Hari ini, 25 Februari 2023, persis setahun lalu, gempa bumi memorak-porandakan beberapa kampung di Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat. Hari ini, dilayangkan pandangan ke kampung-kampung yang mengalami kerusakan itu, sajiannya masih kemuraman.
Material bangunan yang ringsek karena getaran gempa, masing teronggok di sana sini, rumah-rumah yang bersimpuh menyatu dengan fondasi masih menjadi pemandangan yang gamblang. Sisi lain, tenda dan huntara masih berdiri dan dihuni, disaat beberapa rumah mulai berproses berdiri tegak lagi.
Nagari Simpang Timbo Abu Kajai, Kecamatan Talamau, Kabupaten Pasaman Barat misalnya, dari 5.260 jiwa atau 2.212 kepala keluarga (KK) populasinya, total kerusakan rumah sebanyak 276 unit. Saat ini, 30 persen penyintas masih tinggal di hunian sementara (huntara).
“Masyarakat yang tinggal di Huntara sekitar 30 persen dari total kerusakan 276 rumah,” ujar Pj. Wali Nagari Simpang Timbo Abu Kajai Mulyadi.
Gempa tektonik M6,1 meluluhlantakkan sebagian wilayah di Kabupaten Pasaman Barat dan Kabupaten Pasaman, Sumatra Barat, Jumat (25/2) pagi. Berdasarkan data BNPB, gempa itu menyebabkan 27 orang meninggal, 457 orang luka-luka, ribuan rumah rusak. Dampak lainnya berupa kerusakan 70 tempat ibadah, 208 sarana Pendidikan, 25 sarana kesehatan.
Tak berselang lama setelah gempa, BNPB berkolaborasi dengan empat perguruan tinggi, antara lain Universitas Andalas, Universitas Bung Hatta, Universitas Negeri Padang dan Institut Teknologi Padang, menerjunkan 106 yang terdiri dari relawan mahasiswa dan koordinator dengan latar belakang teknik sipil dan arsitektur.
Pelaporan pendataan ini menggunakan aplikasi InaRISK yang dikembangkan BNPB sehingga ada dokumentasi kondisi rumah, titik lokasi geografis, nomor kepala keluarga, dan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pendataan rumah merupakan bagian dalam pengkajian kebutuhan pascabencana (jitupasna).
Pelaporannya secara cepat, langsung dan tampil dalam dashboard inaRISK serta dapat diakses oleh umum.
"Ini sebagai contoh bila ada kerusakan yang masif untuk pendataan rumah rusak dan dapat diterapkan di lokasi pascabencana lainnya," jelas Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Jarwansah, beberapa sepekan setelah gempa.
Pemutakhiran data per 30 Januari 2023 yang didapatkan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumatra Barat, dengan rincian, di Pasaman Barat, rumah rusak berat tercatat 1.111 unit. Rusak sedang 1.171 unit, dan selanjutnya, rusak ringan 2.172 unit.
Sementara Kabupaten Pasaman, rusak berat terhitung 532 unit, rusak sedang 545 unit, dan rusak ringan 1.416 unit.
Dalam perjalanan penanganan gempa Pasaman dan Pasaman Barat dicapai kesepakatan, bahwa untuk rumah rusak berat, pemerintah pusat melalui Dana Siap Pakai (DSP) BNPB akan memberi stimulan sebesar Rp.50 juta per unit. Untuk rumah rusak sedang bersumber dari Provinsi Sumbar lewat Bantuan Keuangan Bersifat Khusus (BKK). Dan untuk kategori rusak ringan menjadi tanggungan kabupaten masing-masing.
Pada bulan September tahun lalu, disepakati rumah rusak berat akan diberi stimulan Rp.50 juta untuk masing-masing rumah. Skema dana stimulan dari DSP ini berdasarkan Peraturan Kepala BNPB No. 4/2020.
“Dimana DSP wajib memenuhi peraturan dan perundangan yang ada dan sesuai dengan pembebanan ke Pemerintah Pusat untuk kategori rusak berat. Sementara rusak sedang atau ringan, dibebankan kepada Pemprov dan Pemkab,” kata Menko PMK Muhajir Efendi kala itu.
