Langgam.id - Seminar nasional tentang Front Palupuh mengungkap sengitnya perlawanan para pejuang kontra tentara Belanda yang terjadi di Kecamatan Palupuh, Kabupaten Agam, Sumatra Barat (Sumbar) 74 tahun lalu. Seminar yang membahas salah satu medan pertempuran di masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) tersebut digelar Anak Nagari Koto Rantang di kantor camat Palupuh, Kabupaten Agam, Sabtu (24/12/2022).
Hadir sebagai pembicara AKP John Hendri (mewakili Komandan Batalion Brimob Padang Panjang), Fikrul Hanif Sufyan,S.S, M.Hum (akademisi dan penulis sejarah dari STKIP Yayasan Abdi Pendidikan Payakumbuh), Dr. Aslinda, M.Hum (FIB Unand Padang), serta Sri Raflesia, SCl.
Sejarawan Fikrul Hanif mengatakan, Kecamatan Palupuh, dulu di masa Kolonial Belanda merupakan bagian dari Laras Tilatang (Kamang), Afdeling Agam. Daerah yang pernah ditetapkan sebagai natuurmonument melalui besluit no.27 tanggal 9 Desember 1929, terdapat dalam Staatblad No.474 tahun 1929, ditumbuhi varian tanaman langka, satu di antaranya adalah Raflesia Arnoldi yang ditemukan ahli botani Belanda pada 1925 di Batang Palupuh.
"Siapa yang menduga, daerah yang berjarah 126 kilometer dari Kota Padang itu, pernah menjadi bagian penting benteng pertahanan yang tangguh pada masa PDRI," katanya, dalam keterangan tertulis yang diterima langgam.id.
Palupuh, menurutnya, merupakan satu dari sekian benteng pertahanan yang digawangi Mobilie Brigade (Mobbrig/ kini: Brimob), unsur Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), dan Badan Pengawal Nagari/Kota (BPNK), serta dikoordinir Markas Pertahanan Rakyat Kecamatan (MPRK).
Ia mengungkap, eskalasi perjuangan melawan tentara Belanda di front itu memuncak pada 24 Desember 1948, persis 74 tahun yang lalu.
Seminar nasional yang kali pertama dilaksanakan pasca launching pertama buku Front Palupuh yang dirilis tahun 1999, menurut panitia, merupakan momen penting dalam merawat sejarah, menjaga marwah bersama untuk Tujuah Lurah Koto Rantang.
“Hadirnya Front Palupuah dalam Seminar Nasional, dan diangkat kembali oleh anak-anak muda, semoga nantinya bisa meletakkan dasar bahwa Palupuh menjadi bagian dari ingatan sejarah untuk generasi selanjutnya,” kata Hendrizal anggota DPRD Agam, dalam sambutannya.
Menurut Fikrul, kisah rangkaian pertempuran di Palupuh dimulai saat Mobilie Brigade/ Mobbrig (kini: Brimob) yang beberapa kali memindahkan markas pertahanan, pasca mendesak masuknya agresor Belanda ke Bukittinggi. Markas pertahanan itu pindah dari Birugo menuju ke Jirek (20 Desember 1948), kemudian bergerak kembali menuju Sipisang Palupuh tanggal 21 Desember 1948.
Ketika mendengar kabar agresor sudah menguasai Bukittinggi, kembali personil Mobbrig Sumatra Tengah memindahkannya ke Bateh Sariak, Palupuh pada 22 Desember 1948. Dan daerah ini menjadi Markas Sektor II daerah pertempuran Agam dikomandoi Inspektur Polisi I Amir Machmud. Sektor II ini kemudian dikenang dengan nama Front Palupuh.
“Dengan penyelenggaraan Seminar Nasional Front Palupuah, kami dari satuan Brimob berharap, agar perjuangan di Palupuah ini tetap diingat dan dikenang oleh generasi selanjutnya,” kata AKP John Hendri yang mewakili Danton Brimob Padang Panjang.
Pasca pindah ke Bateh Sariak Palupuh pada 22 Desember 1948, sambung Fikrul Hanif, Mobbrig digerakkan oleh A.K.B.P Sulaiman Efendi, Inspektur Polisi II Kaliansa Situmorang (Komandan Polisi bagian Sumatra Barat), dan Inspektur Polisi I Amir Machmud selaku Komandan perjuangan Front Palupuh.
Taktik bertahan dan menerobos maju yang diilhami dari pertahanan semesta dalam jarak 5 kilometer itu, membuat Belanda putus asa.
“Belanda benar-benar frustasi, karena gagal menerobos bagian utara yang menghubungkan dengan Sibolga. Selain itu, pertahanan yang dikoordnir MPRK itu, juga menghalangi Belanda untuk masuk ke Koto Tinggi, Kabupaten Limapuluh Kota,” ujar Fikrul, mantan reporter harian Rakyat Merdeka itu.
Ia berharap Seminar Nasional Front Palupuh ini, tidak sekadar sebagai pengingat, tetapi juga menyempurnakan buku Front Palupuh yang pernah ditulis oleh Darwis –sesepuh dari Palupuh pada tahun 1999.
“Buku Front Palupuh ini untuk meluruskan peristiwa yang kurang tepat, yang pernah disinggung oleh sejarawan sebelumnya. Naskah itu selesai tahun 1998. Dan tahun 1999 buku ini dilaunching di tugu peringatan Front Palupuah,” ujar Sri Raflesia di sela-sela Seminar Nasional tersebut.
Beragam upaya untuk menindaklanjuti dalam usaha merawat memori kolektif perjuangan di Palupuh, melalui penerbitan buku dan menyebarkannya untuk generasi muda. Untuk menggaungkan dan menjadikan Front Palupuh seluruh narasumber sepakat, supaya masyarakat Palupuh bersiap-siap untuk membuat kegiatan tahunan seperti mengadakan sayembara penulisan, vlog, kontes fotografi yang berhubungan dengan masa perjuangan PDRI, termasuk mengembangkan diri dalam sektor pariwisata.
“Ya, Palupuh ini punya potensi kuat sebagai aset wisata. Dan untuk wisata sejarah, tentu saja memungkinkan untuk ke depannya,” kata Aslinda.
Selain para pembicara, hadir dalam kesempatan itu perwakilan Pemerintah Kabupaten Agam, perwakilan Polres, perwakilan Kodim 0304, wali nagari, ninik mamak, bundo kanduang, guru, mahasiswa, dan warga lainnya. (*/SS)
—