Oleh: Muhammad Ridha
Dua hari sebelum pemilu (pilpres) 14/2/2024 diselenggarakan saya meluncurkan essai berjudul Musa, Anies dan Pengulangan Sejarah (langgam.id, 12/2/2024). Pada batas tertentu ditemukan banyak kemiripan kisah di antara mereka, meskipun jarak pengulangannya demikian jauh baik secara waktu, tempat maupun wujud peradaban yang membingkai narasi. Terutama menyangkut pola relasi keduanya dengan rezim penguasa.
Musa vis a vis Fir’aun (Ramses II, Mineptah, Thutmose) Mesir, abad 13 SM berdasarkan kisah lama dan Anies vis a vis presiden (Jokowi) untuk sejarah kontemporer, Indonesia abad 21. Patut diduga proses pengulangan sejarah tengah berlangsung di tanah air. Singkat kata, apa yang terjadi di Mesir 34 abad silam, sepertinya tengah bergerak ke titik repetisi historisnya di bumi nusantara.
Pada akhir kolom yang sama disimpulkan beberapa poin prediksi tentang hal- hal menyangkut gagasan. Termasuk ramalan terkait “klaim” akan berlangsungnya dua putaran dimana paslon 01, pasangan Anies-Muhaimin pada akhirnya akan menjadi pemenang dipartai final pada 26 Juni 2024 nanti.
Pengrilisan lembaga survei dan keputusan KPU beberapa waktu yang lalu yang memenangkan kubu 02 dan bukannya 01 sebagaimana prediksi justru semakin menegasikan peluang probabilitas pengulangan sejarah semakin besar. Dikatakan demikian karena “ketakutan yang sama” juga dialami manusia sekelas nabi Musa dan warga Mesir lainnya sebelum kemenangan yang bersifat happy ending datang diakhir perlombaan (kontestasi). Artinya, fase maupun momen kritis berupa kekalahan “sementara” ini memang mesti dilewati terlebih dahulu. Bukankah dengan adanya gugatan sengketa pilpres ke MK sebagaimana tengah dilayangkan kubu 01 dan 03 menunjukkan bahwasanya kontestasi pada dasarnya belum berakhir?
Untuk keperluan penjelasan dan argumentasi maka pembahasan esai ditujukan pada dua unsur konstitutif narasi pada peristiwa perlombaan magis (mistis, klenik, supra natural) yang berlangsung antara Musa vis a vis para penyihir istana kerajaan Mesir Fir’aun. Yakni, tentang sihir dan penyihir yang pada essai sebelumnya memang tidak bisa dideskripsikan, mengingat keterbatasan kolom. Lalu, mengaitkan keduanya (sihir dan penyihir) dengan fenomena hitung cepat (quickcount) yang dirilis lembaga-lembaga survei pasca kontestasi pilpres 2024 antara paslon 01 (Amin) vis a vis paslon 02 (PS- GRR) proxy Presiden (Jokowi), disamping tentunya paslon 03 (GP-MMD).
Sebagaimana halnya sihir dan penyihir menjadi unsur penting dalam perlombaan pada kisah lama maka untuk konteks kekinian quickcount dan peran lembaga-lembaga survei juga menjadi elemen yang yang tidak bisa dipisahkan dari kontestasi pilpres. Adapun aspek pengumuman KPU sebagai pihak penyelenggara tidak diulas lebih jauh, mengingat keberadaannya tidak memiliki acuan institusional pada kisah lama. Lagi pula, keselarasan keputusannya dengan angka quickcount sudah dapat ditebak sebelumnya.
Secara metodologi isu pada tulisan berikut bukan pada otentisitas teks suci namun pada kesahihan (kredibilitas) informasi yang disampaikannya. Yang jelas sebagai dokumen tertulis informasi teks wahyu (pengetahuan apriori) merupakan fakta tersendiri yang menarik untuk dikaji secara induktif-empiris untuk keperluan pemaknaan sejarah kontemporer.
Kolom di bawah dapat dikatakan semacam ijtihad intelektual dalam rangka membumikan Al Quran - meminjam istilah Quraish Shihab- lewat perspektif studi sejarah.
