Langgam.id - Tim Kuasa Hukum dari Firma Hukum Pragma Integra yang mewakili para ahli waris almarhum Idham Rajo Bintang melaporkan Kantor Pertanahan (BPN) Kabupaten Agam ke Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumatera Barat atas dugaan maladministrasi dalam penanganan sengketa tanah Hotel Maninjau Indah.
Pelaporan yang dilakukan pada Kamis (17/4/2025) pukul 11.00 WIB ini merupakan puncak dari sengketa hukum berkepanjangan yang telah berlangsung sejak 2003. Tim kuasa hukum yang terdiri dari Arief Paderi, Fernando Wirawan, dan Rahmi Yesenia Susan diterima langsung oleh Ketua Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Barat, Adel Wahidi, beserta para asistennya.
"Kami melaporkan tujuh bentuk dugaan maladministrasi yang dilakukan BPN Kabupaten Agam terkait permohonan peralihan dan pembaharuan Hak Guna Bangunan yang telah memiliki dasar hukum kuat berupa dua putusan Mahkamah Agung," ungkap Arief Paderi selaku koordinator tim kuasa hukum, dalam keterangan tertulis.
Tujuh dugaan itu adalah pelanggaran asas legalitas, penundaan berlarut, pelanggaran asas kepastian hukum, pelanggaran asas keadilan dan kepatutan, kesalahan interpretasi hukum atas status tanah, kekeliruan pengakuan terhadap klaim Kerapatan Adat Nagari (KAN) Maninjau dan pelanggaran asas non-venire contra factum proprium.
Sengketa ini berfokus pada dua bidang tanah seluas masing-masing 747 m² dan 1.645 m² di Nagari Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, yang menjadi lokasi Hotel Maninjau Indah. Tanah tersebut telah dimiliki Idham Rajo Bintang sejak 1974 melalui pemberian HGB yang kemudian diperpanjang pada 1995 dengan sertifikat HGB No. 1 GS Nomor 1/1995 seluas 747 m² dan Sertifikat HGB No. 2 GS Nomor 2/1995 seluas 1.645 m².
Berdasarkan dokumen yang ditunjukkan kepada Ombudsman, Mahkamah Agung telah dua kali memberikan putusan yang berkekuatan hukum tetap melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/PDT/2001 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1135 K/PDT/2010, yang memerintahkan peralihan hak kepada Idham Rajo Bintang setelah membatalkan akta jual beli yang dibuat secara melawan hukum.
Meski telah mendesak BPN Agam mematuhi Putusan Mahkamah Agung sejak tahun 2003 dan mengajukan permohonan peralihan hak berkali-kali, BPN Kabupaten Agam baru memberikan tanggapan resmi secara tertulis pada Maret 2025 dengan menolak permohonan tersebut.
Penolakan didasarkan pada dua alasan BPN Agam yang kontradiktif, bahwa tanah merupakan aset Pemda Agam dan juga diakui sebagai tanah ulayat Kerapatan Adat Nagari Maninjau.
"Kesimpulan BPN Agam bahwa tanah tersebut merupakan aset Pemerintah Daerah Kabupaten Agam secara fundamental sangat bertentangan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Barat tahun 1974 yang secara tegas menyatakan bahwa tanah tersebut adalah 'tanah Negara bebas dan dikuasai langsung oleh Negara' dan 'bukan tanah yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Agam'," tegas Arief.
Tindakan mengakomodasi klaim tanah ulayat yang baru diajukan pada 2020 - 46 tahun setelah penerbitan HGB awal - menurut tim kuasa hukum, menunjukkan kekeliruan BPN yang serius dan melanggar prinsip kepastian hukum.
"Mengakui dua klaim kepemilikan berbeda sekaligus merupakan pelanggaran logika yuridis yang mendasar," tambah Arief.
Penundaan selama lebih dari dua dekade ini telah menyebabkan kerugian signifikan bagi ahli waris, termasuk hilangnya kesempatan pengembangan bisnis pariwisata dan potensi ekonomi di kawasan Danau Maninjau.
Tim kuasa hukum berharap laporan ini dapat mendorong penyelesaian administrasi yang adil dan transparan, serta menjadi pembelajaran bagi penyelenggara pelayanan publik untuk lebih menghormati putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Sampai berita ini diturunkan, Langgam.id masih berusaha mendapatkan konfirmasi dari BPN Kabupaten Agam terkait penyelesaian persoalan tanah tersebut. (*/fs)