Mekanismenya, Menko PMK meminta Pemkab Pasaman dan Pasaman Barat didampingi BNPB dan Pemprov Sumbar dapat mempercepat penyusunan dokumen Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana (R3P) terlebih dulu sampai penetapannya termasuk penyusunan kajian kebutuhan pasca bencana (JITUPASNA).
Lalu bangunan mengikuti standar Rumah Tahan Gempa (RTG), dengan meliputi tiga skema yang ada yakni reimbursement mandiri, swakelola mandiri, dan kontraktual (menggunakan aplikator).
DSP bisa digunakan dengan menyiasati status yaitu tanggap darurat menuju pemulihan rehabilitasi dan rekonstruksi. Rentang waktu status terus diperpanjang oleh dua kabupaten, karena dengan status demikian, penggunaan DSP sebagai sumber pendanaan pembangunan hunian tetap bisa dilakukan.
“Statusnya transisi darurat ke pemulihan, supaya bisa pakai dana DSP. Status itu, SK-nya dari kabupaten itu. Selalu diperpanjang. Untuk mengatasi ruska berat, mau tak mau diperpanjang,” ungkap Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Sumbar Jumaidi.
Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Pasaman Alim Bazar menambahkan, status transisi darurat ke pemulihan diperpanjang sekali 3 bulan. Menurutnya, sebelum selesai pelaksanaan rekonstruksi kembali rumah penyinta, tetap akan diperpanjang.
“Untuk saat sekarang, statusnya sampai 31 maret 2023. Bisa diperpanjang lagi, atau sebaliknya diakhiri bila semua sudah selesai,” kata Alim.
Selain permukiman, beberapa sarana prasarana umum lainnya yang menjadi prioritas yakni sekolah, puskesmas, dan tempat ibadah. Baru setelah perbaikan permukiman dan sarana umum pokok lain rampung dilakukan, pemerintah bakal melakukan perbaikan sarana umum lain.
“Kita selesaikan permukiman dulu, baru nanti ke sarana-sarana umum yang lain yang sementara bisa ditunda atau dinomorduakan, setelah sarana yang betul-betul dibutuhkan bisa berjalan dengan baik," kata Muhadjir.
Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto mengatakan, sebelumnya sejumlah bantuan telah diberikan sejak tanggap darurat. Di antaranya bantuan dana DSP sebanyak Rp500 juta untuk Kabupaten Pasaman Barat dan Rp845 juta untuk Kabupaten Pasaman serta bantuan logistik.
Penanganan Berjalan Lamban
Dalam perjalanan penanganan pascagempa Pasaman dan Pasaman Barat terjadi tarik ulur data. Rapat yang dilakukan berkali-kali, verifikasi data berulang-ulang, seakan sia-sia jika melongok perkembangan rehabilitasi dan rekonstruksi yang bergerak lamban.
Data per 30 Januari 2023, untuk wilayah Pasaman Barat, dari 1.111 unit rumah yang terverifikasi sebagai rusak berat, baru 127 unit yang selesai dibangun atau menyerap DSP senilai Rp.50 juta. Sementara 192 unit dalam pelaksanaan, dan sisanya 792 unit belum dilaksanakan.
Untuk wilayah Kabupaten Pasaman, dari 532 unit rumah kategori rusak berat, baru 80 unit yang terselesaikan. Sebanyak 187 unit masih dalam tahap pelaksanaan, dan sisanya 265 unit belum dilaksanakan.
Kelambanan pelaksanaan rekonstruksi sangat ironi, mengingat 50 persen dari total DSP BNPB sudah ditransfer ke rekening virtual account masyarakat (masing-masing penyintas yang terdata) yang dibuka di BRI pada 29 September 2022. “Bulan Desember semuanya sudah ditransfer ke rekening masyarakat,” ujar Alim.