Titik Pemberangkatan
Dalam perspektif Islam ayat pada hakekatnya terdiri dari dua jenis. Pertama, ayat atau teks tertulis sebagaimana yang tampak pada mushaf Al Quran atau yang umum diistilahkan dengan ayat-ayat tanziliyah. Kedua, ayat atau teks yang terbentang berupa fenomena faktual-empiris yang merupakan aktualisasi ataupun perwujudan dari teks tertulis tersebut. Lazim diistilahkan dengan ayat-ayat kauniyah.
Sehubungan dengan itu dalam kaitannya dengan pengulangan sejarah kisah Musa versus Fir’aun dengan fenomena Anies versus presiden (Jokowi) untuk konteks kekinian diperlukan sedikit catatan. Terutama dalam hal praksis pembacaan, pemaknaan -atau tepatnya- interpretasi terhadap teks suci. Ia menjadi tidak terbatas pada pembacaan teks secara literer diseputar perlombaan sihir-menyihir antara Musa versus Fir’aun yang direpresentasikan para penyihir istana kerajaan raja Mesir. Namun pada saat yang sama juga diperlukan pembacaan yang logis dan analitik terhadap “rivalitas” Anies vis a vis Presiden Jokowi yang diwakili lembaga-lembaga survei berdasarkan fenomena dan perkembangan politik Indonesia kontemporer.
Intinya, dalam hal ini bukan pembacaan teks yang menekankan hafalan ad verbatim yang dipentingkan. Namun lebih pada aspek analisis terhadap teks dan konteks secara bersamaan. Walhasil, fenomena “ketertundaan sementara” kemenangan Amin pada kontestasi pilpres 2024 dalam konteks pengulangan sejarah mesti dibaca secara holistik sehingga dapat dipahami dan dimaknai.
Dalam struktur narasi kisah Musa vis a vis Fir’aun secara umum keberadaan term sihir dan penyihir berawal dari tantangan yang diinisiasi pihak istana Fir’aun kepada Musa untuk mengadakan perlombaan magis (klenik, supra natural). Dan Musa yang ditemani Harun kala itu menerima tawaran kontestatif tersebut.
Adapun tantangan itu sendiri dipicu oleh keterkejutan, ketakutan sekaligus ketakjuban Fir’aun. Tepatnya pasca Musa mempertontonkan mu'jizat tongkatnya yang dapat berubah menjadi ular dihadapan sang raja dan pembesar istana lainnya. Dapat dikata rasa keterlecehan kolektif pihak istanalah yang membuat kontestasi terselenggara.
Kearah Kontekstualisasi Teks: Sihir dan Penyihir
Adalah sesuatu yang menarik ketika mencermati pembicaraan Al Quran tentang sihir. Meskipun tidak disebutkan pendefinisiannya secara khusus, namun pencirian natur-nya dapat ditemukan dalam mushaf. Setidaknya terdapat dua ciri terkait sihir dalam dua surat yang berbeda. Pertama, merayap dengan cepat. (QS. Taha: 66). Kedua, menyihir mata orang banyak. (QS. Al Araf: 116).
Sekarang kita mencoba untuk mengkontekstualisakan dua ciri sihir sebagaimana digambarkan Al Quran dengan fenomena quickcount yang menghebohkan publik tanah air lebih kurang satu dua bulan yang lalu. Untuk keperluan sistematika penjelasan maka tinjauan dan pengulasan kedua ayat dilakukan secara terpisah. Kita mulai dari ciri pertama sihir berdasarkan informasi wahyu pada surat Taha 66. Maka tiba- tiba tali- tali dan tongkat-tongkat mereka terbayang oleh Musa merayap dengan cepat.
