk Kinerja
Kritik Program Pertanian Mahyeldi-Vasko, BEM Unand: Nilai A-, A untuk Gaya Minus untuk Kinerja
Pemkab Tanah Datar menerima bantuan dari Kementerian Pertanian (Kementan) senilai Rp17 miliar untuk kegiatan Optimasi Lahan Non Rawa (sawah).
Tanah Datar Dapat Kucuran Dana Rp17 Miliar untuk Optimasi Lahan Sawah