DSP paling banyak dialokasikan untuk Kabupaten Pasaman Barat dengan angka Rp.55.550.000.000. Angka ini perkalian 1.111 unit rumah dengan Rp.50 juta untuk masing-masing penerima. Sementara Kabupaten Pasaman, dengan jumlah kerusakan berat terverifikasi 532 unit, maka DSP berjumlah Rp.26.600.000.000.
Semua uang ini langsung masuk ke rekening penerima. Skema ini bagus, karena bisa menyingkirkan peluang korupsi. Uang yang ditransfer juga mengharuskan direalisasikan dalam bentuk pengerjaan rumah, baik material, dan jasa tukang. Artinya tidak boleh dipakai untuk hal lain.
Namun, syarat-syarat yang termaktub dalam petunjuk teknis, menurut sebagian penyintas dan juga wali nagari yang daerahnya banyak kerusakan, agak kaku. Sehingga menyulitkan untuk melancarkan pelaksanaan pembangunan rumah.
“Kendalanya pembangunan rumah rusak berat, kita lihat terlalu kaku aturan yang dibangun BPBD. Kemarin datang Deputi BNPB, tuntas dalam menjelaskan (clear) percepatan pembangunan. Tapi aturan kaku, contohnya untuk pencairan dana bantuan. Oleh BNPB, untuk skema rembes atau swakelola mandiri, itu boleh dicairkan 40 persen untuk di awal. Sementara di Juknis BPBD, rumah dibangun dulu, baru nanti dihitung oleh tim pendamping teknis. Contoh siap 50 persen, dibuka blokir rekening dan diambol 50 persen dana. Misal siap 30 persen, dibayarkan 30 persen,” PJ Wali Nagari Simpang Timbo Kajai Abu Mulyadi.
Bagi korban yang masuk database penerima bantuan rumah rusak berat, bebas memilih skema yang mana. Boleh dengan aplikator (kontraktual), swakelola mandiri, atau rembes.
Mulyadi mengaku, data menjadi permasalahan yang dihadapinya. Permasalahan rusak berat yang telah di SK kan, sebut Mulyadi, kenyataannya di lapangan, rumah tidak diakui oleh BPBD rusak berat. Padahal oleh tim teknis Perkim Pasaman Barat, sudah diakui dan dimasukkan.
“Kata orang BPBD akan diverifikasi ulang. Masyarakat berebut ingin dimasukkan data rusak berat. Ini jadi beban kami di nagari atau jorong. Mereka sudah terdaftar rusak berat, dan di SK kan bupati, kenapa diturunkan lagi. Benturannya ke kami, dan sejauh ini yang mempertanyakan ke kami, kami jawab itu wewenang BPBD,” terangnya.
Ketua Aliansi Masyarakat Korban Gempa (AMKG) Pasaman Barat Imam Jendri menilai, penanganan pascagempa berjalan lamban. “Data juga belum selesai. Data berat 1.111 untuk Pasaman Barat belum selesai. Jadi di lapangan yang terjadi, sedang masuk berat, berat ke sedang. Jadi, pemerintah harus memberikan solusi. Padahal nama sudah masuk ke pusat. Kita tak mencari yang salah sekarang, tapi solusi apa di lapangan. Sehingga masyarakat tidak dirugikan,” imbuhnya.
Selain data, dia melihat informasi tidak jelas kepada masyarakat. Contoh, bantuan kapan dimulai realisasinya di lapangan. Cara pelaksanaannya seperti apa. “Pada akhirnya, pelbagai spekulasi terjadi di masyarakat,” ujarnya.
Dia juga menyoroti informasi yang simpang siur. “Sampai kedatangan Deputi BNPB kemarin, dan yang dibicarakan, seperti terjadi kebingungan oleh BPBD Pasaman Barat dan walinagari. Pemahaman tidak sama. Misal Sekretaris Nagari Kajai, bingung dan belum jelas apa yang mesti dilakukan,” ungkapnya.
Kemudian sekarang muncul wacana bantuan berbentuk uang. Sekarang juga, katanya, masyarakat menggunakan kayu bekas rumah dulu. Padahal itu tidak ada dalam RAB. Yang ada rangka baja, tipe ini itu.