Penggunaan adverb “cepat” pada redaksi “merayap dengan cepat” agaknya penting untuk digarisbawahi. Sepertinya pilihan terminologi Al Quran untuk mendeskripsikan arti dan maksudnya lebih dari sekedar cukup bagi pembaca untuk mengasosiasikan penggalan aspek perlombaan magis pada kisah lama dengan istilah hitung ataupun jajak “cepat” pada pemilu kemarin. Begitu pula dengan pemakaian kata Inggris “quick” pada frasa quickcount jelas memiliki padanan arti “cepat” dalam bahasa Indonesia. Hanya saja istilah quickcount lebih populer dan familiar ditelinga masyarakat kita, terutama pada masa pemilu seperti sekarang ini. Bahkan, term tersebut lebih sering digunakan orang maupun media dibandingkan frasa serapannya sendiri: hitung cepat atau jajak cepat.
Kiranya kata kerja “mendahului” dalam konteks ini dapat diartikan sebagai aktifitas maupun kegiatan penghitungan yang dilakukan berbagai lembaga survei terkait perolehan angka ketiga paslon dengan pembagian secara proporsional berdasarkan skala persentase. Secara argumentatif penayangan hitung cepat (quickcount) memang mendahului penghitungan suara yang sebenarnya (riel count) secara manual (C 1-plano). Dan faktanya memang demikian karena -aktifitas- proyeksi hasil pada quickcount oleh lembaga-lembaga survei secara komparatif lebih cepat tuntasnya dari penghitungan petugas KPPS maupun KPUD.
Adapun “kelambanan” penyelesaian kerja petugas dilapangan dapat dimengerti akibat beban pekerjaan, sehingga waktu dan tenaga yang diperlukan untuk merampungkannya tentu lebih banyak. Untuk kemudian diinput secara bertahap kedalam sistem IT KPU lewat proses sirekap. Poinnya, dimungkinkannya pekerjaan para lembaga survei selesai dengan cepat karena yang dijadikan dasar penghitungan sebatas sampel random pada beberapa TPS yang tidak seberapa.
Kedua, kiranya frasa “merayap cepat” pada ayat diatas untuk konteks kekinian dapat pula diartikan ataupun dimaknai secara simbolik. Bukankah visualisasi tabel-tabel batang pada quickcount selalu bergerak naik selaras dengan input data yang masuk dari berbagai daerah dan provinsi, termasuk pemilih dari luar negeri kedalam sistem makro IT KPU? Dan diagram, grafis maupun tabel- tabel tersebut selalu bergerak naik (merayap) secara konstan. Tren tersebut terus berlangsung tanpa mengenal penurunan sampai pada titik persentase (100%) yang dibagi secara proporsional kepada ketiga paslon. Masing-masing 01 (Amin), 02 (PS- GRR) dan yang terakhir 03 (GP- MMD).
Adapun ciri sihir yang kedua ditemukan pada Al- A'Raf 116 yang berbunyi “…Maka, setelah mereka melemparkan, mereka menyihir mata orang banyak dan menjadikan orang banyak itu takut karena mereka memperlihatkan sihir yang hebat (menakjubkan)”. Dalam kisah lama saat perlombaan berlangsung disebutkan bahwasannya pasca para penyihir istana melemparkan instrumen sihir berupa tali-tali dan tongkat- tongkat maka hal tersebut menyihir mata orang banyak dan membuat mereka takut.
Dengan “mengidentikkan” sihir dengan quickcount untuk konteks kontemporer maka terlihat adanya kemiripan efek yang dimiliki keduanya terhadap masyarakat luas. Quickcount sebagai sihir “modernis” pada kenyataannya memang memiliki dampak besar terhadap masyarakat luas. Entah bersifat kebetulan atau tidak term “menyihir” yang digunakan Al Quran secara semantik bermakna memukau, menipu dan – atau mengakali berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Dengan kata lain sihir ataupun quickcount yang dilemparkan (ditayangkan, dirilis) para lembaga survei lewat berbagai media dalam kenyataannya memang mumpuni untuk membuat mata orang banyak (publik) terpukau, terperdaya, tertipu (tersihir). Apalagi selama ini quickcount telah terlanjur menjadi acuan masyarakat dalam menentukan kriteria “kemenangan- kekalahan” pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Disamping tingkat akurasinya yang tinggi juga dapat dianggap steril dari kepentingan (vested interest) mengingat analisisnya berangkat dari tradisi sains. Ditambah pula oleh penyajian quickcount yang ditopang oleh penggunaan bahasa numerik-matematik lewat deretan tabel-tabel batang, sehingga tingkat kebenarannya dipersepsikan publik relatif pasti.
