Semen Padang FC berusia 39 tahun. Namun, seperti orang sepuh: tubuhnya terlihat bungkuk, berjalan tertatih, memakai tongkat. Dan, kali ini dilengkapi seringai kesakitan karena luka lebam sana-sini di wajahnya. Senjakala seperti berada di atas kepala. Di mana, semestinya cahaya gemilang justru melumuri sekujur badan.
Posisi paling bawah di klasemen Liga 1, permainan bak buaian kaliang, tiba-tiba ditinggal loyalis seperti Vendry Mofu, masuk dalam pengadilan FIFA, rumput lapangan yang diinspeksi, merupakan kado buruk di saat mestinya sebuah klub memasuki gerbang keemasan.
***
Berapa waktu yang dibutuhkan bagi sebuah klub untuk berprestasi? Tak ada satu teori pun bisa memastikan. Semua tergantung banyak hal. Teknis dan non-teknis. Dua hal itu bukan sisi mata uang. Namun, berkelindan, berpilin dan berada dalam satu degup jantung.
Bahkan di saat semuanya sempurna, masih ada keberuntungan yang mesti dijala, agar prestasi tersangkut dan memasuki lemari tropi. Joseph Guardiola i Sala tak langsung membawa Manchester City juara. Ada jeda. Ada spasi yang mesti dilewati. Sir Alex Ferguson dengan sabar melatih Class ’92 untuk menjadikan mereka legenda di Premier League dan menjadikan Manchester United monster bagi siapa saja lawannya.
Dalam bola, Indonesia dengan Eropa tak bisa bandingkan. Namun, satu kunci yang tetap bertahan dalam sepakbola terletak pada manajemen. Apalagi dalam era postmodern sekarang.
Apakah PT KSSP sebagai induk SPFC tidak bekerja? O, bekerja. Mulai dari manajemen, pelatih, pemain dirombak habis-habisan. Akan tetapi, kenapa hasilnya belum juga menerbitkan kebanggaan? Pasti ada yang salah. Dan tak salah, telunjuk diarahkan pada manajemen.
Runtuhnya Manchester United hari ini karena manajemennya terlambat mengantisipasi kebesaran nama yang dicetak Fergie. Barcelona menuju ke arah sana apabila tidak secepatnya mencari pengganti Lionel Messi.
Situasi yang dihadapi Semen Padang FC tentu lebih parah. Karena menyamakan mengurus pabrik dengan klub bola. Dalam manajemen ada visi-yang-dikerjakan. Tak melulu terpampang dalam proposal saja.
Manajemen berganti, tapi kapasitasnya tak bergeser. Orang yang dipilih digadang-gadang punya pengetahuan tentang bola. Bisa menapak prestasi.
Klub-klub seperti Manchester United, Barcelona, Real Madrid dan Paris St Germain diurus pengusaha. Bukan pemain bola. Biasanya pesepakbola diletakkan pada direktur teknik. Posisi yang justru lenyap dalam manjemen sekarang. Cukup siarkan sang direktur teknik operasi tenggorokkan maka posisi itu bisa diambangkan. Padahal, direktur teknik bekerja dengan mata bukan tenggorokkan.
PT KSSP selalu mencari CEO orang perusahaan. PT Semen Padang itu BUMN. Karyawannya tentu bukan bermental pedagang. Akibatnya, yang terjadi bukan seni perdagangan.
Sering yang datang bukan pemain impian pelatih. Padahal, di bursa, ia dibeli dengan harga bikin geleng kepala. Prestasi jeblok, pelatih diganti. Didatangkanlah pemain masa lalu. Pelangi sempat singgah seperti hujan yang diberikan ke tanah setelah panas setahun. Setelah itu, de javu. Suram dan melelahkan.
Fans sudah teriak-teriak. Namun, tanpa mengubah pola pikir, SPFC hanyalah gimmick bagi segelintir orang. Pelepas tanya. Ada untuk menyingkirkan ketiadaan. Bukan ada dari ke-ada-an.
Apa susahnya PT KSSP mencari manajer orang dagang? Atau pengusaha yang sekaligus mempunyai jiwa bola? Sumatra Barat itu “Tanah Pedagang”!
Tabiat “beli satu dapat dua” sudah saatnya disingkirkan. Bahwa dilema melanda, tentu saja melanda seluruh klub bola. Apalagi dengan klub milik BUMN atau sejenisnya. Struktur jadi pelik. Mesti lapor sana-sini, persetujuan dari “bapak”, dll.
Kemudian, respons pada setiap masalah. Sering dilakukan seperti menaruh balsem pada bagian linu. Hanya sejenak menyingkirkan luka. Bahwa luka itu akan datang lagi, itu urusan nanti.
Lalu, prestasi. Selalu diukur dengan presisi; posisi enam, papan tengah, juara, dan seterusnya. Liverpool yang selalu mencanangkan juara pada setiap musim sudah lebih dua dekade tak merengkuhnya. Tapi, apakah tim itu ambruk?
Manajemen The Reds paham betul, bola tak selalu soal piala. Bermain cantik, tepat mencari pelatih, pemain dan orang-orang di non-teknis, juga prestasi.
SPFC hari ini mesti memilih seperti apa. Apakah tim lain pakai pemain asing lalu kita juga pakai. Klub lain memakai pelatih asing, kita juga mengikutinya?
Jika tim ini kembali ke Liga 2, seperti ramalan yang sekarang berada di antara langit dan bumi, mungkin memang itu posisi yang tepat. Jika pun bertahan, itu tak lebih dari keberuntungan. Hal yang mestinya diraih setelah menduduk-berdirikan teknis dan non-teknis.
SPFC butuh profesionalisme. Dalam segala sisi. Itu syarat mutlak. (S. Metron)