“Harusnya dalam Juknis, kayu rumah runtuh bisa dipakai. Nah itu dibeli atau gimana? Harganya seperti apa, itu kan mestinya dijelaskan,” katanya.
Menurut Imam, mestinya skema bantuan pascagempa untuk Pasaman dan Pasaman Barat mengacu pada skema pada gempa 2009. Yakni dibentuk Kelompok Masyarakat (Pokmas) dengan anggota 20 orang per kelompok.
“TPT (Tim Pendamping Teknis) belum maksimal dalam melakukan sosialisasi saya lihat. Maka teknisnya, korban gempa dibentuk Pokmas. Misal 20 orang atau KK per kelompok. Mestinya dibentuk Pokmas untuk memudahkan koordinasi, memudahkan untuk sosialisasi. Sistem kerja akan jadi mudah,” bebernya.
Kondisi demikian, mendorong pihaknya dan sebagian penyintas gempa di Pasaman Barat melakukan demonstrasi pada 9 Januari lalu. Mereka menuntut kejelasan pembangunan rumah pascagempa.
Menurut Imam, sampai kini masalah-masalah tidak selesai. Jika lancar sosialisasi, lanjut Imam, tidak ada akan demo.
“Sistem kerja penanganan pascagempa di Pasaman Barat masih amburadul,” tegasnya.
AMKG Pasaman Barat, tukasnya, akan selalu mengawasi dan memonitor perkembangan penanganan pascagempa sampai terealisasi secara utuh.
Segala persoalan yang membentang dalam penanganan pasca gempa Pasaman dan Pasaman Barat, pada akhirnya bermuara pada BPBD untuk meresponsnya. Pasalnya gempa yang memicu kerusakan dan korban tersebut digolongkan bencana daerah.
“Wawancara silakan ke daerah masing-masing, karena itu bencana daerah maka daerah lah yang tahu,” ujar Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB Jarwansyah, saat dihubungi untuk diminta penjelasan soal kelambanan penanganan pascagempa di Pasaman dan Pasaman Barat.
“Silakan ke BPBD saja. Semua sudah saya jelaskan kemarin kepada Pemkab Pasaman Barat dan mereka sudah memahami,” Jarwansyah menambahkan.
Pimpinan di antara dua kabupaten itu pun mengopor ke BPBD untuk menjawab segala persoalan yang membelenggu penanganan pascagempa di daerah tersebut. “Terkait hal tersebut (soal perkembangan rehab rekon), sebaiknya langsung ke Kepala BPBD,” ujar Wakil Bupati Pasaman Sabar AS.
Menurut Jumaidi pemerintah pusat dalam hal ini BNPB, maupun provinsi sebenarnya cukup proaktif mendorong percepatan penanganan. Namun, tak bisa terlalu masuk ke urusan teknis, karena bencana ini bersifat bencana daerah. Artinya kewenangan ada di masing-masing kabupaten.
Pantauan yang dilakukan pihaknya, melihat penanganan pascabencana di kedua daerah itu lambat. Namun, permasalahan apa pastinya di lapangan, pihaknya tidak tahu.
“Rapat berkali-kali, Deputi berkali-kali datang, Kepala BNPB juga pernah datang. Dorongan dari pusat tinggi untuk cepat selesai. Tapi kabupaten lamban, karena pelaksanaannya lambat. Rentangan waktu yah agak lambat,” kata Jumaidi.
Plt. Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Pasaman Barat Azhar tak menampik perlambatan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstuksi di wilayahnya. Menurutnya, data menjadi factor utama dalam kelambanan tersebut. Sebab, ujar Azhar, kalau tergesa-gesa tidak mungkin, karena banyak hal yang harus diverifikasi.
Misalnya, pihaknya mengusulkan 1.212 unit rumah kategori rusak berat. Namun kemudian diverifikasi sana sini, sehingga angka yang disetujui menjadi 1.111 unit.