Dalam perspektif sejarah kekinian kredibilitas quickcount sebagaimana deskripsi diatas membuat semua stakeholder kubu paslon 01 dan 03 dihinggapi perasaan pesimistik dan nyaris putus asa. Terhitung sejak penayangan hasil pilres dirilis sore hari pasca pencoblosan tanggal 14 Februari kemarin sampai lebih kurang beberapa minggu setelah itu. Poin pentingnya, kemenangan satu putaran kubu 02 (pihak istana) seakan-akan tidak mungkin terbendung dan dapat dihentikan.
Padahal hitung cepat atau quickcount pada dasarnya tidak lebih dari sekedar metode untuk memverifikasi hasil pemilu berdasarkan hasil yang diperoleh dari sejumlah tempat pemungutan suara yang dijadikan sampel. Lalu, probabilitas sampling tersebut diproyeksikan bagi hitungan persentase keterpilihan masing-masing paslon secara proporsional untuk keseluruhan pemilih. Konkritnya, quickcount tidak memiliki basis legal maupun faktual sebagai tolok ukur kebenaran resmi dalam perhitungan yang sahih, absah (valid).
Ihwal mata. Kemudian frasa “menyihir mata” pada teks nash agaknya berkenaan dengan penggunaan grafik batang yang digunakan lembaga-lembaga survei dalam mendeskripsikan secara visual raihan masing-masing paslon. Pemanfaatan metode statistik yang divisualisasikan para lembaga survei lewat diagram batang pada dasarnya memang hanya bisa dilihat, “dibaca” atau “dimengerti” oleh atau lewat mata. Artinya, ia memang tidak dapat diobservasi oleh alat indrawi lainnya seperti hidung, telinga, lidah ataupun mulut.
Berdasarkan deskripsi diatas maka pilihan penggunaan kata mata pada teks wahyu tidak saja tepat dan benar, namun secara empiris juga faktual-objektif karena antara pernyataan ilahi dengan realitas maupun aktualisasinya saling berkorespondensi. Adapun perihal “mata orang banyak” (baca: publik) tentu erat kaitannya dengan penayangan maupun pengrilisan quickcount diberbagai media arus utama. Baik cetak maupun online yang berlangsung secara intensif, massif dan nyaris tiada henti untuk beberapa waktu sesuai target pihak- pihak yang berkepentingan.
Penyihir dan Lembaga Survei: Sifat, Cara Kerja dan Orientasi
Di samping pembahasan menyangkut ciri-ciri sihir (objek) Al Quran juga membicarakan sifat, cara kerja dan orientasi penyihir (subjek) yang memanufaktur (to produce) sihir atau quickcount. Dalam kisah lama pada Al Quran memang tidak disebutkan nama-nama penyihir elit yang bekerja bagi kepentingan Fir’aun, sang raja untuk berkontestasi dengan Musa yang ditemani Harun.
Sifat; Berdasarkan informasi wahyu yang diturunkan Tuhan pada Muhammad via Jibril terdapat dua sifat menonjol yang dimiliki komunitas penyihir, yakni: takabbur dan dusta. Artinya, adanya perilaku mendahului takdir (takabbur) dan kecenderungan berbohong (dusta) merupakan karakter yang melekat (inheren) pada sikap dan perilaku para penyihir- halmana masing-masing tergambar lewat redaksi dua ayat berikut.“…Demi kekuasaan Firaun, pasti kamilah yang akan menang (QS. Asy-Syu'ara’: 44). Musa berkata kepada mereka (para pesihir), “Celakalah kamu! Janganlah kamu mengada-adakan kebohongan terhadap Allah nanti, Dia membinasakan kamu dengan azab”. Dan sungguh rugi orang yang mengadakan kebohongan (QS. Taha: 61).
