Oleh: Imam Hadiyyin
Sholawat Nabi adalah ungkapan pujian dan rasa terima kasih umat Muslim kepada Rasulullah SAW atas segala jasa dan pengorbanannya yang telah membawa umat manusia ke jalan yang benar. Bagi umat Islam di Indonesia, bacaan sholawat adalah sesuatu yang akrab, baik diucapkan dalam keseharian di luar sholat maupun di dalam sholat.
Namun, di tengah popularitasnya, ada fenomena yang memprihatinkan: anggapan bahwa setiap lagu yang berbahasa Arab adalah sholawat Nabi. Kekeliruan ini tidak hanya sekadar salah persepsi, tetapi juga berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap pemahaman agama di masyarakat.
Contoh lagu yang di anggap sholawat itu adalah adalah “عَلَى بَالِي” yang ternyata lagu ini adalah lagu yang di populerkan oleh penyanyi Mesir yang Bernama Sherine Abdel Wahab. Berikut ini lirik singkat dan terjemahan dari lagu “عَلَى بَالِي”.
عَلَى بَالِي
Di pikiranku
وَلَا إِنْتَ دَارِي بِالْلِي جَرَالِي
“Dan bahkan kau tak tahu apa yang terjadi padaku”
وِاللَّيَالِي سِنِيْن طَوِيْلَةْ سِيبْتِهَالِي
“Dan malam-malam bagaikan tahun yang panjang saat kau meninggalkanku”
يَا انْشِغَالِي بِكُلِّ كِلْمَةْ قُلْتَهَالِي
“Memikirkan setiap kata yang kau ucapkan padaku”.
Melalui lirik tersebut, jelas bahwa lagu ini sama sekali tidak berisi pujian kepada Rasulullah SAW atau terkait dengan ibadah. Akan tetapi, banyak masyarakat Indonesia yang menganggap lagu tersebut sebagai sholawat, terutama karena liriknya menggunakan bahasa Arab yang sering diasosiasikan dengan keislaman.
Hal ini diperparah dengan fakta bahwa lagu-lagu seperti ini kerap dibawakan dalam acara-acara bernuansa religius seperti pengajian, Tabligh Akbar, Haul, dll, yang diiringi dengan hadroh atau rebana, atau dinyanyikan oleh penyanyi berhijab yang mempostingnya di media sosial dengan caption yang mengesankan lagu tersebut adalah sholawat.
Fenomena di atas dapat kita tilik melalui teori komunikasi semiotik Ferdinand de Saussure, bahwa simbol-simbol budaya seperti bahasa Arab dapat menimbulkan persepsi tertentu di benak masyarakat. Dalam kasus ini, lagu berbahasa Arab seringkali diasosiasikan dengan religiusitas karena bahasa Arab tidak dapat dipisahkan dengan Islam itu sendiri. Persepsi ini diperkuat oleh media yang kurang memberikan informasi yang akurat.
Implikasi dari kekeliruan ini cukup serius. Pertama, hal ini berpotensi menyesatkan pemahaman umat. Masyarakat yang kurang mendalami agama mungkin menganggap mendengarkan lagu pop Arab sebagai bentuk ibadah pada akhirnya.
Padahal, sholawat memiliki landasan syariat yang jelas, yaitu sebagai bentuk doa yang berisi pujian dan penghormatan kepada Rasulullah SAW. Dengan mencampuradukkan budaya pop dengan ibadah, ada risiko bahwa umat Islam kehilangan pemahaman mendalam tentang esensi sholawat sebagai ibadah yang sakral.
Kedua, fenomena ini juga dapat menurunkan kredibilitas sholawat itu sendiri. Ketika lagu-lagu pop disebut sebagai sholawat demi kepentingan hiburan atau komersial, hal ini dapat merendahkan makna spiritual sholawat. Sholawat yang seharusnya dilakukan dengan penuh kekhusyukan justru kehilangan nilainya karena disalahartikan sebagai hiburan belaka. Jika tidak segera diluruskan, fenomena ini dapat menciptakan kebingungan yang lebih besar di tengah masyarakat.
Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu adanya upaya edukasi yang tentunya berkelanjutan. Literasi agama harus ditingkatkan, terutama melalui mimbar dakwah, kajian, dan penggunaan media sosial untuk menyampaikan informasi yang benar tentang sholawat.
Ulama dan tokoh agama perlu memberikan pemahaman yang jelas mengenai apa itu sholawat dan bagaimana membedakannya dengan lagu-lagu biasa, termasuk yang berbahasa Arab. Selain itu, masyarakat juga harus lebih kritis dan memverifikasi informasi sebelum menyimpulkan sesuatu. Menyadari pentingnya analisis sebelum mengklaim suatu lagu sebagai sholawat adalah langkah awal yang sangat penting.
Jikalau ditinjau melalui aspek budaya dan keagamaan, acara-acara bernuansa Islam juga perlu lebih bijak dalam menyajikan lagu-lagu. Jika sebuah lagu pop Arab dipilih untuk hiburan, sebaiknya tidak dicampuradukkan dengan konsep sholawat agar tidak menciptakan kebingungan. Transparansi mengenai konteks lagu yang dinyanyikan sangat penting agar masyarakat tidak salah paham.
Kita sebagai umat Muslim, memahami esensi sholawat adalah bagian dari upaya menjaga kemurnian ibadah. Sholawat Nabi bukan sekadar ucapan, tetapi sebuah bentuk penghormatan dan kecintaan yang tulus kepada Rasulullah SAW.
Kekeliruan dalam memahami dan menyikapi sholawat hanya akan merendahkan maknanya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk lebih cermat dan kritis dalam membedakan antara ibadah yang hakiki dan sekadar ekspresi budaya populer. Dengan edukasi yang baik dan kesadaran kolektif, fenomena ini dapat di minimalisir, sehingga kita umat Islam tetap dapat menjaga kemurnian nilai-nilai yang terkandung dalam Islam.
Penulis: Imam Hadiyyin (Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)