Berhubung yang dipakai uang negara, pihaknya juga sangat berhati-hati dalam membuka blokir atau pencairan dana bagi penerima manfaat. Untuk mencairkan yang mengambil skema rembes, timnya memverifikasi secara detail di lapangan. Misal apakah besi, semen, pasir, dan material lainnya ada dan di toko dimana dibeli. Dalam penilaian pembayaran pun demikian, tim pendamping teknis akan menilai, apakah patut dibayar 50 persen, atau justru 30 persen dulu.
“Kalua nilainya 30 juta, dikasih Rp.30 juta dulu. Kalau nilainya 40 juta, dikasih Rp.40 juta. Walau uang DSP masing-masing Rp.50 juta, tapi kadang bangunan itu banyak juga dipakai kembali material bekas. Kita kasih ini, baru upah dibayar. Sisanya tetap kita bayar dengan catatan itu dipakai untuk bangunan,” terang Azhar.
Hal demikian menjadi aturan main dalam Juknis (petunjuk teknis) yang dibikin BPBD Pasaman Barat. Juknis ini merujuk pada Perka BNPB. Namun, beberapa poin dalam juknis justru menjadi pengganjal kelancaran pelaksanaan.
“Walau lambat, tapi tetap berpedoman ke aturan,” tukasnya.
Dia juga membanta pihak yang menuding pihaknya meng intervensi dalam penentuan toko bangunan untuk yang memilih skema rembes dan swakelola mandiri. Yang dilakukan, sebut Azhar, adalah merekomendasikan toko bangunan. Artinya toko bangunan yang menyediakan material SNI. Pihaknya juga menyediakan bantuan RAB dari tim teknis.
“Kita dengan tim percepatan masyarakat (seperti Badan Musyawarah atau Bamus), merekomendasikan toko memenuhi syarat, SNI, kepastian mengantar barang ke lokasi rumah dan lainnya seperti punya faktur sebagai bagian administrasi. Tidak ada intervensi kita soal toko itu,” ungkapnya.
Jika hal demikian berjalan, ditambah rekomendasi dia sebagai Kalaksa dan tim yang terdiri 7 orang, maka blokir rekening bisa dibuka. Di samping itu, rumah-rumah yang dibangun melalui aplikator terus berjalan.
“Setiap hari ada progress pembayaran. Bergerak terus,” tukasnya.
Senada dengan Azhar, Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Pasaman Alim Bazar juga mengakui kelambanan pelaksanaan rekonstruksi rumah terdampak gempa di Pasaman.
Kerusakan rumah yang berat di Pasaman paling banyak di 3 titik Nagari Ladang Panjang, Binjai, dan Malampah. Umumnya penyintas membangun kembali rumah di titik yang sama atau bergeser sedikit dari rumah semula.
Malampah dengan radius 40 km dari Lubuk Sikaping, ibukota Pasaman, kata Alim, masih ada 100 KK tinggal di Huntara dari 400 huntara yang dibangun.
Untuk Nagari Malampah, kata Alim, banyak rumah rubuh di kampung yang agak terisolir. Aksesibilitas sangat susah. Sehingga menjadi salah satu faktor lambannya pelaksanaan penanganan.
Alim mengemukakan sejumlah persoalan perlambatan pelaksanaan rekonstruksi kembali rumah rusak berat. Menurutnya, persoalan data yang mesti diverifikasi berulang-ulang juga menjadi pangkal lambannya pengerjaan.
“Pendataan pertama 548 unit, lalu kita uji publik (umumkan), menjadi 568. Dari 568 kita ajukan ke BNPB, direview d sana, di cek by name by address, koordinat, jadi 532. Dari 532 masih diberi kesempatan review sisanya, kita temukan 18 yang dibuang patut masuk data,” ungkap Alim.
“Intinya dikerjakan sekarang 532 unit. Tarik ulur data sejak bulan kejadian, berlanjut bulan Mei 2022, dan terakhir September 2022,” dia menambahkan.