Bila deskripsi tentang para penyihir pada kisah lama diperadaban Mesir Kuno dikaitkan dengan fenomena lembaga survei kekinian tentu patut untuk dicermati dan diwaspadai. Terutama dari segi kemiripan pola perilaku (behaviour) mereka tempo doeloe dengan para lembaga- lembaga survei papan atas diera Indonesia modern kekinian. Keduanya baik penyihir dalam kisah lama maupun lembaga survei (baca: konsultan politik) untuk sejarah kontemporer sama-sama memperlihatkan ketakabburan dan kedustaan.
Untuk konteks kekinian perilaku tersebut terkonfirmasi secara empiris lewat “kenekatan” lembaga-lembaga survei dengan memastikan kemenangan paslon 02 (PS-GRR) yang nota bene merupakan proxy istana. Padahal perhitungan nyata (real count) manual berupa C 1 plano yang sebenarnya belum selesai, mengingat hasil perhitungan resmi baru akan diumumkan KPU sesudahnya, yakni tanggal 20 Maret. Belum lagi menimbang keputusan MK sebagai lembaga “pemungkas”.
Pada titik ini dapat dikatakan lembaga-lembaga survei yang merangkap konsultan politik lebih mengutamakan kepentingan jangka pendeknya untuk menggiring opini massa tercapai.
Dalam hal ketakabburan tindak tanduk (perilaku, behaviour) antara penyihir Mesir dimasa peradaban Kunonya dengan lembaga-lembaga survei diera Indonesia modern agaknya sami mawon alias memiliki kemiripan. Fenomena faktual ini terkonfirmasi lewat komentar maupun pandangan mereka secara kasat mata sebagaimana yang diberitakan maupun dipertontonkan berbagai media cetak, maupun online. (Haidar Alwi Institute (HAI) R Haidar Awi Prabowo-Gibran Pastikan Menang Satu Putaran, rm.id 10/2/2024. Meski Hasil Quick Count Belum 100 Persen Pilpres 2024 Satu Putaran, info Indonesia ro TV 14/2/2024. LSI Sebut Dua Syarat Pilpres 1 Putaran Terpenuhi versi Quick Count, CNN Indonesia 15/2/2024).
Dan yang mengejutkan adalah daftar nama lembaga survei yang terlibat dalam pengrilisan quickcount pada pilpres 2024 dapat dikatakan berkategori “papan atas”. Secara level kualitasnya agaknya sama dengan para pesihir ulung diera Fir’aun pada kisah lama. Diantara institusi yang dimaksud dan terbaca dimedia yakni Indo Barometer Qodari, LSInya Denny J.A, Cyrus Network Hasan Nasbi- sekedar menyebut beberapa contoh.
Artinya, untuk konteks modern “penyihir-penyihir” lama ini bermetamorfosis menjadi pribadi- pribadi atau kumpulan orang yang tergabung dalam apa yang jamak dan populer disebut lembaga survei. Tepatnya konsultan politik yang menjadi master mind ataupun yang bekerja dipanggung belakang (back door) saat merepresentasikan kepentingan dinasti Jokowi dalam membendung paslon 01 dan 03 diajang pilpres yang lalu. Tujuannya jelas – dan sekaligus monolitik: agar paslon proxy istana dapat “dimenangkan” lewat satu putaran. Now or never.
Bak kaum agamawan dalam memberikan kuliah tauhid mereka para lembaga survei tersebut seakan mendokrin publik untuk mengimani hasil kerja (rilis- rilis quickcount) mereka. Tentu lewat fatwa para “penyihir kekinian” yang memang lagi “berlebaran” dan naik daun. Sebagaimana artis dan selebriti ilmuan ataupun kaum akademisi type ini sering diundang oleh berbagai stasiun televisi dan berbagai kanal media lainnya.
Perihal seberapa jauh keterlibatan lembaga-lembaga survei diatas terlibat dalam memenangkan kontestan 02 tentu dapat diperdebatkan dan perlu pendalaman. Sebab pada pemilu- pemilu sebelumnya 2014, 2019 yang muncul kepermukaan tetap saja lembaga survei yang sudah punya nama.
Adapun terkait dengan sifat keduanya yang disebutkan sebagai kebohongan tentu saja memerlukan penelitian lebih lanjut. Apakah hal yang disinyalir Al Quran itu memang sesuai dengan fakta dilapangan atau tidak? Jika ya, perlu diketahui pula dalam aspek apa saja kebohongan itu berlangsung dalam rangkaian keseluruhan sistem “pemenangan satu putaran” bagi paslon proxy istana.
Cara Kerja; Terkait penyihir, disamping membicarakan sifatnya Al Quran juga mengelaborasi sepintas tentang aspek implementasi teknis- operasionalnya dilapangan (how). Maka kumpulkanlah segala tipu daya sihir kamu, kemudian datanglah dengan berbaris dan sungguh beruntung orang yang menang pada hari ini (QS. Taha: 64).
Diluar frasa tipu daya yang masih debatable dan membutuhkannya pembuktian hukum redaksi “datanglah dengan berbaris” pada ayat diatas tentu menarik untuk digarisbawahi. Begitu pula dengan redaksi berikutnya pada ayat yang sama, “sungguh beruntung orang yang menang pada hari ini”. Dua proposisi deduktif pada (QS. [20]: 64) cukup terang mencirikan cara kerja tentang bagaimana sihir (quickcount) dimanufaktur oleh para penyihir pada kisah lama atau lembaga-lembaga survei untuk konteks kontemporer. Adapun penjelasannya untuk sejarah kontemporer kita coba untuk mengira- ngiranya sebagai berikut.
Perihal redaksi teks “datanglah dengan berbaris”. Secara teknis para penyihir pada kisah lama sebagaimana deskripsi Tuhan pada QS. Thaha: 64 diatas pada taraf tertentu mengingatkan kita pada SOP para lembaga survei. Yakni penyajian quickcount dalam bentuk diagram batang yang dijejerkan secara paralel (statistik). Untuk konteks kekinian tentu terdapat tiga tabel selaras dengan jumlah kontestan yang berlaga dalam pilpres 2024. Masing-masing batangan tabel merepresentasikan paslon 01 (Amin), 02 (PS-GRR) dan 03 (GP-MMD). Ketinggian masing-masing batangan secara komparatif mencerminkan tingkat raihan persentase diantara mereka.
Adapun terkait proposisi “sungguh beruntung orang yang menang hari” ini tidak dapat dilepaskan dari pengrilisan hitung atau jajak cepat alias quickcount yang segera dimulai beberapa jam pasca pencoblosan (14/02/2024). Diera digital seperti sekarang ini penayangan quickcount dilakukan secara reguler dan intensif lewat media-media arus utama dan lembaga think tank yang kredibilitasnya tidak perlu diragukan. Bahkan, tidak berhenti sampai disini saja. Tayangan quickcount juga diamplifikasi secara terus menerus lewat berbagai kanal podcast maupun corong- corong influencer dan buzzer papan atas.
Metode maupun pendekatan yang menyasar psyche massa ini tentu menguntungkan mereka yang berkepentingan, mengingat daya penetrasinya yang kuat dalam mengarahkan, menggiring dan membentuk opini publik. Hal ini diperparah pula oleh realitas populasi pemilih Indonesia yang mayoritas berlatar belakang pendidikan rendah. Disamping tentunya faktor budaya masyarakat Indonesia yang memang sudah dari sononya tidak at home dengan kritisisme secara umum.
Orientasi; Tampaknya tidak cukup pada pembahasan sifat dan cara kerja para penyihir saja yang dipaparkan Al Quran. Saking concern-nya Tuhan menyangkut subjek (pelaku) sihir, bahkan Dia mengulas pula faktor motif yang melatari para penyihir tersebut sudi melakukan pekerjaan tersebut. Barangkali pendeskripsian Tuhan terhadap orientasi mereka patut diduga untuk kewaspadaan terhadap segala hal yang terkait dengan isyu ini.