Sisi lain, kendala lambannya menurut Alim adalah faktor cuaca. Musim hujan menyebabkan pengiriman barang atau bahan bangunan ke lokasi terisolir di Malampah cukup menyulitkan. Apalagi kendaraan roda empat atau mobil tidak bisa langsung ke lokasi. Alhasil, bahan bangunan yang dibawa mobil atau truk diturunkan di titik berjarak 1-1,5 km dari kampung itu. Selanjutnya bahan dicicil dengan kendaraan motor.
“Daerah jauh butuh tambahan waktu dan tenaga. Satu rumah kebutuhan bata ringan 730. Dibawa pakai motor hanya bisa mengangkut 10 potong bata. Jaraknya 1-1,5 km untuk melangsir pakai motor. Artinya butuh 73 kali bolak balik. Untuk semen 20 sak, maka yang bisa dibawa motor Cuma 2 sak sekali jalan,” beber Alim.
Kendala lainnya, ungkap Alim, adalah pasokan bata ringan. Ini dialami oleh aplikator karena merekalah yang diharuskan membangun dengan spesifikasi demikian. Bata ringan ini berdasarlam kajian Pulitbang Labor PUPR, dan kampus Universitas Tadulako. Pasokan bata ringan dari Padang tak mencukupi, sehingga aplikator mendatangkan dari Pekanbaru, Jakarta.
“Ini urusan aplikator, tapi berimbas dalam perkembangan pelaksanaan pembangunan rumah kembali,” ujar Alim.
Aplikator yang mengambil pekerjaan ini di Pasaman berjumlah 3. Dari luar Pasaman 2, dan lokal 1.
Di samping itu, Alim menambahkan, minimnya tenaga kerja seperti tukang yang piawai juga menjadi kendala tersendiri. Untuk mengatasi kelangkaan tukang, maka didatangkan tukang dari Jawa dan Lampung.
“Kendala lain, gangguan dari luar, provokasi seperti kasus yang gak dapat, lalu dikompori yang lain. Untuk hal ini kita jalin komunikasi dan koordinasi intens dengan segala pihak,” tukasnya.
Alim mengaku juga telah menyampaikan, bahkan memperlihatkan situasi yang terjadi di Pasaman kepada Deputi BNPB Jarwansyah dalam kunjungan ke sana, pekan lalu.
“Deputi mengapresiasi, karena kita mengerjakan daerah sulit di Malampah. Pakai kendaraan roda dua membawa material,” ujarnya.
Alim juga menyebutkan Bupati Pasaman minta supaya sudah masuk bulan puasa, lebaran, masyarakat sudah bisa tinggal di rumah kembali. Artinya pembangunan harus segera diselesaikan
“Bulan Maret ini harus selesai. Bupati concern untuk mempercepat. Saya mempertaruhkan jabatan,” pungkasnya.
Kepala Seksi Rekonstruksi BPBD Sumbar Muliarson menambahkan, untuk skema pembangunan menggunakan aplikator, mesti punya sertifikat dari BNPB. “Ada sekarang aplikator yang sedang membangun dan ada juga yang berminat, tapi harus ada sertifikat,” jelasnya.
Rusak Sedang dan Ringan Belum Dikakok
Rekonstruksi rumah rusak berat yang berkelindan penuh sengkarut, berefek pada penanganan rumah kategori rusak sedang dan rusak ringan. Hingga detik ini, belum ada pengerjaan perbaikan rumah rusak sedang dan juga rusak ringan. Padahal, urusan anggaran perbaikan rusak sedang dari provinsi sudah disalurkan pada bulan November lalu sekitar Rp.34 miliar.
“Pekerjaan perbaikan rumah rusak sedang dan rusak ringan, belum dapat dilaksanakan karena status masih dalam transisi darurat menuju pemulihan. Sedangkan sesuai dengan SPM Dinas Perumahan/Perkim bahwa pelaksanaan perbaikan rumah baru dapat dilaksanakan pada masa pascabencana. Masa transisi di perpanjang sampai dengan Maret 2023,” demikian keterangan dari BPBD Sumbar.
Berdasarkan data BPBD Sumbar per 30 Januari 2023, Pasaman memasukkan data rusak sedang 545 unit, rusak ringan 1.416 unit. Pasaman Barat rusak sedang 1.171 unit, rusak ringan 2.172 unit.