Dalam kisah lama hal diatas tampak pada pertanyaan lugas dan tanpa tedeng aling-aling para penyihir kepada Fir’aun, sang raja Mesir. Kejadian ini berlangsung sesaat menjelang mereka menghadapi Musa dalam perlombaan sihir klasik yang juga dibicarakan dalam teks- teks suci agama monoteis lainnya berdasarkan versi masing-masing. Apakah kami memang benar- benar mendapatkan imbalan yang besar jika kami memang kami yang menang? (QS. Asy- Syu‘ara': 41). Ya bahkan kamu akan mendapatkan kedudukan yang dekat denganku, demikian Fir’aun meyakinkan para penyihir. (QS. Asy-Syu ‘ara': 42)
Dalam case kekinian kegandrungan presiden Jokowi terhadap lembaga- lembaga survei yang seringkali merangkap sebagai konsultan politik ini rupanya telah berlangsung lama. Ini terkonfirmasi secara empiris lewat pemberitaan (Jokowi Undang Lembaga Survei hingga Pakar Politik, Ini yang Dibahas, detiknews 31 Mei 2018). Namun, kiranya pemanfaatan lembaga survei untuk keperluan advokatif ini tentu tidak diera Jokowi saja berlakunya. Prakteknya sudah cukup lama, apalagi di luar negeri.
Keberadaan undangan Jokowi kepada eksekutif para lembaga survei dan konsultan politik tentu menarik untuk dicermati. Dalam hal ini tentu yang dimaksudkan perihal tingginya tingkat ketergantungan Jokowi terhadap kerja-kerja “kreatif” mereka untuk mencapai tujuan kemenangan, meskipun dengan menerabas moral dan etika. Sudah menjadi rahasia umum beberapa owner lembaga survei bahkan secara terang-terangan menunjukkan preferensi dan dukungannya terhadap paslon tertentu (02).
Rangkaian fakta-fakta kekinian diatas tentu mengingatkan kita pada tabiat (perilaku, behaviour) Fir’aun yang mendatangkan dan mengumpulkan para penyihir terbaik negeri demi dapat memenangkan pertarungan melawan Musa. Ini direkam oleh dua ayat dibawah lewat redaksi: Dan Firaun berkata (kepada pemuka kaumnya). “Datangkanlah kepadaku semua pesihir yang ulung!” (QS. Yunus: 79). niscaya mereka akan mendatangkan semua pesihir yang pandai kepadamu”. Lalu, dikumpulkanlah para pesihir pada waktu yang ditetapkan pada hari yang telah ditentukan. (QS. Asy- Syu'ara’: 37- 38)
Namun, problemnya adalah apakah “deal” sang ayah Gibran dengan para lembaga surveikonsultan politik yang sekarang berupa iming- iming jabatan lewat kedekatan dengan istana seperti pada kisah lama; by project atau transaksi putus (in cash) dan sebagainya tentu memerlukan penyelidikan tersendiri. Hanya saja karena aspek ini berdimensi politik maka tentu akan sulit untuk membuktikan maupun mengkonfirmasinya.
Kemenangan Semu Sang Jendral
Dengan asumsi adanya pengulangan sejarah maka logikanya kemunculan pola kejadian atau peristiwa yang mirip menjadi sesuatu yang niscaya, bahkan justru “diperlukan” untuk keabsahan validitas “teori”. Dengan demikian ketakutan akibat angka quickcount (sihir) versi lembaga-lembaga survei (para penyihir) termasuk pengumuman resmi KPU yang mengunggulkan paslon 02 (PS-GRR) memang harus ditempuh dan dilewati kubu 01 (Amin) dan 03 (GP- MMD). Termasuk oleh seluruh pendukung kedua paslon masing-masing dalam perjuangan kontestatifnya dengan rezim sekarang. Sedemikian rupa sehingga terdapat semacam kekhawatiran akan pupusnya harapan dan optimisme berskala massal (kolektif).