Karena sifatnya bencana daerah, sesuai penetapan status tanggap darurat masing-masing kepala daerah, maka provinsi sifatnya membantu. Maka dalam hal ini, untuk rumah rusak sedang, provinsi menggelontorkan anggaran sekitar Rp.34 miliar yang bersumber dari APBD Perubahan bulan November 2022.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumbar Medi Iswandi menjelaskan, bantuan untuk dua kabupaten yang dilanda bencana itu berupa Bantuan Keuangan Bersifat Khusus (BKK) yang diatur dalam Pergub Sumatra Barat Nomor 1 Tahun 2022. BKK itu sekitar Rp.34 miliar dari APBD Perubahan yang berjumlah total Rp.6,7 triliun.
Dari Rp.34 miliar, untuk Pasaman mendapat porsi sekitar Rp.10 miliar lebih, dan Pasaman Barat selebihnya. Masing-masing rumah menerima Rp.20 juta. Di dalam Pergub Dana BKK, (ada), dua tahun dana ini bisa digunakan. “Kalau tidak digunakan selama rentang 2 tahun, ditarik lagi,” ujar Medi.
Dia mengatakan, uang sudah ditransfer bulan November 2022 ke khas daerah masing-masing. Berhubung dananya ini besar, maka mekanisme penerimaan di kabupaten masuk khas daerah. Dikeluarkan dalam bentuk kegiatan memberi bantuan untuk rumah rusak sedang (APBD Perubahan). Lalu mesti dilaporkan berapa yang terserap. “Saya belum terima laporannya. Harus di triwulan I melaporkan, tapi belum ada. Tidak terserap, mereka punya waktu 2 tahun,” kata Medi.
Pangkal nilai bantuan itu adalah data. Medi mengatakan,Pasaman lebih cepat memasukkan data yakni bulan Agustus, Pasaman Barat September. “Kita bahas di APBD Perubahan. Mencuat mekanisme, apa provinsi melaksanakan langsung, atau memberi BKK ke kabupaten. Akhirnya dipilih BKK, untuk memperpendek rentang kendali,” terangnya.
Kalau provinsi mengerjakan, ujar Medi, terlalu jauh rentang kendali, pengawasan juga terlalu jauh. Kalau kabupaten, rentang kendali pendek, provinsi tinggal mengawasi.
Medi mengaku, mendapati laporan kendala di lapangan, terutama permasalahan data. Tapi, menurutnya, semestinya itu tidak bisa mengubah begitu saja di lapangan, karena sudah kasih data mutlak ke kami.
“Kalau ada perubahan data, mereka proses lagi dari awal. Karena data yang diserahkan, dengan pernyataan, bahwa surat tanggung jawab mutlak dari kepala daerah. Karena uang dikucurkan, dasarnya kan data. Pemeriksaan oleh BPK tentu menjadi temuan,” tandasnya.
Muliarson menyebutkan, untuk sedang dan ringan itu belum bisa dilakukan sesuai pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Penanggulangan Bencana, karena yang membangun Dinas Perkim setempat. Pelaksanaan perbaikan rumah untuk sedang dan ringan, itu baru bisa dilakukan setelah selesai masa transisi. "Itu lah kejadiannya. Dilemanya di sana,” tukas Muliarson.
Jika stimulan perbaikan rumah sedang ditekel sama provinsi, maka untuk rumah rusak ringan itu menjadi urusan masing-masing kabupaten. Alim Bazar mengatakan, rusak ringan dibantu maksimal Rp.5 juta. Ini juga belum jalan.
Unjuk rasa sebagian penyintas gempa Pasaman Barat 9 Januari, bentuk rasa muak melihat perkembangan penanganan pascagempa. Respons ini bisa berulang jika penanganan berjalan di tempat.
“Kalau tidak cair (dana untuk rusak berat), tanggal 28 Februari ini, 1 Maret kami akan demo kembali,” pungkas Sekretaris Aliansi Masyarakat Korban Gempa Mashendi.