Berdasarkan fakta teks dalam kisah lama kejadian maupun peristiwa magis yang memiliki efek destruktif pada wilayah psikologi politik ini juga dialami Musa yang nota bene seorang nabi dan rasul. “Maka Musa merasa takut dalam hatinya”. (QS. Taha: 67). Hal yang sama dirasakan pula oleh warga Mesir, para penonton perlombaan kala itu. “...mereka menyihir mata orang banyak dan menjadikan orang banyak itu takut karena mereka memperlihatkan sihir yang hebat (menakjubkan)”. (QS. Al – A’raf: 116).
Walhasil, dalam konteks pengulangan sejarah peniadaan masa bermuram durjana akibat pengaruh sihir (quickcount) justru mencederai prinsip dasar pengulangan sejarah itu sendiri secara saintifik. Namun, penting digarisbawahi bahwasanya untuk konteks kekinian fase kritis ini tidak akan berlangsung lama. Lalu, terjadi anti klimaks bagi para penyihir (lembaga-lembaga survei) sebagaimana pengkisahan simbolik- narasi pada teks suci. (QS. Al- A'raf: 118-122).
Pada kisah lama fase ini ditandai oleh pengakuan kekalahan para penyihir istana sendiri (Fir’aun) pasca Musa melemparkan tongkat yang ada ditangan kanannya sebagaimana arahan Tuhan. Lalu, tongkat tersebut secara simbolik digambarkan segera “menelan” instrumen sihir (quickcount) para penyihir (lembaga- lembaga survei). Sesaat kemudian disusul oleh pengakuan para penyihir istana atas kemenangan Musa (paslon Anies-Sandi Muhaimin). Secara umum fase kritis pada aspek perlombaan ini dideskripsikan Tuhan lewat puluhan ayat pada empat surat yang berbeda. (QS. Al- A'raf: 115-122), (QS. Yunus: 80-81), (QS. Thaha: 61-70), (QS. As- syu'ra': 43-48).
Bertolak dari pemikiran ini maka kiranya akan terjadi banyak kejutan politik dan hukum ditanah air dalam beberapa waktu dekat kedepan. Terutama pasca keputusan di MK dibacakan minggu depan. Dengan demikian peluang menghangatnya kembali isyu untuk menggulirkan hak angket menjadi terbuka. Termasuk kemungkinan aksi-aksi parlemen jalanan. Bahkan, saat pengetikan naskah kolom ini data Bloomberg merilis pemberitaan yang pesimistis tentang ekonomi Indonesia kedepan.
Menurut laporannya, setidaknya dana Global telah menarik US $ 1,1 miliar dari obligasi Indonesia sejak pemungutan suara ditutup pada 14 Februari dengan arus keluar obligasi asing bersih dalam 16 dari 20 hari sejak itu. Investor internasional menjadi ragu-ragu terhadap obligasi Indonesia karena janji Pemilu telah memicu kekhawatiran anggaran yang meningkat dan kemungkinan pemborosan. (Asing Tarik Dana dari Surat Utang RI, Khawatir Makan Siang Gratis, news 21 Maret 2024).
Dalam perspektif ini maka drama kosmik pengulangan sejarah lewat kanalisasi pilpres 2024 masih akan terus berlangsung. Tirai dipanggung belumlah tertutup, tanda pementasan belum usai. Setidaknya sampai 20 Oktober 2024, tanggal berakhirnya masa jabatan presiden Jokowi- Ma'ruf Amin. Bahkan, sekuel thriller politik nasional sepertinya akan memasuki episod yang dipenuhi banyak unsur kejutan. Berdasarkan kisah lama yang menjadi dasar analogi maka sulit untuk tidak membayangkan rezim sekarang tidak akan menuai badai - dan tenggelam.
Adapun ihwal sausana batin yang galau maupun down yang mendera kubu perubahan dan kalangan masyarakat sipil pro demokrasi akibat hasil rilis hitung cepat, jajak cepat atau quickcount maupun keputusan KPU beberapa waktu yang lalu tampaknya akan segera berlalu. Ibarat dipesawat momen tersebut dapat dikatakan semacam turbulensi historis biasa dan normal terjadi menjelang landingnya paslon Amin dengan selamat.
Muhammad Ridha, peminat sejarah